Dirut RSCM tak bisa mengkorfirmasikan hubungan antara hepatitis akut dan Covid-19. WHO menyatakan, dari 348 kasus hepatitis akut pada anak, 70 persen terkait adenovirus.
Tidak mudah merangkai hubungan sebab akibat yang terang antara fenomena penyakit hepatitis akut pada anak-anak dan Covid-19. Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dina Liastuti mengatakan, belum bisa memastikan apakah pandemi Covid-19 itu berdampak pada datangnya hepatitis akut yang misterius. Sebagian pasien hepatitis akut tercatat punya riwayat Covid-19. Namun, sebagian lainnya belum pernah terpapar Covid-19.
‘’Kalau kita melihat data, campur, ada yang sudah kena Covid-19, ada yang tidak. Ada yang sudah divaksinasi, ada yang belum. Jadi sama saja. Kita enggak tahu bagaimana hubungannya," kata Lies dalam konferensi pers di Gedung Kiara, RSCM, Jakarta Pusat, Selasa (17/5/2022).
Meski begitu, Lies mengatakan, hasil riset terbaru di Inggris menyebutkan bahwa kondisi pandemi dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya. Ia mencontohkan, pandemi influenza yang terjadi puluhan tahun yang lalu bisa menimbulkan kasus-kasus baru. "Jadi kalau ditanya apa ada pengaruh pandemi Covid-19 atau tidak, kita belum tahu. Belum ada bukti yang benar-benar mengarah pada Covid-19, karena yang non-Covid-19 juga ada," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dokter Spesialis Anak Konsultan Gastro Hepatologi RSCM Hanifah Oswari mengatakan, mengatakan hal yang agak berbeda. Ia menyebut, ada kemungkinan pandemi Covid-19 itu berhubungan dengan radang hati hepatitis akut. Saat ini, katanya, para peneliti masih melakukan riset untuk menyingkap hal tersebut.
"Mereka (para peneliti) masih mencari apakah betul ada hubungan secara langsung ataukah tidak. Sampai saat ini belum sampai diputuskan, belum dipastikan’’ tutur Profesor Hanifah Oswari. Sejalan dengan pandangan Oswari, Dicky Budiman, kandidat doktor dari Griffith University Australia, yang sering memberikan ulasan tentang Covid-19 kepada pers Indonesia, melontarkan dugaan bahwa hepatitis akut misterius merupakan salah satu efek jangka panjang infeksi Covid-19 atau long covid.
Ihwal hubungan antara pandemi Covid-19 dan hepatis akut (acute hepatitis of unknown aetiology) itu tak hanya bergema di Indonesia. Di banyak negara fenomena radang hati pada anak-anak yang misterius itu juga mengundang pertanyaan khalayak. Maklum, menurut WHO, penyakit baru dan berbahaya itu telah masuk ke setidaknya ke-27 negara, termasuk Indonesia.
Dalam keterangan persnya dari Kantor Pusat WHO di Genewa, 10 Mei 2022, Phillipa Easterbrook, seorang pejabat dari Global Hepatitis Pregram, mengatakan bahwa pasien hepatitis akut ini telah mencapai 348 orang di seluruh dunia. Mereka semua berusia antara 0 hingga 16 tahun.
Dari jumlah 348 bocah tersebut, 70 persen pasien ternyata terinfeksi oleh adenovirus biotipe F-41, yang selama ini telah diketahui menjadi penyebab sejumlah gejala klinis sakit perut, diare, hingga radang saluran nafas. Namun, adenovirus belum memiliki reputasi sebagai penyebab radang hati, yang pada tahap lanjut mendatangkan simtom putih mata (sklera) dan kulit pasien menguning.
Adenovirus bukan satu-satunya faktor penyerta. Dalam populasi pasien hepatitis akut itu terdapat juga bocah-bocah yang punya riwayat pernah atau sedang terinfeksi Covid-19. Jumlah mereka 18 persen. Faktor adenovirus dianggap lebih signifikan. Maka, hipotesa adenovirus sebagai penyebab radang hati misterius itu, menurut Phillipa Easterbrook, adalah hipotesa yang paling kuat.
Namun, hipotesa itu memerlukan serangkaian bukti ilmiah agar bisa diterima sebagai tesis, yakni pernyataan ilmiah yang bisa diterima karena didukung oleh serangkaian bukti yang dikumpulkan dengan mengikuti prosedur dan metode ilmiah. Pembuktian ini yang kini sedang dilakukan banyak peneliti dari berbagai tempat.
Ada 450 Kasus
Ihwal hepatitis akut itu kali pertama dilaporkan oleh otoritas kesehatan Inggris Raya (UK) pada 5 April 2022, setelah menemukan kasus hepatitis misterius pada sejumlah anak. Tiga hari kemudian, tiga negara lain melaporkan hal yang sama. Pada 15 April 2022, WHO pun menyatakan hepatitis akut sebagai kejadian luar biasa dan menerbitkan surat peringatan. Pemantauan pun dilakukan.
Pada 3 Mei 2022, United Kingdom Health Security Agency (UKHSA) merilis risalah yang menyatakan bahwa 163 anak di bawah 16 tahun di Inggris Raya mengalami serangan hepatitis akut sampai akhir April 2022, dan 45 di antaranya dikatakan terinfeksi antara Oktober--Desember 2021. Masih ada 13 yang dirawat, selebihnya dinyatakan sembuh. Tak ada korban meninggal, namun ada 11 anak yang memerlukan transplantasi hati.
Laporan UKHSA itu juga menyebutkan adanya 105 anak-anak dari 13 negara Uni Eropa yang terserang hepatitis akut misterius. Tak dilaporkan ada pasien meninggal di seluruh negara Uni Eropa.
Dalam risalah lainnya yang dirilis 10 Mei 2022, UKHSA merangkum pula laporan resmi dari sejumlah negara. Disebutkan ada 181 kasus hepatitis akut di antara anak-anak di luar negara Eropa, yakni ada 8 kasus dari Argentina, Brasil (16), Kanada (7), Kosta Rika (2), Indonesia (15), Israel (12), Jepang (7), Panama (1), Palestina (1 ), Serbia (1), Singapura (1), Korea Selatan (1), dan Amerika Serikat (109).
Jadi, sejauh ini secara global setidaknya sudah ada 450 kasus, dengan 11 kematian. Kasus kematian itu dilaporkan dari Amerika Serikat 5 kasus, Indonesia 5 kasus, dan 1 kasus dari Palestina.
Verifikasi Data
Atas merebaknya kasus hepatitis akut misterius ini, Badan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular atau ECDC (European Center for Disease Prevention and Control) yang bermarkas pusat di Stockholm, Swedia, itu mengajak otoritas kesehatan di seluruh dunia saling bekerja sama berbagi data tentang penyakit ini. Dengan data pasien yang lebih besar diharapkan faktor-faktor peserta terjadinya kasus hepatitis akut bisa lebih mudah dipetakan.
Agar data yang terkumpul valid secara ilmiah, ECDC pun menetapkan protokol khusus pada sistem yang disebut The European Surveillance System (TESSy). Dari laporan surveilans ini, ECDC berniat menyusun laporan berkala. Untuk kawasan Area Ekonomi Eropa laporan TESSY sudah berjalan.
Protokol yang diberlakukan, antara lain, mensyaratkan bahwa hepatis akut ini berlaku untuk anak usia 16 tahun atau di bawahnya. Ia mengalami gejala khas hepatitis akut, yakni sakit perut, diare, mual, muntah, demam, lemas, berat badan turun, urin keruh, seperti air teh, dan mata serta kulit menguning. Tapi, pasien harus dipastikan tak mengidap Hepatitis A, B, C, D, atau E dan dibuktikan melalui tes antibodi.
Pasien disyaratkan juga menunjukkan gejala klinis hepatitis akut khas, dengan kandungan aspartat transaminase (AST) atau alanine transaminase (ALT) dalam darah lebih dari 500 IU/L. Mereka yang punya riwayat hepatitis yang disebabkan oleh toksisitas obat, kelainan metabolik herediter, atau autoimun tidak boleh dilaporkan berdasarkan protokol ini. Bila seluruh protokol terpenuhi, pasien boleh disebut probable penderita hepatitis akut.
Proses verifikasi yang belum baku itu membuat otoritas kesehatan di Indonesia buru-buru merilis kabar bahwa tiga pasien anak-anak yang meninggal di RSCM Jakarta sebagai korban hepatitis akut. Setelah diperiksa ulang catatan medisnya, menurut Dirut RSCM Lies Dina Liastuti, ternyata hanya satu pasien yang bisa disebut probable.
Satu orang discarded, disingkirkan dari kemungkinan korban hepatitis akut karena ternyata terkena serangan demam berdarah (DBD). Satu lagi masih di-pending statusnya. Ketiganya dirujuk ke RSCM dalam keadaan yang sudah parah, bahkan satu di antaranya sudah mengalami koma. Tidak banyak lagi tindakan medis yang bisa dilakukan.
Dari yang probable dan yang pending itu, RSCM bersama Litbang Kemenkes melakukan tracing dan testing ke kontak eratnya. ‘’Kita memeriksa saudaranya, orang tua dari anak kecil yang meninggal itu diperiksa ternyata enggak ada, enggak ada hubungannya, nggak ada yang kena hepatitis akut," kata Lies dalam konferensi pers di Gedung Kiara, RSCM. Penyakit ini seperti datang tanpa jejak.
Maka, asal usul yang samar dan jalur penularan hepatitis akut itu pun gelap. Justru, kemisteriusan itu yang membuatnya lebih berbahaya, karena lebih sulit untuk mencegah dan menghindarinya.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Elvira Inda Sari