Indonesia.go.id - IHSG Beranjak Pulih dari Tekanan

IHSG Beranjak Pulih dari Tekanan

  • Administrator
  • Selasa, 24 Mei 2022 | 06:00 WIB
INDEKS SAHAM
  Ilustrasi. Sektor teknologi masih memimpin penguatan saham dengan kenaikan 4,11%. Antara Foto/Sigid Kurniawan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menyusut 8,73%, terutama akibat kenaikan bunga acuan The Fed. Kapitalisasi BEI terkikis Rp690 triliun dalam sepekan. Namun, IHSG mulai bangkit dari guncangan.

Suasana panik dan gamang sudah mereda. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu konsisten meluncur di jalur hijau sepanjang pekan (17-20 Mei 2022), menguat  4,85 persen, dan siap merapat kembali ke level 7.000. Pada akhir perdagangan di Bursa Effek Indonesia (BEI), Jumat (20/5/2022), IHSG bertengger di angka 6.918.

Lantai bursa saham di Jakarta itu sudah kembali bergairah. Total volume transaksi bursa mencapai 22,04 miliar saham dengan nilai transaksi Rp15,9 triliun pada Jumat itu. Sebanyak 346 saham menguat, 173 saham turun harga ,dan 164 saham lainnya flat. Investor asing hari itu mencatat net buy sebesar Rp232 miliar.

Meski belum kembali ke level 7.228 pada 28 April 2022, hari perdagangan terakhir pada April 2022, IHSG sudah kembali rebound. Guncangan yang terjadi di pasar keuangan dunia, setelah The Federal Reserve (lembaga yang berperan sebagai Bank Sentral di AS), menaikkan suku bunga acuan, ternyata tak berkepanjangan. Maka, Jumat lalu itu IHSG terkerek hampir 95 poin (1.39 persen).

Sektor teknologi masih memimpin penguatan dengan kenaikan 4,11%. Sektor energi melesat 2,86%. Sektor barang konsumsi primer melonjak 2,37%. Sektor transportasi dan logistik naik 1,27%. Sektor kesehatan menguat 1,21%. Sektor perindustrian menanjak 0,92%. Properti dan real estat menguat 0,74%. Sektor barang konsumsi nonprimer naik 0,55%. Sektor barang baku terungkit 0,44%. Sektor keuangan naik 0,39%. Sektor infrastruktur menguat tipis 0,02%.

Situasi sepekan lalu itu berbeda dari pekan sebelumnya (9–13 Mei 2022), yang merupakan pekan pertama di bulan Mei setelah BEI tutup untuk libur Lebaran. Di tengah liburan Lebaran itu, The Fed mengerek  suku bunga acuan di AS sampai 50 basis poin. Ini adalah kenaikan kedua, setelah yang pertama dilakukan Maret 2022 lalu, dengan kenaikan 25 basis poin.

Dengan kenaikan itu, suku bunga acuan The Fed  mencapai 1 persen, dan diperkirakan akan diikuti kenaikan suku bunga bank di AS hingga mencapai level 2,5–3 persen. Kenaikan suku bunga itu pun sontak diikuti  dengan bergeraknya arus investor untuk menjual sahamnya di berbagai bursa dunia. Mereka memilih memindahkan portofolionya menjadi dolar AS dengan harapan meraih cuan yang lebih tinggi.

BEI pun diserbu aksi jual pada Senin 9 Mei 2022. Hari itu hampir semua saham masuk jalur merah dan diperdagangkan pada harga lebih rendah. Hari itu, IHSG pun terpelanting anjlok 330 poin dan terjun ke level 6.897, susut 4,5 persen.

Hari-hari berikutnya pun hampir tidak ada sentimen positif yang bisa menandingi gelegar gebrakan dari The Fed. Ditambah pula sentimen negatif, bahwa Tiongkok tak mencapai target pertumbuhannya pada kuartal I-2022 karena sibuk lockdown sana-sini untuk menekan sebaran Covid-19. Pun seiring melemahkan bursa saham regional, IHSG  terus menyusut hingga menyentuh batas bawah 6.598 pada penutupan perdagangan Jumat 14 Mei 2022. IHSG kempis 8,73% hanya dalam sepekan.

BEI juga mencatatkan penurunan rata-rata nilai transaksi hariannya, menjadi Rp20,45 triliun. Nilai tersebut menciut 14,6% dari Rp23,95 triliun pada penutupan pekan yang lalu. Penurunan tersebut juga ikut menyeret nilai kapitalisasi pasar BEI mengkerut Rp690 triliun (7,23%), ke level Rp8.864 triliun dari Rp9.555 triliun pada pekan sebelumnya. Investor asing juga terpantau melakukan aksi jual bersih atau net sell sebesar Rp9,11 triliun. Dengan turunnya IHSG 8,73% itu, berarti kenaikan neto sepanjang 2022 ini tinggal tersisa 0,25%.

Hentakan Jangka Pendek

Kepanikan bursa saham sebetulnya adalah kejadian rutin tiap kali The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Hanya saja, kali ini berbeda. Ia secara beruntun menaikkannya pada dua kali pada kurun waktu yang pendek. The Fed juga memberi aba-aba akan menaikkan suku bunga lagi, bahkan bisa sampai empat kali hingga akhir tahun, agar inflasi di AS mereda. April lalu ini, inflasinya masih 8,3 persen, dan The Fed bertekad menekannya sampai 4,7 persen di akhir tahun.

Setelah The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga acuannya itu, portal berita ekonomi Forbes (4/5/2022) menulis bahwa sebelumnya AS membiarkan inflasi menggelembung, karena berniat meningkatkan konsumsi masyarakat. Tujuannya, produksi meningkat dan menyerap  tenaga kerja. Kebijakan itu adalah bagian dari upayanya pulih dari dampak pandemi.

Target penyerapan tenaga kerja itu, menurut Forbes, sampai batas tertentu sudah tercapai. Target berikutnya ialah menekan inflasi dan itu yang dilakukan The Fed. Maka, ada restu Kongres AS, The Fed pun kini mencoba mengerem inflasi yang tertinggi dalam empat dasawarsa terakhir ini.

Kenaikan suku bunga itu meski tidak serta-merta akan memicu kenaikan bunga kartu kredit, bunga pinjaman  jangka pendek  antarbank, dan biaya pinjam-meminjam uang lainnya. Masyarakat akan menahan diri untuk belanja. Pilihan lainnya ialah menjual asetnya termasuk saham di pasar modal, agar mendapat uang untuk membayar sebagian dari hipotiknya, yang akan semakin mahal seiring kenaikan bunga bank. Sebagian lain, menukar sahamnya dengan sertifikat deposito di bank.

Situasi ini, menurut Forbes, berpengaruh ke pasar modal. Para investor biasanya serta-merta saja menjual sahamnya dan memindahkan ke instrumen investasi yang defensif. Mereka melakukan tanpa menunggu proses ekonomi rumit yang akan menyertai kenaikan bunga The Fed. Itu reaksi psikologi yang umum, begitu tulis The Fed.

Pengaruhnya jadi ke mana-mana karena dolar Amerika diperdagangkan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Tak pula mengherankan bila IHSG di BEI pun langsung klenger oleh kenaikan bunga The Fed. Namun, menurut Forbes, dalam jangka yang lebih panjang tak ada preseden bahwa naiknya suku bunga The Fed itu akan menekan pasar modal sampai habis-habisan.

Toh, pengaruh kebijakan The Fed itu berangsur mereda. Tidak ada dampak yang secara mendasar terlalu menganggu proses ekonomi global. Pengaruhnya terasa dalam jangka yang cukup pendek. Dengan begitu, IHSG pun berpeluang untuk  kembali berkembang mengikuti tren yang terbentuk sejak awal tahun.

Penulis : Putut Trihusodo

Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari