Indonesia.go.id - Jagung untuk Pakan tak lagi Impor

Jagung untuk Pakan tak lagi Impor

  • Administrator
  • Sabtu, 4 Juni 2022 | 08:27 WIB
INDUSTRI
  Petani memanen jagung di Desa Kaleke, Sigi, Sulawesi Tengah. Hampir 100% kebutuhan jagung telah dipenuhi dari produksi jagung dalam negeri. Antara Foto/ Basri Marzuki
Kebutuhan jagung untuk bahan baku industri pakan mencapai 8-9 juta ton per tahun. Hampir 100% kebutuhan itu dipenuhi dari produksi jagung dalam negeri.

Juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif, pada awal Mei 2022 mengungkapkan bahwa kebutuhan jagung untuk bahan baku industri pakan saat ini mencapai delapan hingga sembilan juta ton per tahun. Hampir 100% dari kebutuhan tersebut telah dipenuhi dari produksi jagung dalam negeri.

Penyerapan produksi jagung sebagai bahan baku industri dalam negeri itu mendapat dukungan penuh Kemenperin. Hal ini merupakan salah satu upaya menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pangan, dalam rangka menjaga keberlangsungan usaha dan meningkatkan perannya dalam perekonomian nasional. Langkah tersebut juga bertujuan untuk mendongrak produktivitas dan daya saing sektor tersebut.

Febri dalam rilis Kemenperin menuturkan, kebutuhan bahan baku jagung bagi industri pangan yang mencapai sekitar 1,2 juta ton pada 2021 baru dapat dipenuhi dari pasokan dalam negeri sebesar tujuh ribu ton. Sedangkan kebutuhan jagung untuk industri pangan di 2022 diperkirakan meningkat menjadi sekitar 1,5–1,6 juta ton, seiring dengan sudah beroperasinya satu investasi industri pati jagung baru di dalam negeri.

Kemenperin berupaya meningkatkan ketersediaan bahan baku bagi industri termasuk yang bersumber dari lokal, salah satunya melalui program nilai tambah dan daya saing di sektor industri agro. Antara lain, melalui perbaikan rantai pasok di sektor industri makanan, hasil laut, dan perikanan, serta pengembangan hilirisasi industri pati jagung yang bertujuan untuk substitusi impor.

“Dengan meningkatkan kualitas pengolahan hasil panen jagung dalam negeri, diharapkan dapat mendukung penyerapan produk tersebut ke dalam rantai pasok industri makanan,” pungkas Febri.

Rendahnya pasokan jagung dari dalam negeri untuk industri pangan disebabkan sulitnya mendapatkan jagung dengan tingkat kandungan aflatoksin di bawah 20 ppb (part per billion). “Itu merupakan angka maksimum kandungan aflaktoksin dalam jagung yang dipersyaratkan untuk industri pangan. Sedangkan untuk bahan baku industri pakan, angka aflaktoksin maksimum 50 ppb,” ujar Febri, seperti ditulis dalam rilis Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu.

Aflatoksin adalah cemaran mikotoksin yang dihasilkan dari metabolisme cendawan Aspergilus flavus, yang terkandung dalam biji jagung serta kacang-kacangan dan bersifat karsinogenik. Kandungan aflatoksin yang dikonsumsi dalam jumlah yang melebihi batas dan dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan.

Amerika Serikat menetapkan kandungan aflaktoksin total pada pangan maksimum 20 ppb. Sementara itu, Uni Eropa memberlakukan aturan kandungan aflatoksin total yang lebih ketat pada produk pangan yaitu maksimum sebesar 4 ppb, bahkan untuk susu formula dipersyaratkan bebas kandungan aflatoksin.

Di Indonesia, standar mengenai kandungan aflatoksin total jagung untuk pangan maupun pakan telah diatur dalam SNI 8926:2020 tentang Jagung, yaitu sebesar 20 ppb untuk pangan dan 100 ppb untuk pakan “Dengan demikian, angka tersebut merupakan batas aman kandungan aflatoksin dalam jagung,” kata Febri.

Dalam SNI ini, selain kandungan aflatoksin total, diatur pula kadar air maksimal pada jagung. Ini juga merupakan salah satu parameter syarat mutu penting yang digunakan oleh industri dalam pemilihan jagung sebagai bahan baku industri, khususnya industri pangan.

Untuk mendapatkan jagung dengan kandungan kadar aflatoksin total di bawah 20 ppb, jagung hasil panen harus segera dikeringkan dan disimpan di tempat yg tidak banyak terdapat kandungan uap air, seperti silo. Yang menjadi kendala, saat ini jumlah mesin pengering dan silo tempat penyimpanan jagung sangat terbatas. Sehingga, hasil panen jagung dari dalam negeri belum maksimal diolah menjadi bahan baku yang memenuhi kriteria industri pangan.

Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan luas tanam jagung pada 2022 mencapai 4,26 juta hektare (ha) atau luas panen 4,11 juta ha guna mengejar produksi sebanyak 23,10 juta ton jagung pipilan kering. Untuk mencapai target produksi tersebut, pemerintah mendorong pengembangan jagung hibrida, budi daya jagung wilayah khusus, dan pengembangan jagung pangan serta di kawasan sentra produksi pangan/food estate.

Sebelumnya Kementerian Pertanian telah menyusun road map produksi jagung dari 2020-2024 yang mana pada 2020 produksi jagung dengan kadar air 25 persen sebanyak 22,92 juta ton pipilan kering, pada 2021 (23 juta ton), pada 2022 (23,1 juta ton), pada 2023 (30 juta ton), dan pada 2024 sebanyak 35,3 juta ton.

Data prognosa Kementan dan BPS, luas panen jagung nasional Januari-Desember 2021 seluas 4,15 juta hektar, produksi bersihnya sebesar 15,79 juta ton dengan kadar air 14 persen. Sementara itu, untuk kebutuhan jagung setahun sebagai pakan, konsumsi, dan industri pangan totalnya mencapai 14,37 juta ton sehingga dengan menambahkan stok akhir Desember 2020 (carry over) sebesar 1,43 juta ton, diperoleh stok jagung 2021 sebanyak 2,85 juta ton.

Sedangkan luas panen jagung nasional periode Januari--Mei 2022 seluas 2,44 juta hektare dengan produksi bersih sebesar 9,26 ton (kadar air 14 persen). Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, data BPS mencatat produksi jagung 2021 dengan kadar air 14 persen sebesar 15,8 juta ton dan kebutuhan jagung nasional sekitar 14,36 juta ton.


Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari