Indonesia.go.id - Catatan Panjang Jejak Teladan Para Pahlawan

Catatan Panjang Jejak Teladan Para Pahlawan

  • Administrator
  • Kamis, 10 November 2022 | 22:08 WIB
PAHLAWAN NASIONAL
  Presiden Joko Widodo (kanan) menyerahkan plakat kepada keluarga almarhum Dr. dr. H.R. Soeharto saat acara penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/11/2022). ANTARA FOTO/ Akbar Nugroho Gumay
Hingga 2022, Indonesia mencatatkan 200 nama penerima Gelar Pahlawan Nasional. Yang paling senior Sultan Babullah (1528-1583) dari Ternate. Yang termuda dari angkatan 1920-an.

Menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2022, pemerintah menetapkan sejumlah nama sebagai pahlawan nasional. Tradisi kenegaraan itu telah berjalan sejak 1959. Untuk 2022 ini, atas nama negara dan rakyat  Indonesia, Presiden Joko Widodo pun menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima orang tokoh yang semasa hidupnya telah melakukan tindakan yang luar biasa untuk bangsanya.

Melalui upacara resmi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/10/2022) pagi, prosesi penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional itu dilaksanakan. Prosesi itu dihadiri para ahli waris dari kelima penerima gelar itu dan disaksikan sejumlah menteri serta pejabat tinggi negara.

‘’Hari ini pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh yang telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara,” ujar Presiden Jokowi. Penganugerahan gelar pahlawan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 96/TK/tahun 2022 yang ditetapkan pada 3 November 2022.

Adapun kelima tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional adalah  Almarhum Dr dr HR Soeharto dari Jawa Tengah, Almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Paku Alam VIII dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Almarhum dokter R Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat,  Almarhum H Salahuddin bin Talabuddin dari Provinsi Maluku Utara, dan Almarhum KH Ahmad Sanusi dari Sukabumi, Jawa Barat.

Kepastian pemberian Gelar Pahlawan Nasional pada lima tokoh itu sebelumnya telah disampaikan  oleh Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Profesor Mahfud MD, yang kesehariannya menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Selaku Ketua Dewan Gelar, Profesor Mahfud dan timnya melaporkan hasil verifikasinya, atas usulan dari berbagai kelompok masyarakat terkait pemberian gelar tersebut, di Istana Bogor, pada Kamis, 3 November.

‘’Hari ini Bapak Presiden, sesudah berdiskusi dengan kami, dengan Dewan Gelar dan  Kehormatan ini, memutuskan untuk memberikan lima (gelar pahlawan nasional) pada para tokoh bangsa yang telah turut berjuang mendirikan Negara Republik Indonesia ini, melalui perjuangan kemerdekaan dan mengisinya dengan pembangunan-pembangunan, sehingga kita dapat eksis sampai sekarang sebagai negara yang berdaulat,” ujar Mahfud.

Selanjutnya, Mahfud merincikan kelima tokoh tersebut. Pertama, almarhum Dr dr HR Soeharto (1908–2000) dari Jawa Tengah, yang dinilai telah berjuang bersama Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya dalam perjuangan kemerdekaan RI. Pascakemerdekaan, dokter Soeharto ikut serta berbagai kegiatan pembangunan bangsa, selain  menjadi dokter kepresidenan baik pada era Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto.

‘’Beliau turut  dalam pembangunan department store syariah, pembangunan Monumen Nasional,  Masjid Istiqlal, dan pembangunan Rumah Sakit Jakarta, serta salah seorang pendiri Ikatan Dokter Indonesia (IDI),” ungkap Mahfud.

Kedua, menurut Mahfud, pemerintah  menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada KGPAA Paku Alam VIII (1910-1998). Beberapa jasa yang  telah diberikan almarhum KGPAA Paku Alam VIII, antara lain, bersama Sultan Hamengkubowono IX dari Keraton Yogyakarta mengintegrasikan diri pada awal kemerdekaan Republik Indonesia hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi utuh hingga saat ini.

“Sehari sesudah (proklamasi kemerdekaan), beliau menyatakan bergabung ke Negara Kesatuan Republik Indonesia  dan kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota yang kedua dari Republik ketika terjadi aksi-aksi militer Belanda di Jakarta pada 1946,” tutur Mahfud.

Ketiga, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional ke almarhum dokter Raden Rubini Natawisastra (1906-1944), dari Kalimantan Barat. Menurut Mahfud, almarhum adalah dokter yang sangat berdedikasi dan sekaligus seorang aktivis sosial. Bersama sang istri, Amalia Rubini, ia tiba di Pontianak sekitar 1934 dan menjadi dokter keliling.

Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi kepala Bagian Bedah di sebuah RS Katolik di Pontianak. Di kota itu keduanya menjadi aktivis sosial, hal yang terus dilakukan pada era pendudukan. Perlawanan terhadap tentara pendudukan terjadi di Pontianak. Para tokoh masyarakat pun diawasi. Puncaknya, terjadi Tragedi Mandor, saat tentara Jepang membabi buta membantai masyarakat. Dokter Rubini dan istrinya termasuk yang menjadi korban.

Keempat, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada almarhum H Salahuddin bin Talibuddin dari Maluku Utara. Selama 32 tahun, almarhum H Salahuddin bin Talibuddin dinilai telah berjuang dan turut membangun Indonesia berdasarkan Pancasila. ’’Beliau pernah dibuang ke Boven Digoel tahun 1942 dan juga dibuang ke Sawahlunto tahun 1918-1923,” ucap Mahfud.

Kelima, pemerintah akan menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada almarhum KH Ahmad Sanusi (1889-1950) dari Sukabumi, Jawa Barat. Mahfud menjelaskan, almarhum Kyai Ahmad Sanusi adalah salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang belum mendapat gelar pahlawan nasional.

Menurut Mahfud, KH Sanusi adalah tokoh Islam yang ikut berjasa menghasilkan kompromi lahirnya negara Pancasila. ‘’Dari semula ada sisi kanan yang ingin menjadikan negara Islam. Yang dari sisi kiri mau menjadikan negara sekuler. Kemudian diambil jalan tengah lahirlah ideologi Pancasila sesudah menyetujui pencoretan tujuh kata di Piagam Jakarta,” ujar Mahfud.

Sebelum kemerdekaan, KH Sanusi adalah tokoh masyarakat yang memperjuangkan keadilan untuk rakyat di tengah tatanan kolonial. Ia bertahun-tahun ditahan oleh pemerintan kolonial. Selain jadi sosok pejuang, KH Sanusi yang sempat nyantri di Mekah itu juga seorang intelektual. Ia menulis 126 judul buku semasa hidupnya, mulai dari soal fiqih, tasawuf, kalam, dan banyak lainnya.

Dengan dianugerahkannya kelima gelar baru itu, secara keseluruhan di Indonesa kini tercatat adanya 200 nama pahlawan nasional. Tradisi penganugerahan itu bergulir sejak 1959 dan dilanjutkan oleh semua presiden. Sepanjang menjabat Kepala Negara, Presiden Soekarno telah memberikan gelar tersebut kepada 33 tokoh, Presiden Soeharto 35 tokoh, dan Presiden Habibie 5 tokoh.

Selebihnya diberikan di  era reformasi, utamanya setelah hadir UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Di sana tertuang segala prosedur dan persyaratan bagi penerima Gelar Pahlawan Nasional.

UU itu menyatakan, Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan pada warga negara Indonesia atau yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang kini menjadi NKRI. Pahlawan nasional itu mereka yang gugur demi membela bangsa dan negara, atau di masa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan, atau menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.

UU tersebut juga memberikan hak kepada kelompok masyarakat untuk mengusulkan nama-nama yang dianggap pantas menerimanya. Prosedurnya jelas dan mudah. Instansi yang menangani cukup jelas dan berada di bawah koordinasi Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang dibentuk oleh presiden.

Namun, dari waktu ke waktu pandangan atas nilai kepahlawanan itu tak banyak berubah. Penerima anugerah Gelar Pahlawan Nasional itu sendiri bervariasi sosoknya. Yang paling senior adalah Sultan Babullah (1528-1583) dari Ternate dan Laksamana Malahayati (1550-1604). Yang termuda adalah berasal dari generasi yang lahir di tahun 1920-an, antara lain, para pahlawan revolusi yang menjadi korban Tragedi 1965.

Pencatatan pahlawan ini belum akan berakhir. Masih banyak pahlawan yang belum terekam radar sejarah. Kehadiran mereka diperlukan untuk dikenang dan dituturkan sebagai teladan akan sepak terjang kepahlawanannya.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari