Tingginya pertumbuhan ekspor nonmigas pada Maret 2022 menyebabkan rekor atas surplus neraca perdagangannya.
Di tengah dunia yang masih didera pandemi dan berkecamuknya perang Ukraina–Rusia, Indonesia patut bersyukur lantaran kinerja perdagangannya mencatat surplus 23 kali berturut-turut hingga Maret 2022.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, komoditas mineral tetap menjadi andalan terhadap kenaikan ekspor nonmigas. Namun, kinerja ekspor nonkomoditas tidak terlalu siginifikan kenaikannya dan masih jadi pekerjaan rumah ke depan.
Lembaga itu juga menyebutkan surplus neraca perdagangan pada bulan lalu mencapai USD4,53 miliar, atau memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah karena nilai ekspor tercatat USD26,50 miliar sedangkan nilai impor hanya USD21,97 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menyatakan bahwa tingginya pertumbuhan ekspor nonmigas pada Maret 2022 menyebabkan surplus neraca perdagangannya semakin besar. “Beberapa komoditas nonmigas yang mengalami kenaikan harga yang tinggi, di antaranya batu bara sebesar 49,91 persen, nikel 41,26 persen, dan minyak kelapa sawit 16,72 persen,” ujarnya, dalam konferensi pers, Senin (18/4/2022).
Kenaikan harga juga terjadi pada harga minyak mentah Indonesia sebesar 18,58 persen, serta tembaga, alumunium, dan emas. "Namun demikian, ada juga beberapa harga yang turun, di antaranya karet, timah, dan minyak kernel," kata dia.
Masih dari laporan BPS, bila dibedah lebih jauh soal kenaikan ekspor nonmigas, komoditas yang menyumbang kenaikan adalah komoditas bahan bakar mineral, besi dan baja, lemak dan minyak hewan nabati, nikel, dan logam mulia.
Margo menambahkan, kenaikan ekspor nonmigas disumbangkan oleh sejumlah mitra dagang utama, yakni Tiongkok, India, Amerika Serikat, Vietnam, dan Malaysia. Sebaliknya, penurunan ekspor nonmigas terbesar berasal dari Ukraina, Mauritania, Bulgaria, Turki, dan Rusia. Secara bulanan (month to month/ MtM), ekspor nonmigas juga tumbuh 28,82 persen dibandingkan dengan Februari 2022. Struktur ekspor nonmigas per Maret 2022 menyumbang 94,7 persen dari total ekspor.
“Ekspor nonmigas Maret 2022 mencapai USD25,09 miliar, naik 28,82 persen dibandingkan dengan Februari 2022, dan naik 43,82 persen dibanding ekspor nonmigas Maret 2021,” kata Margo.
Adapun, berdasarkan sektornya, ekspor nonmigas dari hasil industri pengolahan Januari–Maret 2022 tercatat mengalami kenaikan 29,68 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2021.
Nilai pencapaian dari subsektor itu bisa menembus USD50,52 miliar untuk periode Januari–Maret 2022. Pencapaian itu merupakan kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD38,95 miliar.
Pada kesempatan itu, Margo Yuwono juga melaporkan ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan juga tetap naik 10,30 persen, serta ekspor hasil tambang dan lainnya melonjak 78,65 persen.
Kontribusi Dominan
Berdasarkan laporan BPS itu, harus diakui kinerja sektor industri tetap memberikan kontribusi paling dominan, yakni 76,37% dari total nilai ekspor nasional yang berada di angka USD66,14 miliar, selama periode
kuartal I-2022. Prestasi itu tentu sangat membanggakan dan patut terus dipertahankan, bahkan terus digenjot.
Prestasi itu juga menjadi perhatian Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. “Alhamdulillah, sektor industri masih konsisten menjadi kontributor terbesar dalam capaian nilai ekspor nasional, di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu, terutama dampak pandemi dan perang antara Rusia-Ukraina,” ujarnya, di Jakarta, Selasa (19/4/2022).
Menperin memberikan apresiasi kepada para pelaku industri manufaktur di Indonesia yang semakin semangat untuk memperluas pasar ekspornya. Meski, menghadapi berbagai tantangan saat ini. “Artinya, sektor industri telah menunjukkan geliat dan resiliensinya. Lewat kombinasi fasilitas insentif fiskal dan nonfiskal yang diberikan pemerintah, kinerja sektor industri makin gemilang dan agresif di triwulan pertama 2022 ini,” tuturnya.
Agus optimistis, sektor industri menjadi penopang utama dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Salah satu kebijakan Kementerian Perindustrian yang tetap fokus dijalankan adalah hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia.
“Di tengah momentum kenaikan harga komoditas, Indonesia perlu terus memacu hilirisasi komoditas unggulan sehingga ekspor Indonesia tidak lagi berasal dari komoditas hulu, melainkan mengandalkan komoditas hilir yang memiliki nilai tambah tinggi,” paparnya.
Hasil kinerja neraca perdagangan Indonesia selama periode Maret yang cukup moncer itu menjadi pertanda bahwa momentum pemulihan ekonomi nasional tetap terjaga, kendati perekonomian global masih dibayang-bayangi ketidakpastian. Kinerja neraca perdagangan yang kembali mencatat surplus menunjukkan geliat usaha sudah berada di jalur yang tepat dan itu menjadi modal yang amat berharga untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional yang tahun ini ditargetkan mencapai 4,7 persen--5,5 persen.
Meski demikian, Indonesia harus tetap waspada karena perekonomian dunia masih sangat berisiko menekan pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dari sisi inflasi. Apalagi peningkatan ekspor Indonesia bukan terjadi akibat perbaikan daya saing produk, melainkan lebih banyak dipicu faktor eksternal berupa lonjakan harga komoditas, seperti minyak sawit mentah (CPO), batu bara, migas, nikel, tembaga, alumunium, timah, dan besi-baja.
Dari gambaran di atas, pemerintah dan para pelaku usaha perlu memperhatikan dan menjadikan pekerjaan rumah di masa datang dengan mendorong peningkatan ekspor nonkomoditas agar Indonesia menjadi negara yang mandiri dari sisi pangan.
Selain itu, upaya Indonesia untuk menjadi negara yang mampu menciptakan produk yang bernilai jual tinggi untuk diekspor harus terus didorong. Ke depannya, negara ini tidak hanya mengandalkan ekspor komoditas.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari