Industri migas diprediksi terus tumbuh. Diharapkan kegiatan produksi dan suplai pun bisa bergerak seiring.
Perang Ukraina versus Rusia yang belum juga beranjak reda telah mengerek harga minyak dunia. Bagi pemilik sumber daya itu, tingginya harga minyak dunia saat ini membawa dampak positif pemilik potensi tersebut, termasuk Indonesia.
Bayangkan, kini harga minyak mentah dunia sudah melampaui level psikologis USD100 per barel atau mencetak rekor tertinggi sejak 2014. Sayangnya, realitas itu ternyata belum cukup ampuh mendorong investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas) hingga mencapai target yang ditetapkan.
Di sisi lain, Indonesia memiliki 128 basin yang potensial untuk dieksplorasi. Wajar saja, pemerintah pun mendorong pemilik modal, baik dalam maupun asing untuk melakukan investasi di industri hulu migas.
Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno mengatakan, dari 128 basin, 20 di antaranya sudah beroperasi, 19 sudah di-drill dan ditemukan hydrocarbon dan 68 basin masih belum di-drill.
Sebagai gambaran, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi migas yang masuk pada 2021 hanya sebesar USD15,9 miliar, atau lebih rendah dari yang dipatok pemerintah yakni USD16,21 miliar.
Kendati target investasi migas 2021 belum tercapai, pada tahun ini pemerintah mengincar angka investasi yang lebih besar lagi, yakni USD17 miliar.
“Jadi parameter investasinya terutama attractive plant nya masih oke, Inilah tantangan bagi industri migas ke depan,” ujarnya dalam satu webinar dengan tema Industri Hulu Migas dalam Menghadapi Situasi Global dan Harga Minyak Dunia di Jakarta, Rabu (13/4/2022).
Julius menjelaskan, dengan banyaknya basin yang belum digarap tentu membutuhkan upaya yang sangat besar untuk mengubah sumber daya menjadi cadangan (reserve). “Ini sangat menantang sekali migas Indonesia dari barat ke timur dari offshore maupun onshore. Ada basin yang sudah di-driling dan ditemukan hidrocarbon tapi belum dikomersialkan, ada undeveloped discovery yang harus kita kerja samakan bersama investor dan pemerintah,” lanjutnya.
Julius Wiratno memprediksi industri migas akan terus tumbuh hingga 2030-2050, sehingga diharapkan kegiatan produksi dan suplai juga akan mengalami kenaikan meski diperkirakan gas akan mengalami produksi yang lebih tinggi sebagai alternatif energi transisi.
“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar menarik investor, salah satunya adalah masalah fiskal,” ujarnya.
Sementara itu, Indonesian Petroleum Association (IPA) menilai, tingginya harga minyak dunia saat ini membawa dampak positif bagi Indonesia karena akan menarik investasi di industri hulu migas. Menurut lembaga itu, ada gap yang besar antara produksi dan konsumsi. Tercatat Indonesia masih harus melakukan impor sebanyak 700.000 barel per hari untuk menutup kebutuhan energi tanah air yang tentunya akan menguras cadangan devisa negara tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, industri hulu migas kini menghadapi ketidakpastian global. Untuk itu Indonesia harus menentukan prioritas terhadap ketahanan energi tanah air. “Karena sumber energi berasal dari alam, maka pengelolaannya tidak boleh bersifat sektoral atau tersegmentasi. Selain itu, energi merupakan bentuk kedaulatan bangsa yang bersifat luas dan panjang melebihi periodisasi politik sehingga pengelolaannya harus teritegrasi,” paparnya.
Mamit mengharapkan adanya kelincahan pemerintah untuk mengambil momentum kenaikan harga minyak dunia. “Kami memberi apresiasi kepada DPR yang akan menggenjot revisi UU migas tahun ini, perlunya peningkatan lifting migas guna meningkatkan investasi hulu migas dan perlu ada political will pemerintah untuk menyelesaikan seluruh pemasalahan industri hulu migas di tanah air,” tuturnya.
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) John H Simamora mengungkapkan, Kementerian Keuangan adalah kunci peningkatan investasi hulu migas nasional. “Kementerian Keuangan selaku bendahara negara harus menjaga pos-pos penerimaan negara. Namun pos-pos tersebut tentu tidak akan berjalan jika tidak ada aktivitas, salah satunya kegiatan produksi migas,” ungkap John.
Menurutnya, kegiatan usaha hulu migas merupakan salah satu penyumbang pajak terbesar Indonesia. Kegiatan operasi produksi migas dapat berlangsung dengan adanya kesesuaian keekonomian yang ditunjang oleh insentif dari pemerintah.
“Masih terlihat bahwa pajak migas sangat tinggi kontribusinya. Oleh sebab aktivitas [produksi migas] harus terus berjalan. Kalau operasi migas stagnan, penerimaan pajak juga terganggu,” tegasnya.
Perbaikan fiskal, lanjut John, diharapkan oleh KKKS. Pasalnya, kegiatan produksi hulu migas memerlukan kesiapan biaya investasi dan keandalan teknologi. Harus diakui, pemerintah perlu mengelola hulu migas dengan lebih kompetitif sehingga minat KKKS kembali tumbuh.
Sebenarnya, pemerintah pun telah merespons penurunan investasi migas ini dengan mengeluarkan aturan baru. Seperti disampaikan Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, pihaknya telah berupaya menarik minat investor melalui penawaran split bagi hasil hingga 50:50 untuk wilayah WK berisiko tinggi.
Selanjutnya, nilai first tranche petroleum (FTP) turun menjadi 10 persen shareable dengan fleksibilitas memilih sistem cost recovery atau gross split. Menurutnya, pemerintah juga tengah menyusun revisi PP 2/2017 tentang tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri, dan Peraturan Pemerintah 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split, guna meningkatkan keekonomian kegiatan hulu migas.
“Kami terus bekerja keras untuk mendorong meningkatnya iklim investasi hulu migas guna mendorong peningkatan produksi migas nasional,” ujarnya.
Demikian pula dengan rencana menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 35/2021 tentang Tata Cara Penetapan Penawaran Wilayah Kerja Migas. Harapannya, sejumlah regulasi baru itu mendorong minat investor, terutama di beberapa beberapa lelang wilayah kerja (WK) migas yang ditawarkan pemerintah sehingga industri migas tanah air bergairah kembali.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari