Selama tahun 2020, olahan rumput laut sumbang devisa USD96 juta dengan volume produksi sebesar 26.611 ton.
Saat ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sedang berupaya meningkatkan nilai tambah rumput laut agar bisa menjadi produk turunan yang memiliki pangsa pasar domestik maupun ekspor. Salah satu langkahnya adalah mengoptimalkan peran industri pengolahannya.
“Kami punya tugas untuk terus menggenjot hilirisasi, supaya bahan baku dalam negeri kita semakin tinggi nilai tambahnya dengan berbagai produk turunan yang dihasilkan oleh industri olahannya. Perlu diketahui, aktivitas industri ini telah berkontribusi nyata terhadap penerimaan devisa dari ekspor produk jadinya,” kata Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika melalui keterangannya yang dimuat dalam laman resmi Kementerian Perindustrian, 4 November 2021.
Produk olahan rumput laut umumnya digunakan oleh industri pangan dan nonpangan. Dalam industri pangan, produk formulasi rumput laut digunakan sebagai bahan tambahan pangan pada bakso, nuget, sirup, es krim, yogurt, jus, dan jeli. Pada industri nonpangan, rumput laut dapat digunakan untuk produksi cat, tekstil, pasta gigi, kosmetik seperti lotion, sabun, dan sampo.
Produk olahan rumput laut juga telah digunakan di dalam industri farmasi, misalnya untuk pembuatan cangkang kapsul dan media agar limbah dari hasil pengolahan rumput laut dalam bentuk padatan dan cairan dapat pula dimanfaatkan lebih lanjut untuk bahan pupuk, media tanaman, serta bata ringan.
Putu Juli Ardika mengatakan, nilai ekspor dari industri pengolahan rumput laut di Indonesia sepanjang 2020 mencapai USD96,19 juta dengan volume produksi sebesar 26.611 ton. Karena besarnya potensi rumput laut ini, mendorong Kemenperin untuk fokus melakukan utilisasi industri ini agar dapat terus meningkat.
Terkait upaya mendorong hilirisasi industri pengolahan rumput laut, beberapa waktu lalu, Plt Dirjen Industri Agro dan jajarannya melakukan kunjungan kerja di PT Hydrocolloid Indonesia, Bogor, Jawa Barat. Perusahaan ini telah melakukan pengolahan rumput laut sejak 2012.
Hasil produksi perusahaan itu, sebesar 80% diperuntukkan pasar ekspor, khususnya ke Jepang, Rusia, Amerika Serikat, Denmark, dan negara-negara Amerika Selatan. “Artinya, kita punya daya saing dan pasar ekspor olahan rumput laut ini masih menjanjikan. Apalagi, Indonesia punya potensi besar dengan ketersediaan bahan baku rumput lautnya,” ungkap Putu.
Pada 2020, produksi rumput laut kering sekitar 376 ribu ton, dengan penghasil utamanya berasal dari Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Putu pun menjelaskan, produk olahan rumput laut di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni agar-agar dan karaginan. Secara global, saat ini Indonesia menempati posisi ke-7 untuk negara eksportir agar-agar dan peringkat ke-6 sebagai negara eksportir karaginan.
Di sisi lain secara volume ekspor, Indonesia merupakan negara eksportir terbesar untuk komoditas rumput laut kering. “Pada 2019, nilai ekspor olahan rumput laut hanya 49,75% dari nilai ekspor rumput laut kering, dengan produk olahan utama yang diekspor itu adalah karaginan. Pada 2020, persentase tersebut meningkat menjadi 53,79%,” imbuhnya.
Walaupun nilai ekspor tinggi, Kemenperin juga masih terus mendorong pengoptimalan penggunaan produk olahan rumput laut dalam negeri bagi para industri penggunanya. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor sekaligus mendukung kebijakan substitusi impor.
“Selanjutnya, meningkatkan hilirisasi komoditas rumput laut melalui diversifikasi produk olahan rumput laut, mendorong kerja sama antara industri pengolahan rumput laut dengan industri pengguna, serta mendorong kerja sama riset dan pengembangan produk olahan rumput laut dengan lembaga riset dalam dan luar negeri,” tandasnya.
Kebijakan hilirisasi industri rumput laut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir terutama bagi nelayan budi daya dan petani rumput laut. “Bahkan, industri berbasis agro ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, seperti dari hasil ekspornya,” kata Putu.
Sementara itu Plant Manager PT Hydrocolloid Indonesia Budhi Sugiharto menyampaikan, pihaknya saat ini fokus untuk memproduksi olahan rumput laut berupa karaginan yang digunakan untuk industri pangan. Tetapi tidak menutup kemungkinan, perusahaan lokal ini akan mengembangkan inovasi dalam rangka menambah diversifikasi produknya guna memenuhi kebutuhan industri lainnya.
“Dengan basis produksi food grade, kami menerapkan standar yang berlaku dengan memiliki berbagai sertifikasi nasional dan internasional, seperti halal, kosher, dan FSSC22000. Kami yakin, produk olahan rumput laut asal Indonesia mampu bersaing di kancah global,” tuturnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memacu produktivitas industri pengolahan rumput laut, Budhi berharap, pemerintah dapat menerbitkan regulasi atau menjalankan kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Misalnya, perlu menjaga ketersediaan bahan baku, kestabilan harga rumput laut, dan adanya integrasi sektor hulu-hilir untuk memperkuat rantai pasoknya.
“Kunci keberlangsungan usaha industri pengolahan rumput laut, salah satunya adalah tata niaga rumput laut yang baik. Kalau dari segi kualitas, rumput laut kita bisa bersaing. Selain itu, kalau dari segi teknologinya, proses ekstraksi karaginan kita sudah menguasai,” ujarnya.
Budhi menyebutkan, perusahaan mendapatkan bahan baku dari sejumlah wilayah di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. “Kebutuhan rumput laut kami per tahun sekitar 1.800—2.000 ton, dengan produksi karaginan mencapai 450--500 ton per tahun,” katanya.
Saat ini, PT Hydrocolloid Indonesia memulai diversifikasi produk karaginan untuk memenuhi kebutuhan industri pasta gigi. “Ini pangsa pasarnya cukup besar, karena produknya digunakan setiap hari oleh masyarakat,” imbuhnya. Bahkan, produk karaginan yang digunakan industri pasta gigi dapat mendukung substitusi impor.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari