Efisiensi pembakaran Dimethyl ether (DME) lebih baik ketimbang liquefied petroleum gas (LPG). DME mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon, nyala api yang dihasilkan pun lebih stabil.
Ketika rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Kamis 17 Februari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, efisiensi pembakaran Dimethyl ether atau DME lebih baik ketimbang liquefied petroleum gas (LPG). Sehingga DME layak menjadi bahan bakar alternatif untuk program substitusi energi di Indonesia.
Arifin menuturkan, dari sekitar 200 percobaan yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), pembakaran DME dinilai lebih baik dibanding LPG. "Fraksi karbon beratnya kalau di LPG masih tertinggal di dalam sisa botol, sedangkan kalau DME masih bisa dioptimalkan, sehingga ini menjadi salah satu advantage (keuntungan,red)," kata Arifin.
Pemanfaatan DME, menggunakan jenis batu bara yang memiliki kalori 3.800 kkal/kg yang tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan PLN. "Ini juga dilakukan di lokasi mulut tambang, jadi memudahkan proses pengangkutan," tambahnya.
Pemerintah telah memperhitungkan harga keekonomian DME yang telah disepakati agar produk ini mampu bersaing dengan harga LPG. Adapun manfaat yang diterima oleh negara melalui substitusi DME tersebut berupa pemanfaatan sumber daya alam, menghemat devisa impor LPG, dan memenuhi in-situ di lokasi mulut tambang yang dapat mengatasi isu kelangkaan. In-situ adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan dalam habitat aslinya.
Pemanfaatan DME sebagai bahan bakar energi memiliki keunggulan. Seperti, mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon, nyala api yang dihasilkan lebih stabil, tidak menghasilkan polutan particulate matter (PM) dan nitrogen oksida (NOx), tidak mengandung sulfur serta pembakaran lebih cepat dari LPG.
Saat ini, Indonesia sedang membangun pabrik hilirisasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatra Selatan. Proyek itu diproyeksikan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dari bahan baku 6 juta ton batu bara kalori rendah.
Proyek hilirisasi batu bara menjadi DME tersebut merupakan hasil kerja sama antara Amerika Serikat dengan Indonesia melalui perusahaan Air Products & Chemicals Inc, PT Bukit Asam, dan Pertamina. Pemerintah menargetkan perusahaan tersebut bisa merealisasikan nilai rencana investasi sebesar USD15 miliar untuk industri gasifikasi batu bara beserta turunannya di Indonesia. Groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi DME di Tanjung Enim ini dilakukan Presiden RI Joko Widodo pada 24 Januari 2022.
Presiden Joko Widodo gerah melihat besarnya angka impor LPG selama ini. "Impor elpiji itu gede banget, mungkin Rp80-an triliun dari kebutuhan Rp100-an triliun. Impornya Rp80-an triliun. Itu pun juga harus disubsidi untuk sampai ke masyarakat karena harganya juga sudah sangat tinggi sekali. Subsidinya antara Rp60 sampai Rp70 triliun," jelas Jokowi.
JIka lancar, proyek DME Tanjung Enim akan mampu menekan impor LPG hingga 1 juta ton/tahun dengan produksi DME 1,4 juta ton/tahun sehingga meningkatkan ketahanan energi nasional. Di samping itu, proyek DME mampu menyerap tenaga kerja sebesar 10.600 orang pada tahap konstruksi dan 8.000 orang pada tahap operasi, menambah investasi asing hingga sekitar USD2,1 miliar (investasi awal yang dilakukan 100% oleh Air Product), serta menghemat cadangan devisa hingga Rp9,14 triliun/tahun pada harga rata-rata LPG637,3 USD/MT (menggunakan basis rata-rata HIP LPG 2021).
Presiden memerintahkan ke seluruh jajaran terkait agar memastikan proyek hilirasi DME ini bisa selesai dalam jangka waktu 30 bulan dan menjadi proyek percontohan untuk diaplikasikan di lokasi lain yang memiliki kelebihan deposit batu bara. "Jangan ada mundur-mundur lagi, dan kita harapkan nanti setelah di sini selesai, dimulai lagi di tempat lain. Karena ini hanya bisa menyuplai Sumsel dan sekitarnya, kurang lebih 6 jutaan KK. Karena kita memiliki deposit batu bara yang jauh dari cukup kalau hanya untuk urusan DME ini, sangat kecil," jelas Jokowi.
Proyek hilirisasi batu bara menjadi DME telah ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional sesuai Perpres nomor 109 tahun 2020. Perjanjian proyek ini ditandatangani dengan kapasitas 1,4 juta ton di Tanjung Enim tanggal 10 Desember 2020. Sementara itu, cooperation agreement (CA) tercatat pada 11 Februari 2021 dan cooperation agreement amendment (CAA) dan conditional processing service agreement (conditional PSA) pada 10 Mei 2021 di Los Angeles, USA.
Proyek Strategis Nasional ini akan dilakukan selama 20 tahun, dengan mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar USD2,1 miliar atau setara Rp30 triliun. Dengan utilisasi enam juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun. Sehingga, dapat memperbaiki neraca perdagangan.
Selain itu, proyek ini diharapkan dapat memberikan multiplier effect antara lain menarik investasi asing lainnya, dan melalui penggunaan porsi TKDN di dalam proyek juga dapat memberdayakan industri nasional dengan penyerapan tenaga kerja lokal.
Proyek gasifikasi dipastikan menjadi topangan bisnis baru bagi perusahaan batu bara. Gasifikasi diproyeksikan sebagai subtitusi LPG sehingga mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM) dalam memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. "Kalau sekarang perusahaan batu bara melirik gasifikasi, ini adalah langkah tepat dalam membaca peluang bisnis energi masa mendatang. Pemerintah memastikan peningkatkan nilai tambah batu bara bisa jadi suplai pengembangan industri dalam negeri. Jadi tidak hanya komoditas belaka," ungkap Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi di Jakarta, Minggu (25/7/2021).
Gayung sudah bersambut. Sejumlah perusahaan batu bara kini mulai melaksanakan hilirisasi batu bara guna melengkapi bisnis yang sudah dijalankan sebelumnya. Head of Corporate Communication Adaro Energy (ADRO) Febriati Nadira mengungkapkan, Adaro saat ini tengah mempelajari dan mempertimbangkan berbagai proyek peningkatan nilai dan green business sesuai rencana pemerintah. Begitu juga PT Indika Energy Tbk (INDY) bersama PT Pertamina kini masih melakukan studi kelayakan terkait hilirisasi batu bara.
Sedangkan hilirasasi yang sudah berjalan dilakukan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melalui dua anak usahanya, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. PT Kaltim Prima Coal merencanakan proyek gasifikasi akan commissioning pada 2024 dan Proyek Arutmin ditargetkan commisioning pada 2025.
PT Kaltim Prima Coal (KPC) menggarap pembangunan fasilitas pengolahan batu bara menjadi metanol di Bengalon, Kalimantan Timur. Di proyek tersebut, BUMI selaku bagian dari Grup Bakrie berkolaborasi dengan Ithaca Group dan Air Product.
KPC akan berperan sebagai pemasok batu bara untuk fasilitas gasifikasi tersebut. Kebutuhan batu bara yang mesti disediakan oleh KPC untuk proyek gasifikasi di Bengalon sekitar 5 juta ton-6,5 juta ton per tahun dengan kualitas GAR 4.200 kcal per kg. Ketika beroperasi, pabrik tersebut dapat menghasilkan 1,8 juta ton per tahun metanol.
Selain itu, BUMI juga memiliki proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol yang dilaksanakan oleh anak usaha lainnya, PT Arutmin Indonesia. Pabrik metanol tersebut berlokasi di IBT Terminal, Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Batu bara yang dibutuhkan untuk memproduksi metanol di sana mencapai 6 juta ton per tahun dengan kualitas GAR 3.700 kcal per kg. Pabrik metanol ini nantinya dapat menghasilkan metanol sebanyak 2,8 juta ton per tahun.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari