Terdapat lima pilar sinergi dalam mengelola sumber daya alam. Kelima hal ini harus diintegrasikan melalui Simbara.
Perang antara Ukraina dan Rusia belum juga berakhir sejak negeri beruang merah melakukan invasi ke negara tetangganya, 24 Februari 2022.
Tak pelak, perang di daerah Balkan Eropa itu juga menyeret kenaikan harga energi, seperti minyak mentah dan batu bara. Harga minyak mentah Brent, misalnya, kini sudah naik 3,33 persen menjadi USD127,3 per barel.
Demikian pula harga West Texas Intermediate (WTI)—harga minyak mentah acuan AS—naik 3,77 persen menjadi USD123,1 per barel. Bahkan, beberapa kalangan memprediksi harga emas hitam itu bisa tergelincir hingga USD300 per barel.
Demikian pula harga komoditas energi lainnya, batu bara. Harga komoditas ini langsung melejit, begitu terjadi perang dan adanya sanksi AS dan sekutunya terhadap Rusia.
Pada Rabu (9/3/2022), harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di USD426,85/troy ons. Naik 0,28 persen dari hari sebelumnya.
Dalam sebulan terakhir, harga meroket 94,02 persen secara point-to-point. Selama setahun terakhir, harga naik 417,08 persen.
Bila mengacu ke harga seperti disebutkan di atas, pelaku usaha di sektor itu tentu sangat menikmati hasil dari produksinya. Tentu saja harga yang berkembang saat ini terjadi pascanaiknya eskalasi di Kawasan Eropa.
Bila melihat tren 2021, harga komoditas itu, mengacu harga batu bara acuan (HBA) yang dikeluarkan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, sudah di atas USD80 per ton. Pernah mencapai titik puncak di seputar November 2021 sebesar USD200 per ton dan di Desember 2021 sebesar USD159,79 per ton.
Kemudian, naik lagi USD158,50 di Januari 2022, Februari (USD188,38 per ton). Kementerian ESDM pun sudah menetapkan HBA untuk periode Maret 2022 sebesar USD203,69 per ton.
Sementara itu, berdasarkan data pasar ICE Newcastle Kamis (10/3/2022), harga batu bara untuk kontrak Maret 2022 telah mencapai USD423,15 per ton, mendekati titik tertinggi yang sempat pernah dicapai beberapa waktu lalu di USD440 per ton.
Disebut-sebut, produk batu bara Indonesia kini mulai diincar negara-negara kawasan Eropa untuk membangkitkan energinya menggantikan pasokan batu bara dari Rusia. Bila mengacu dari data-data di atas, pendapatan pelaku usaha sektor batu bara kini sedang gurih-gurihnya.
Ujungnya juga mendongkrak penerimaan negara dari sektor minerba. Laporan Ditjen Minerba Kementerian ESDM menyebutkan, selama 2021 capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp75,15 triliun.
"Tahun 2021, Alhamdulillah, realisasi PNBP minerba sebesar Rp75,16 triliun atau 192,2% dari target yang semula Rp39,1 triliun," ujar Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin dalam satu kesempatan.
Pada 2022, target penerimaan PNBP minerba diturunkan menjadi Rp42,36 triliun, jauh dibandingkan penerimaan 2021. Menurut Ridwan, karena rencana 2022 ini dibuat berdasarkan asumsi produksi batu bara sebesar 550 juta ton dengan nilai Harga Batubara Acuan (HBA) USD67,3.
Bisa jadi melihat potensi yang luar biasa dari sektor minerba seperti gambaran di atas, pemerintah pun bergerak cepat untuk mengamankan dan mengawasinya di tengah tekanan penerimaan lainnya yang masih belum optimal. Inilah yang melandasi lahirnya sistem informasi mineral dan batu bara antar kementerian/lembaga (Simbara).
Seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, lahirnya sistem itu merupakan sinergi untuk menjawab kebutuhan pada era digitalisasi. Di sektor itu membutuhkan adanya suatu ekosistem yang mengintegrasikan antarsistem kementerian/lembaga terkait pengelolaan dan pengawasan mineral dan batubara (minerba).
“Terdapat lima pilar sinergi dalam mengelola sumber daya alam yang meliputi dokumen, uang, jasa pengangkut/transportasi, orang, dan barang. Kelima hal ini harus diintegrasikan melalui Simbara tersebut,” ujarnya Selasa (8/3/2022).
Menurutnya, di dalam era di mana teknologi digital sekarang ini semakin maju, maka keseluruhan proses bisnis harus berorientasi kepada pelayanan yang makin mudah, makin baik, namun juga pada saat yang sama perlu adanya akuntabilitas dari keseluruhan proses bisnis ini sehingga menjadi wujud pengelolaan yang baik tersebut menjadi suatu keharusan/keniscayaan.
Simbara mengintegrasikan sistem dan data dari hulu hingga hilir; mulai dari perijinan tambang, rencana penjualan, verifikasi penjualan, pembayaran PNBP, ekspor, dan pengangkutan/pengapalan serta devisa hasil ekspor.
Dengan adanya ekosistem ini, diharapkan dapat mewujudkan satu data minerba antarkementerian/lembaga, meningkatkan kepatuhan dan efektivitas pengawasan sektor minerba, optimalisasi penerimaan negara serta peningkatan layanan kepada pelaku usaha dan masyarakat.
Selain itu, melalui Simbara juga dapat dilakukan pemantauan atas pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri melalui pemantauan arus barang dan pengembalian devisa hasil ekspor ke tanah air.
Para pelaku usaha (pemegang izin produksi pertambangan), para petugas survei, agen pelayaran, dan instansi lain yang terlibat, diharapkan memahami dan meningkatkan kepatuhan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Itu berkaitan dengan pengelolaan dan pengawasan minerba, antara lain, penginputan secara benar terkait identitas perusahaan, kebenaran data tonase, kualitas dan harga jual pada pembayaran PNBP, dokumen verifikasi petugas survei, pemberitahuan pabean ekspor, dan pada penginputan data dalam rangka penerbitan surat persetujuan berlayar.
Sistem akan melakukan validasi terhadap bukti pembayaran royalti dan akan melakukan penolakan dalam hal ditemukan data tidak valid. Dengan adanya Simbara ini pengawasan akan dilakukan secara menyeluruh bahkan dapat dilakukan proses penegakan hukum.
Tidak hanya di sektor minerba, Kementerian Keuangan juga telah memulainya bersama SKK Migas berkaitan dengan kegiatan hulu migas.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari