Indonesia.go.id - Sanksi Hukum bagi Pelaku Kasus Gagal Ginjal

Sanksi Hukum bagi Pelaku Kasus Gagal Ginjal

  • Administrator
  • Jumat, 18 November 2022 | 13:04 WIB
GANGGUAN GINJAL AKUT
  Petugas gabungan dari Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh Barat serta personel kepolisian Polres Aceh Barat melakukan inspeksi mendadak (sidak) apotek di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (22/10/2022). ANTARA FOTO/ Syifa Yulinas
Sebanyak 73 merek obat sirop ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Bila didapati pelanggaran proses produksi, hak edar merek itu bisa dicabut. Ada ancaman bui 10 tahun.

Fenomena penyakit gagal ginjal akut sudah melandai. Bahkan sejak awal November 2022 tidak ada laporan kasus baru penyakit gagal ginjal akut alias accute kidney injury (AKI). Seluruhnya ada 324 kasus, di 28 provinsi, dengan pasien terbanyak ialah anak balita (bawah lima tahun). Angka kematiannya mencapai 194 kasus (60 persen). Sebagian pasien bisa tertolong dan sembuh, tapi 21 pasien masih dirawat di rumah sakit.

Penurunan jumlah kasus AKI itu ternyata bergulir seiring dengan gebrakan pemerintah membatasi peredaran obat sirop sejak 20 Oktober lalu. Fakta-fakta di lapangan telah menunjukkan gejala AKI itu terhubung dengan kandungan zat Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), yang jauh di atas ambang batas, pada obat-obatan sirop.

Gebrakan berburu obat sirop dengan kandungan EG dan DEG tinggi dilakukan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melakukan respons cepat dengan serangkaian sampling, pengujian, dan pemeriksaan. Setelah ada temuan, maka dilakukan penelusuran rantai pasok di industri obat.

Hasil penelusuran itu menunjukkan, ada bahan pelarut obat sirop dari CV Samudra Chemical yang dikirim ke industri obat ternyata mengandung zat cemaran EG dan DEG hingga 91 persen. Padahal, batas aman cemaran EG dan DEG yang diperbolehkan ada pada obat cair hanyalah 0,1 persen. Ada dua distributor lain yang membuat ’’kecerobohan maut’’ serupa, yakni CV Budiarta dan PT Logicom Solutions.

‘’Keduanya bukan Pedagang Besar Farmasi (PBF), melainkan distributor kimia. Jadi, BPOM tak bisa menindak dan kami sudah serahkan kepada Bareskrim untuk penindakan lebih lanjut," ujar Kepala BPOM Penny K Lukito, dalam konferensi pers di lapangan, ketika meninjau gudang CV Samudera Chemical di  Cibinong, Bogor, Rabu (9/11/2022). Dari dokumen yang ada dipastikan bahan kimia tersebut diekspor dari perusahaan DOW Chemical Thailand LTD, dan kemungkinan peruntukannya bukan sebagai pelarut obat untuk manusia.

Berdasarkan hasil penelusuran rantai pasok bahan baku, pengambilan sampling dan pemeriksaan produk di laboratorium, per hari Rabu 9 November 2022, BPOM telah mencabut izin edar bagi 73 merek obat sirop. Selanjutnya, obat-obatan tersebut harus ditarik dan dimusnahkan.

Ke-73 merek obat itu diproduksi hanya oleh lima perusahaan farmasi, yaitu PT Yarindo Farmatama,  PT Universal Pharmaceutical Industries,  PT Afi Farma, PT Samco Farma, dan PT Ciubros Farma. Ke- 73 obat itu umumnya mengandung bahan aktif Paracetamol (zat pereda deman, pusing, dan nyeri);  bahan aktif obat penyakit lambung, dan bahan aktif obat batuk (Dextromethorphan HBr0).

"BPOM memutuskan agar dilakukan penghentian seluruh proses produksi dan distribusinya sampai ada perkembangan lebih lanjut terkait dengan hasil uji dan pemeriksaan CPOB-nya (pedoman cara pembuatan obat yang baik),’’ ujar Penny Lukito. Jadi, seluruh produksi obat dari kelima industri itu harus disetop sampai BPOM memeriksa aspek CPOB-nya dan mengambil kebijakan baru.

Penny Lukito mengatakan, telah melakukan tindakan-tindakan hukum. Terhadap para distributor yang memasok bahan obat yang tak sesuai spesifikasinya, bahkan berbahaya, pihaknya tidak punya wewenang melakukan tindakan hukum administratif. Pasalnya, mereka bukan termasuk pedagang farmasi besar (PFB). Hanya kategori PFB yang termasuk dalam pengawasan BPOM. Maka, perkaranya langsung diserahkan ke Polri.

Untuk kelima industri farmasi yang terbukti melakukan kelalaian fatal, BPOM melakukan tindakan hukum secara bertahap. Kesalahan pabrik obat itu adalah tidak melakukan pemeriksaan atas mutu bahan baku obat yang akan digunakan. Dalam kasus ini, kelimanya tak memeriksa bahwa propilen glikol yang digunakan ternyata mengandung EG dan DEG sangat tinggi. Padahal, batasnya ialah 0,1 persen. Mereka juga menggunakan jasa pemasok yang tak memenuhi persyaratan.

Berdasarkan temuan adanya ketidaksesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang industri farmasi itu, maka dikenakan sanksi administratif berupa penghentian produksi. Selanjutnya, seluruh produk yang tak sesuai spesifikasi yang semestinya harus ditarik (recall) dari warung, toko obat, apotek, klinik, dan faskes lainnya. Selanjutnya, obat itu harus dimusnahkan.

Tahap selanjutnya, BPOM akan melakukan audit (pemeriksaan) atas dugaan adanya pelanggaran ketentuan dan persyaratan CPO. Bila terbukti ada pelanggaran, akan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat CPOB pada fasilitas produksi obat cairan oral nonbetalaktam. Dengan begitu, seluruh izin edar produk cairan oral nonbetalaktam dari industri farmasi tersebut dicabut.

Berdasarkan keterangan saksi dan ahli, Penny Lukito merasa menemukan (dugaan) adanya tindak pidana. Aspek pidananya adalah memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat  atau kemanfaatan, serta mutu, sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Jo Pasal 98 Ayat (2) dan Ayat (3) UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah,” ujar Penny Lukito.

Selain unsur memproduksi dan mengedarkan, ada juga pasal memperdagangkan barang yang tak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Ayat (1) Jo Pasal 8 Ayat (1) Huruf a di UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.

Ke depannya, BPOM akan melaksanakan gelar perkara bersama Bareskrim Polri guna menetapkan tersangka, melakukan pemeriksaan saksi-saksi lain, termasuk meminta keterangan ahli pidana dan ahli farmasi. Tim gabungan pun terus melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan atas distributor bahan kimia yang telah memasok bahan baku berbahaya itu.

BPOM secara kontinyu juga melaksanakan patroli siber (cyber patrol) pada platform situs, media sosial, dan e-commerce untuk menelusuri penjualan produk yang dinyatakan tidak aman. Sampai akhir Oktober 2022, BPOM telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dan melakukan penurunan takedown konten dari 6.001 link yang teridentifikasi melakukan penjualan sirop obat yang dinyatakan tidak aman.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari