Indonesia.go.id - Investasi Besar untuk Raih Nol Emisi di 2050

Investasi Besar untuk Raih Nol Emisi di 2050

  • Administrator
  • Minggu, 12 Juni 2022 | 21:00 WIB
G20
  Ilustrasi. Mengedepankan masyarakat sipil adalah kolaborasi kunci untuk mencapai transisi energi yang adil. Antara Foto/ Ari Bowo Sucipto
Kelompok kerja Civil of Twenty (C20) Presidensi Indonesia ingin mengedepankan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan kebijakan energi, lingkungan, dan perubahan iklim.

Lead Co-Chair Think 20 (T20) Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan, dunia membutuhkan investasi terkait iklim sebesar 125 triliun dolar AS untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Bambang mengutip data The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

"Ini termasuk investasi tahunan sebesar 32 triliun dolar AS di enam sektor utama yang menyumbang sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) dunia di 2021," ungkap Bambang, dalam Webinar T20 Indonesia di Jakarta, pada Kamis, 2 Juni 2022.

Adapun keenam sektor yang dimaksud adalah listrik yang membutuhkan 16 triliun dolar AS, transportasi sebesar 5,4 triliun dolar AS, dan gedung sebanyak 5,2 triliun dolar AS. Sektor industri yang membutuhkan investasi sebesar 2,2 triliun dolar AS, bahan bakar emisi rendah senilai 1,5 triliun dolar AS, serta agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya sebanyak 1,5 triliun dolar AS.

Kendati begitu, Bambang berpendapat, ada permasalahan mengenai kesenjangan yang lebar antara kapasitas pembiayaan ekonomi hijau negara berkembang dan negara maju. "Kapasitas ekonomi negara berkembang secara alami lebih rendah daripada negara maju. Tidak mengherankan bahwa mereka memiliki kapasitas fiskal dan moneter yang lebih kecil," ungkapnya. 

Hal tersebut diperburuk dengan pandemi yang telah mengambil ruang pembiayaan dan membutuhkan tindakan transisi iklim yang lebih besar. Banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang memiliki komitmen terhadap dekarbonisasi, sering terhambat oleh ruang fiskal yang terbatas dan kendala pembiayaan eksternal yang mengikat.

Sementara itu, Kelompok kerja Civil of Twenty (C20) Presidensi Indonesia ingin mengedepankan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan kebijakan energi, lingkungan, dan perubahan iklim.

Masyarakat sipil hidup di garda depan perubahan iklim dan tanpa kebijakan energi yang kuat dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Keberlangsungan hidup masyarakat di pedesaan dan pesisir, komunitas lokal, serta masyarakat adat sangat terancam.

Pemikiran-pemikiran tersebut terungkap dalam diskusi dengan topik transisi energi yang dilakukan C20 Indonesia bersama Business 20 (B20), Think 20 (T20), dan Science (S20), yang merupakan salah satu agenda prioritas G20 pada 30 Mei 2022.

Dalam diskusi itu, mereka mengeksplorasi rekomendasi-rekomendasi kebijakan dari keempat engagement groups yang akan diperuntukkan bagi pemimpin negara G20, melalui perspektif bisnis, peneliti, ilmuwan, dan masyarakat sipil. Isu transisi energi pada Kepresidenan G20 Indonesia difokuskan pada pembahasan aksesibilitas energi, meningkatkan teknologi untuk energi bersih, serta pendanaan bagi energi.

Perlu diketahui, negara G20 melingkupi 80% dari aktivitas ekonomi dunia dan merupakan penghasil gas rumah kaca (GHG) sebesar 75%. Sektor energi merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar yang menyebabkan kenaikan suhu dunia dalam beberapa dekade terakhir, akibat ketergantungan dunia pada sumber energi kotor.

Pada pembukaan lokakarya transisi energi, Aryanto Nugroho sebagai co-chair C20 Indonesia menyatakan bahwa kolaborasi merupakan kunci untuk mencapai transisi energi yang adil. Professor Yunita Winarto, co-chair of Task Force 5 S20, yang hadir sebagai pembicara pada forum itu mengedepankan pentingnya ‘people, planet, and prosperity’ dalam mewujudkan transisi energi yang adil dan tidak terganggu. Yunita juga menyebutkan bahwa ego-sektoral dapat menjadi salah satu tantangan dalam memitigasi perubahan iklim 

“Partisipasi, kolaborasi, inklusivitas, dan komunikasi antaraktor berbeda merupakan pendekatan transdisipliner yang sangat dibutuhkan untuk menanggapi tantangan pada transisi energi,” tuturnya.

Yunita menggarisbawahi pentingnya pendekatan ‘people at the center’ dalam mewujudkan energi alternatif yang dapat memberikan keuntungan yang adil bagi seluruh pihak. Dari sisi bisnis, Oki Muraza--selaku Manager Policy Task force ESC B20 yang juga Vice President Pertamina yang mewakili Business 20 menyampaikan bahwa perusahaan menghadapi tantangan untuk melakukan pengembangan bisnis tanpa menyebabkan kerusakan pada lingkungan.  

“Mengurangi risiko instabilitas yang berhubungan dengan iklim merupakan salah satu penggerak kunci bagi perusahaan untuk melakukan aksi-aksi mitigasi iklim,” ujarnya.

Pertamina sebagai pemimpin dari Task Force 3: Lingkungan, Keberlangsungan, dan Iklim pada Business 20 telah mengembangkan inisiatif teknologi hijau untuk menambah kapasitas energi terbarukan dalam pembauran sektor energi, seperti panas bumi, hidrogen hijau, dan sebagainya. Oki juga mengatakan bahwa Pertamina telah berhasil mengurangi 27% emisinya dari tahun 2010--2020 untuk mendukung Indonesia dalam mencapai nationally determined contribution (NDC)-nya.

Lead Co-chair Task Force 3 Think 20 Moekti Soejachmoen memberikan pernyataan bahwa transisi energi bukan merupakan pilihan, melainkan sebuah kebutuhan. “Untuk mencapai net zero emission, sumber energi yang kita gunakan harus berubah,” ujar Moekti.

Transisi energi membutuhkan pendanaan, Moekti menyarankan, berbagai mekanisme pasar karbon, seperti, cap and trade, baseline and credit, dan carbon tax, dapat menghasilkan keuntungan yang dapat diinvestasikan pada energi bersih. Sunwoo Vivian Lee sebagai koordinator internasional kelompok kerja Lingkungan, Keadilan Iklim dan Transisi Energi (Kelompok Kerja ECE) C20 Indonesia memberikan desakan pada pemimpin-pemimpin G20 untuk mempertimbangkan ancaman terhadap perekonomian akibat aset terdampar dari bahan bakar berbasis fosil karena kebijakan energi global yang akan berubah pesat menuju penggunaan energi terbarukan.

Selain itu, Vivian juga membicarakan akan pentingnya aksesibilitas energi terbarukan dan teknologi hijau untuk mempercepat transisi, terlebih dengan adanya ketimpangan perkembangan dalam pengembangan teknologi antara negara maju dan berkembang.

Untuk mencapai target 1.5 derajat celcius yang diberikan oleh Perjanjian Paris, negara-negara harus bekerja sama untuk memperkuat aksi dan kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dimulai dari sektor energi.

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer