Secara umum, inflasi di dalam negeri terkendali, kawasan Asean pun aman. Tapi, inflasi global terus menggeliat. Perang Rusia-Ukrania berpotensi membuat inflasi global makin berat.
Situasi perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Inflasi global masih membayang-bayangi pemulihan ekonomi. Rilis berita yang dikeluarkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 3 Maret 2022 menyatakan, secara rata-rata tingkat inflasi yang terjadi di ke-37 negara anggota OECD , yakni negara maju seperti Eropa Barat, Australia, Amerika, Kanada, Korea Selatan, Jepang, mencapai 7,2 persen pada Januari 2022 (year on year).
Inflasi masih berjingkat-jingkat. Di Turki inflasi di pada Januari lalu tercatat mencapai 48,9 persen year on year (yoy), naik dari level 36,1 persen di bulan Desember 2021. Lonjakan inflasi di negeri Ottoman ini telah dimulai sejak November 2021, melejit dari level sebelumnya yang rata-rata hanya 3,5 persen. Situasi yang lebih berat bergulir di Argentina, yang dihantam inflasi tinggi sejak pertengahan 2021 dan hingga Januari 2022 masih bertengger di atas 50 persen.
Namun, kawasan Asia Tengggara (Asean) tidak termasuk area yang dihantui inflasi. Secara umum, rata-rata inflasi di negara Asean pada Januari--Februari 2022 ini masih di sekitar 3 persen. Filipina yang tertekan oleh harga minyak bumi yang terus melonjak hingga di atas USD100 per barel, dan menyebabkan biaya produksi berbagai barang meningkat, masih bisa menahan gejolak inflasinya.
Di Indonesia inflasi cukup terkendali. Rilis berita Bank Indonesia (BI) awal Maret 2022 menyebut, inflasi indeks harga konsumen (IHK) Februari 2022 tercatat 2,06 persen (yoy), sedikit lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya 2,18 persen (yoy). Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, guna menjaga inflasi pada kisaran targetnya, yaitu 3,0±1 persen pada 2022.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2022 mengalami deflasi 0,02 persen month to month (mtm), setelah bulan sebelumnya mencatat inflasi 0,56 persen (mtm). Perkembangan ini bertolak dari deflasi pada kelompok volatile food serta penurunan inflasi inti dan kelompok barang dan jasa yang harganya dikendalikan pemerintah (administered prices).
Inflasi inti, yang dipengaruhi oleh perubahan permintaan-penawaran dan fluktuasi nilai tukar mata uang, pada Februari 2022 tercatat 0,31 persen (mtm), menyusut dari inflasi pada Januari 2022 yang 0,42 persen (mtm). Ia berfluktuasi di level yang rendah. Artinya, tak ada isu soal kelangkaan barang atau anjloknya nilai tukar. Faktor penyusutan itu didorong oleh melandainya mobilitas masyarakat karena lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron.
Berdasarkan komoditasnya, penurunan inflasi inti terutama disumbang oleh komoditas sewa rumah dan mobil. Secara tahunan inflasi inti Februari 2022 tercatat 2,03 persen (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya yang tercatat 1,84 persen (yoy). Inflasi inti tetap rendah di tengah permintaan domestik yang meningkat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi.
Kelompok volatile food di Februari 2022 mencatat deflasi sebesar 1,50 persen (mtm), setelah pada bulan sebelumnya mencatat inflasi 1,3 persen (mtm). Situasi ini dipengaruhi oleh deflasi komoditas telur ayam ras, dan daging ayam ras, dan implementasi kebijakan pemerintah terkait harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dan peningkatan produksi. Secara tahunan, kelompok volatile food mengalami inflasi sebesar 1,81% (yoy).
Pada kelompok administered prices, Februari 2022 mencatat inflasi 0,18 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi Januari 0,38 persen (mtm). Kondisi ini dipengaruhi oleh deflasi angkutan udara seiring penurunan mobilitas udara.
Namun, perlambatan inflasi lebih jauh pada kelompok administered prices ini tertahan oleh inflasi bahan bakar rumah tangga, aneka rokok, dampak lanjutan dari penyesuaian harga LPG nonsubsidi, dan kenaikan cukai tembakau. Secara tahunan, kelompok administered prices ini telah mengalami inflasi 2,34 persen (yoy), melambat dari inflasi bulan sebelumnya yang 2,37 persen.
Peringatan Presiden
Meski geliat inflasi di dalam negeri masih terkendali, Presiden Joko Widodo mengingatkan semua pihak berhati-hati atas perkembangan global. Semua harus waspada. Peringatan itu disampaikan saat Presiden Jokowi memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa, 1 Maret 2022.
Kenaikan harga atas berbagai macam barang bisa terjadi pada hari-hari ke depan. Penyebabnya, pertama, ada gejala kelangkaan kontainer di seluruh dunia yang akan mendorong ongkos angkut (freight cost) naik sehingga memicu kenaikan biaya logistik.
"Artinya apa? Harga barangnya ikut naik. Kalau harganya naik, artinya harga konsumen akan lebih mahal dari biasanya. Hati-hati dengan ini, baru urusan kontainer," ungkap Presiden Jokowi. Ia menyebut, terjadi kelangkaan pangan di berbagai belahan dunia dan mendorong harga-harga pangan naik, bahkan hingga 90 persen.
Faktor keduanya inflasi global. “Apa yang terjadi kalau inflasi naik, artinya harga-harga semua naik. Beban masyarakat untuk membeli barang yang diinginkan juga semakin naik tinggi," kata Presiden.
Yang ketiga, Presiden Jokowi menyatakan, sudah terjadi kelangkaan energi. Kondisi ini, menurutnya, diperburuk dengan adanya perang di Ukraina, setelah negeri itu diinvasi Rusia sejak 24 Februari lalu. Akibatnya, harga BBM hingga LPG diperkirakannya akan naik.
‘’Karena kelangkaan, ditambah perang pula, harga naik lagi. Sekarang harga batu bara sudah di atas USD per ton 100 sebelumnya hanya (USD)50--60. Di semua negara kalau harga BBM naik, LPG naik, semua (energi) akan naik. Hati-hati dengan ini," ucapnya.
Akibatnya, menurut Presiden Jokowi, terjadi juga kenaikan harga di tingkat produsen, karena harga bahan baku naik, biaya proses naik, biaya logistik pun ikut naik. Sampai di tangan konsumen harganya lebih mahal. ‘’Ini efek berantainya seperti ini. Oleh sebab itu sekarang kerja makro aja enggak mungkin," papar Presiden Jokowi.
Maka, kerja mikro sektor per sektor harus disiapkan, termasuk melakukan mitigasi kelompok produk tertentu, agar infllasi tidak menjadi-jadi.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaksi: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari