Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan, apapun jenis dan bentuk kekerasan terhadap siapa pun harus dihapus dari lingkungan pendidikan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus mendorong penghapusan segala bentuk pelecehan maupun kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tanah air.
Seturut dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS), saat ini sejumlah kampus tengah mempersiapkan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Belakangan ini semakin terkuak ke publik kasus-kasus kekerasan seksual di sejumlah perguruan tinggi, seperti di Palembang hingga pesantren di Jawa Barat. Tak pelak, korbannya terbanyak adalah kalangan perempuan.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, berdasarkan data, peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021 terdapat 2.500 kasus. "Angka ini melampaui catatan pada 2020 yakni 2.400 kasus. Peningkatan kasus dipengaruhi oleh krisis pandemi yang merupakan fenomena gunung es karena jumlah yang tidak dilaporkan berlipat ganda. Dampak dari kekerasan seksual ini bisa sampai jangka panjang hingga permanen dan memengaruhi masa depan perempuan khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa," ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara Nonton Bareng (Nobar) Virtual dan Webinar “16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence”, pada Jumat (10/12/2021).
Menteri Nadiem menegaskan, apapun jenis dan bentuk kekerasan terhadap siapa pun harus dihapus dari lingkungan pendidikan. "Kemendikbudristek menyusun dan mengesahkan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai salah satu solusi pemberantasan tiga dosa besar pendidikan. Dan kini, kampus-kampus di seluruh Indonesia mempersiapkan pembentukan Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual," imbuhnya.
Nadiem juga mengajak seluruh lapisan masyarakat dan generasi muda untuk bergerak bersama dengan Kemendikbudristek menciptakan ruang aman bersama di kampus. Itu digelar dalam rangka mewujudkan kampus yang merdeka dari kekerasan seksual.
Pada kesempatan yang sama, Plt Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Hendarman mengatakan bahwa nobar virtual dan webinar pada puncak peringatan 16 hari antikekerasan terhadap perempuan diselenggarakan dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kesadaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).
"Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sehingga diperlukan gerak bersama oleh semua lapisan masyarakat untuk mengakhiri kekerasan seksual di semua jenjang pendidikan," ujarnya.
Hendarman mengatakan, berdasarkan survei Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada 2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan terjadi di universitas. "Pada 2015 sekitar 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak kampus," katanya.
Fenomena Gunung Es
Kasus kekerasan seksual memang sebuah fenomena gunung es. Komnas Perempuan mencatat, berdasarkan laporan langsung kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada 2020, pihaknya menerima ada 10 laporan. Sementara kekerasan seksual dan diskriminatif pada ranah pendidikan paling tinggi terdapat pada tingkat kampus dengan jumlah 14 kasus teridentifikasi.
Kasus yang diadukan tentunya merupakan “puncak gunung es”, karena umumnya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi tidak diadukan/dilaporkan. Angka tersebut mengambarkan betapa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan seksual sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, untuk kekerasan seksual di kampus, kasus yang diadukan umumnya menyangkut relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing penelitian dengan modus mengajak korban ke luar kota, melakukan pelecehan seksual fisik dan nonfisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik di dalam atau di luar kampus.
Komnas Perempuan pun mengidentifikasi sejumlah hambatan yang kerap kali menyebabkan sejumlah kasus tak terselesaikan dan merugikan korban. Mulai dari adanya impunitas pelaku kekerasan, penundaan berlarut penanganan kasus, lembaga pendidikan belum memiliki standard operating procedure (SOP) pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Serta adanya sikap victim blaming terhadap korban, yang akhirnya membuat korban enggan melapor dan dalam hal ini korban acap dinilai mencemarkan nama baik kampus.
"Justru yang dibutuhkan oleh korban adalah kampus yang mendukung upaya-upaya keadilan dan pemulihan korban," jelas Siti Aminah.
Permendikbudristek PPKS inilah yang menjadi pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan PPKS yang terkait dengan pelaksanaan Tri Dharma di dalam atau luar kampus. Serta untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus, demikian Siti Aminah Tardi.
Di samping itu, aturan ini juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika. Beleid Permendikbudristek tersebut juga memberikan kepercayaan diri bagi pimpinan perguruan tinggi atau kampus untuk mengambil tindakan tegas bagi sivitas akademika yang melakukan kekerasan seksual.
Dengan begitu, pimpinan perguruan tinggi juga dapat memberikan pemulihan hak-hak sivitas akademika yang menjadi korban kekerasan seksual untuk dapat kembali berkarya dan berkontribusi di kampusnya dengan lebih aman dan optimal.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari