Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengenalkan makanan kaya nutrisi bernama Purula yang kaya serat, vitamin, dan mineral. Memodifikasi pangan lokal menjadi strategi efektif upaya pencegahan stunting.
Stunting atau tengkes adalah masalah kurang gizi kronis disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama. Sehingga, mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4 persen. Angka ini turun sebesar 3,3 persen dibandingkan 2019 (27,7 persen). Namun, jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, prevalensi stunting di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan Vietnam (23 persen), Malaysia (17 persen), Thailand (16 persen), dan Singapura (4 persen). Kita hanya lebih baik dari Myanmar yang prevelensinya masih di angka 35 persen.
Kejadian stunting tidak hanya terkait dengan akses terhadap pangan, pola asuh, dan akses terhadap layanan kesehatan (termasuk sanitasi dan air bersih). Seringkali masalah nonkesehatan ikut menjadi akarnya. Namun masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, lingkungan, dan kurangnya pengetahuan perempuan sebagai faktor penyebab kurangnya gizi anak-anak Indonesia.
Hal ini terungkap dalam webinar "Riset Teknologi Pangan untuk Mencegah Stunting" yang diadakan Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi (OR PPT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Rabu (19/1/2022). Menurut Noer Laily, periset Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) yang menjadi pembicara pada webinar, saat ini Indonesia mengalami triple burden malnutrition. Yaitu suatu kondisi bukan hanya soal kekurangan gizi, tapi juga kelebihan, dan ketidakseimbangan asupan gizi.
Dalam paparannya, Laily menjabarkan soal masalah gizi masyarakat. Pertama, kekurangan gizi di mana 1 dari 10 balita kurus dan 2--3 dari 10 balita pendek. Kedua, kelebihan gizi di mana 2--3 dari 10 orang dewasa mengalami masalah kegemukan. Ketiga, kekurangan gizi mikro di mana 2--3 persen remaja putri mengalami anemia.
Hal yang sama terjadi pada 48,9 persen ibu hamil dan 22 juta anak-anak. “Status gizi masyarakat membaik, namun stunting dan anemia tinggi. Ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) dan anemia juga masih tinggi,” kata Laily.
Ia menjelaskan bagaimana permasalahan gizi saat ibu hamil dan melahirkan menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting. Menurutnya, semakin muda usia ibu saat hamil dan melahirkan, semakin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak dengan kondisi stunting. Selanjutnya, ibu dengan kondisi anemia dan indeks massa tubuh rendah dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan perkembangan bayi, termasuk kecerdasannya.
Salah satu penyebab anemia atau kekurangan sel darah merah adalah kurangnya mikronutrien yang dapat membantu pembentukan sel darah merah, terutama zat besi. Keseimbangan zat besi dalam tubuh dikontrol melalui penyerapan. Karena 90 persen kebutuhan zat besi di dalam tubuh berasal dari luar, akibatnya terjadi banyak kehilangan zat besi saat menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan pertumbuhan (bayi, anak dan remaja). Untuk itu diperlukan penambahan zat besi dari asupan makanan.
Dalam kesempatan tersebut, Laily mengenalkan hasil risetnya berupa peptida unggul rumput laut atau Purula. Bentuknya berupa flakes tabur atau lembaran tipis di mana rasanya selain enak, juga difortifikasi dengan zat-zat gizi untuk meningkatkan asupan zat besi.
Purula mengandung biopeptida dari hidrolisat kedelai dengan berat molekul kurang dari 20 kilodalton (kd) menggunakan teknologi termal. Biopeptida ini meningkatkan penyerapan zat gizi dan rumput laut yang kaya akan mikronutrien, serat, dan memiliki citarasa khas. Selain kandungan alaminya, Purula difortifikasi dengan 10 vitamin dan 2 mineral.
Purula dapat membantu mencukupi kebutuhan mineral khususnya zat besi harian. Perekayasa Ahli Utama BRIN ini mengatakan, Purula dapat disajikan tanpa perlu proses pengolahan dan dapat langsung dikonsumsi dengan ditabur ke nasi, mie, bubur, telur, dan roti.
Selain Purula, Laily bersama timnya juga mengembangkan produk biskuit bergizi untuk ibu hamil yang terbuat dari hidrolisat kedelai untuk membantu penyerapan zat gizi dan penambahan tepung kelor. Komposisi gizi produk yang dikembangkan mengacu pada pemberian makanan tambahan (PMT) ibu hamil, seperti tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 51 tahun 2016. Saat ini produknya sedang dalam tahap pengujian efikasi kepada ibu hamil anemia dan/atau kekurangan energi kronik (KEK).
Pemberdayaan Makanan Daerah
Ingredient pangan adalah bahan baku, bahan tambahan, zat gizi, bahan fungsional yang digunakan dalam kegiatan produksi pangan. Tujuannya yakni untuk menjamin keamanan pangan, memperpanjang masa simpan, memperbaiki nilai gizi, memberikan sifat fungsional, memperbaiki sifat fisik, dan mengikuti standar dari pemerintah.
Menurut periset PTA Sri Peni Wijayanti, Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan merupakan produsen ikan terbesar kedua di dunia, di mana ikan menjadi sumber tinggi protein dan umumnya rendah lemak. “Potensi ikan sebagai bahan baku ingredient (bahan) di Indonesia sebenarnya sangat besar,” ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Peni mengenalkan hasil risetnya berupa Hidrolisat Protein Ikan (HPI). HPI merupakan produk yang dihasilkan dari penguraian protein ikan menjadi peptida sederhana dan asam amino melalui proses hidrolisis oleh enzim. “Hidrolisat protein ikan mengandung peptida dan asam amino yang mudah dicerna dan diserap dibandingkan protein aslinya,” jelasnya. Peni dan timnya saat ini telah mengembangkan sumber bahan lain, di antaranya, daun kelor, kacang-kacangan, bahkan dari air kelapa.
Sementara itu, menurut Undang-Undang nomor 18 tahun 2012, pangan lokal merupakan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Ini berarti diproduksi, dipasarkan, dan dikonsumsi dengan mengoptimalkan sumber daya setempat. Kemudian dikonsumsi secara turun-temurun oleh masyarakat setempat, baik dalam bentuk pangan segar ataupun yang telah diolah sesuai budaya dan kearifan lokal, menjadi makanan khas daerah setempat.
Menurut periset PTA Retno Windya yang menjadi salah satu pemateri webinar, setiap daerah pasti punya pangan lokal atau makanan tradisional yang menggunakan bahan pangan sekitar. Kuliner tadi dimasak dengan cara tertentu dan memiliki rasa yang khas sesuai selera masyarakat setempat.
“Masalahnya, mayoritas pangan lokal masih belum memenuhi kebutuhan gizi seimbang,” kata Retno.
Dia mencontohkan, daerah pesisir karena dekat dengan laut, bisa jadi konsumsi atau asupan proteinnya tinggi tetapi asupan kalorinya rendah. Sebaliknya, mereka yang tinggal di daerah pertanian, mungkin asupan kalorinya tinggi tetapi asupan proteinnya rendah.
Sehingga menurut Perekayasa Ahli Madya BRIN ini, masalah pada pangan lokal tidak hanya soal ketersediaannya. Tetapi juga keanekaragaman pangannya, sebagai upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.
“Memodifikasi pangan lokal agar memenuhi kebutuhan gizi seimbang pada daerah locus stunting menjadi strategi yang efektif dalam upaya pencegahannya. Hal ini jauh lebih mudah, karena kita hanya menambahkan bahan pangan/zat gizi yang kurang pada pangan lokal di mana organoleptik atau rasa sudah disukai oleh masyarakat setempat,” jelas Retno.
Selain modifikasi pangan lokal, edukasi kepada kaum perempuan juga menjadi penting dalam pencegahan stunting. Beberapa modifikasi makanan daerah locusstunting, di antaranya, sate gogos tempe dari Sulawesi Tenggara, garang asem ceker (Banten), dan sate pusut tempe ikan (Nusa Tenggara Barat).
Kemudian dari Nusa Tenggara Timur ada kudapan jagung bose, tahu telur jamur bumbu pelepah, bebalung kacang, dan ikan kuah asam. Di Kalimantan Selatan telah dilakukan modifikasi kuliner daerah seperti soto banjar ceker, ketupat kandangan, dan patin baubar daun ubi.
Menurut Pelaksana tugas Kepala Kantor PTA OR PPT-BRIN Arief Arianto, pihaknya melalui pengembangan riset teknologi pangan ini berharap dapat mengambil peran untuk mendukung percepatan penurunan angka stunting hingga 14 persen pada 2024. Ini sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 bidang kesehatan.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari