Capaian surplus neraca perdagangan merupakan salah satu indikator performa positif perekonomian Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporannya soal kinerja neraca perdagangan periode April 2022. Lembaga itu melaporkan neraca perdagangan tercatat surplus USD7,56 miliar pada April 2022, naik dibandingkan bulan sebelumnya yakni USD4,53 miliar.
Lembaga itu juga menyebutkan penyebab terjadinya surplus perdagangan seiring dengan kinerja impor yang turun di tengah kenaikan ekspor. Berita ini tentu sangat positif, sektor manufaktur telah bergerak mendongkrak ekonomi nasional.
Kepala BPS Margo Yuwono mengemukakan, nilai ekspor bulan lalu adalah USD27,32 miliar. Naik 47,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Sementara itu, nilai ekspor bulan itu naik 3,11 persen dibandingkan periode Maret 2022 (m to m).
Dari nilai ekspor itu, ekspor migas tercatat mencapai USD1,43 miliar, naik 48,93 persen dibandingkan periode yang sama 2021 (year-on-year/yoy). Begitu juga dengan ekspor nonmigas yang mencapai USD25,89 miliar, naik 47,69 persen dibandingkan periode yang sama 2021.
Sebelum BPS mengeluarkan rilis soal kinerja ekspor itu, sejumlah kalangan hanya memberikan prediksi pertumbuhan yang di bawah dari pencapaian kinerja neraca perdagangan periode April tersebut, seperti konsensus versi Reuters ada di 35,97 persen yoy.
"Harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia pada April USD102,5/barel, dibandingkan April tahun lalu naik 65,45 persen. Demikian pula sebagian komoditas nonmigas seperti batu bara, kopi," ujar Margo dalam konferensi pers, Selasa (17/5/2022),
Yang jelas, dia menjelaskan, penyumbang surplus terbesar berasal dari komoditas lemah dan minyak hewan nabati, disusul bahan bakar mineral. Mengutip data Bank Dunia, lembaga itu menyebutkan sejumlah harga komoditas unggulan Indonesia masih tinggi meskipun mengalami penurunan. Misalnya CPO masih bertengger di USD1682,7 per ton. Demikian pula, batu bara (USD302,0/ton), nikel (USD33.132,7/ton), dan kopi (USD2,3/kg).
Selain itu, tambah Margo, sejumlah negara mitra dagang Indonesia masih tumbuh positif pada kuartal I-2022. Namun IMF sudah merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi global dan akan berpotensi pada kegiatan ekspor pada bulan-bulan mendatang.
Tersendatnya pertumbuhan negara-negara itu tidak terlepas dari kondisi dunia masih didera pengaruh dari perang antara Rusia-Ukraina di belahan utara kawasan Eropa. Namun sejumlah negara mitra dagang utama Indonesia masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif, terutama mulai kuartal IV-2021 hingga kuartal I-2022.
Sebut saja, Tiongkok yang mencatat pertumbuhan 4,8 persen pada kuartal I/2022. Demikian pula AS (3,6 persen), Korea Selatan (3,1 persen), Singapura (3,4 persen), India (4,6 persen), Taiwan (3,1 persen), dan Uni Eropa (5,2 persen).
Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi global? IMF masih memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang tetap positif meski lembaga itu sempat melakukan koreksi dengan menurunkan proyeksi pertumbuhan menjadi 3,6 persen dari semula 4,4 persen.
"Memang benar, Tiongkok tumbuh 4,8 persen. Sebagai mitra dagang utama kita. Shanghai menerapkan lockdown sejak akhir Maret, tentu ini akan berdampak kepada kinerja ekspor. Kemudian Amerika, ada kenaikan suku bunga The Fed dan ini bisa mempengaruhi kegiatan ekspor dan impor kita," papar Margo.
Di dalam negeri, demikian Margo, pada April ada Ramadan dan persiapan lebaran yang mendorong konsumsi masyarakat. Ini bisa berdampak kepada peningkatan impor barang. Ada pula kebijakan larangan ekspor sawit per 28 April, ini diberlakukan sampai harga minyak goreng bisa lebih terjangkau.
Merespons laporan kinerja neraca perdagangan itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, pencapaian itu merupakan salah satu indikator perekonomian yang memiliki performa positif. Menurutnya, neraca perdagangan yang kembali melajutkan trend surplus pada April 2022 dengan nilai mencapai USD7,56 miliar.
Angka tersebut merupakan rekor tertinggi yang berhasil melampaui Oktober 2021 dengan nilai sebesar USD5,74 miliar. Pencapaian tersebut kian membawa perekonomian Indonesia menjadi lebih tangguh mengingat neraca perdagangan merupakan salah satu indikator utama dalam meningkatkan cadangan devisa dan menjaga ketahanan sektor eksternal Indonesia.
“Neraca perdagangan merupakan determinan yang sangat penting dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi dan menjaga ketahanan sektor eksternal Indonesia. Kita bersyukur bahwa salah satu engine utama pertumbuhan ekonomi ini terus mengalami performa gemilang dan bahkan kembali mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa,” ujar Airlangga Hartarto.
Selain kinerja surplus pada nilai ekspor tersebut salah satunya dipengaruhi oleh tingginya harga komoditas unggulan saat ini, indikator penyumbang positifnya kinerja neraca perdagangan juga disebabkan tingginya dominasi sektor industri pada kegiatan ekspor yang mencapai 69,86 persen.
Sektor industri juga menjadi stimulus dalam peningkatan nilai surplus ekspor, hal ini karena kinerja ekspor akan mengarah pada basis komoditas-komoditas dengan nilai tambah yang terus bertumbuh.
Menurut Airlangga, program hilirisasi yang diterapkan pemerintah untuk mendorong nilai tambah komoditas di tengah harga yang kian meningkat juga memiliki andil dalam tumbuhnya kinerja ekspor saat ini.
Terlepas dari gambaran data di atas, bangsa ini tetap harus waspada. Memang perang antara Rusia dan Ukraina yang terus berlanjut telah memperpanjang tren kenaikan harga komoditas dan itu tentu menguntungkan bagi Indonesia sebagai pemilik komoditas unggulan tersebut.
Namun, di sisi lain konflik di kawasan Eropa itu juga menciptakan krisis energi dan pangan global. Harga energi menjadi melambung, demikian pula harga pangan. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi produk unggulan ekspornya dengan serius, baik dari sisi negara maupun produk. Bila diversifikasi dilakukan, ketahanan neraca perdagangan yang positif bisa terus berkelanjutan. Penerimaan devisa pun semakin moncer.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari