Penerapan B-35 merupakan langkah jitu dalam menghadapi ancaman resesi global 2023.
Pemerintah baru saja menaikkan bea keluar dan pungutan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai harga referensi komoditas tersebut untuk periode 16–31 Desember 2022.
Dalam keterangan Kementerian Perdagangan belum lama ini, harga referensi produk CPO untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau pungutan ekspor (PE) periode 16–31 Desember 2022 ditetapkan sebesar USD871,99 per metrik ton.
Angka tersebut meningkat sebesar USD47,67 per metrik ton, atau 5,78 persen dari periode 1−15 Desember 2022, yaitu sebesar USD824,32/MT. Peningkatan harga referensi tersebut pun menyebabkan BK CPO menjadi USD52 per metrik ton, dan PE sebesar USD90 per metrik ton untuk periode 16–31 Desember 2022.
Pada 1–15 Desember 2021, pemerintah sebenarnya baru saja menetapkan BK CPO sebesar USD33 per metrik ton, dan PE senilai USD85 per metrik ton. “Saat ini harga referensi CPO mengalami peningkatan dan kembali menjauhi thresholdUSD680 per metrik ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan bea keluar CPO sebesar USD52 per metrik ton, dan pungutan ekspor CPO USD90 per metrik ton untuk periode 16–31 Desember 2022,” sebut Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso.
Lantas ihwal dasar pemerintah menaikkan BK CPO periode 16−31 Desember 2022, Budi pun merujuk pada Kolom Angka 5 Lampiran Huruf C Peraturan Menteri Keuangan nomor 123/2022. Sementara itu, PE CPO merujuk pada Lampiran Huruf B Peraturan Menteri Keuangan nomor 154/2022.
Adapun, peningkatan harga referensi CPO dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, peningkatan harga minyak nabati lainnya, khususnya minyak kedelai. Faktor lainnya adalah menurunnya kasus Covid-19 di Tiongkok, sehingga perekonomian di negara itu juga sudah mulai normal, serta perubahan kebijakan mandatori biodiesel Indonesia menjadi B-35.
Salah satu dampak dari kebijakan itu adalah melindungi kebijakan pemerintah yang kini getol menerapkan B-35, penerapan bahan campuran minyak sawit mentah pada BBM dengan porsi 35 persen. Langkah itu juga untuk mempercepat pengosongan fasilitas penyimpanan CPO, sehingga industri CPO bisa segera menyerap tandan buah segar (TBS) dari petani untuk kemudian diolah menjadi minyak goreng ataupun biodiesel.
Di sisi lain, kebijakan berupa beleid B-35 juga diyakini bakal membuat harga sawit global terungkit. Artinya, dengan kebijakan porsi biodiesel B-35, dipercaya membuat stok CPO sebagai bahan baku biodiesel makin ketat pada paruh pertama 2023.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjadi dasar kebijakan B-35? Kebijakan itu dilindungi melalui keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 205/2022. KM ESDM itu dikeluarkan hanya sekitar 2 pekan sebelum berganti tahun.
Pasokan CPO Memadai
Menyikapi kebijakan baru tersebut, pelaku usaha kelapa sawit, yang tergabung ke dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), menilai bahwa Indonesia masih memiliki pasokan CPO yang memadai untuk mendukung pemerintah melalui program B-35. Artinya, seperti disampaikan Sekjen Gapki Eddy Martono, pelaku usaha tidak perlu banyak melakukan perubahan strategi bisnis agar sejalan dengan kebijakan pemerintah.
“Ekspor (CPO) seharusnya tidak berkurang, karena kalau total konsumsi naik dari 18 juta ton menjadi 21 juta pun masih mencukupi,” ujar Eddy.
Kendati demikian, Eddy meminta pemerintah agar mewaspadai produksi minyak sawit yang mulai stagnan di angka 50 juta ton per tahun dalam beberapa waktu belakangan. Hal tersebut perlu diantisipasi agar pasokan biodiesel tetap bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar yang terus meningkat.
Apabila produksi minyak sawit tidak naik, maka pelaku industri harus mengikis porsi ekspor agar tetap bisa memenuhi kebutuhan domestik. Dia menilai, kebijakan B-35 yang diterapkan mulai Januari 2023 tak akan serta-merta mendongkrak harga CPO di pasar global karena masih ada faktor eksternal yang membayangi.
Tak dipungkiri, ada kekhawatiran kebijakan program B-35 itu berpotensi memangkas ekspor minyak sawit Indonesia yang menyumbang sekitar sepertiga dari perdagangan minyak nabati global. Menurut Eddy, aturan B-35 di Indonesia mungkin membuat stok sawit tetap ketat pada paruh pertama 2023.
Senada, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (PASPI) Tungkot Sipayung menilai, penerapan B-35 sebagai langkah jitu dalam menghadapi ancaman resesi global 2023. Tungkot menuturkan, ancaman resesi pada tahun depan bisa menyebabkan penurunan harga CPO di pasar global hingga ke level USD700 per ton karena melemahnya daya beli.
Tungkot menjelaskan, pelaku usaha pun sudah sangat siap dengan penerapan B-35, karena kapasitas pabrik biodiesel saat ini mencapai 17.000 kiloliter, sehingga masih cukup untuk menambah produksinya.
Tak dipungkiri, pemerintah kini tengah getol mendorong penggunaan energi bersih yang berkelanjutan melalui program B-35. Melalui program itu diharapkan penggunaan BBM berbasis energi fosil akan berkurang.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang menyatakan penerapan B-35 dilakukan untuk menyediakan energi bersih secara berkelanjutan.
Mengacu pada proyeksi penyaluran Biosolar pada 2022 sebesar 36,47 juta kiloliter, serta asumsi pertumbuhan permintaan sebesar 3 persen, diperkirakan penjualan Biosolar pada 2023 mencapai 37,56 juta kiloliter.
Kalkulasi tersebut ditambah dengan penambahan kebutuhan biodiesel untuk B-35 membuat Kementerian ESDM menetapkan alokasi biodiesel 2023 sebanyak 13,14 juta kiloliter. “Pemanfaatan biofuel, termasuk biodiesel akan terus ditingkatkan dengan memperhatikan pasokan CPO,” kata Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana.
Dadan menuturkan bahwa tantangan penyediaan biodiesel di dalam negeri saat ini, antara lain, kesiapan produksi, sarana pendukung, dan tingkat harga tandan buah segar (TBS) di petani.
Selain itu, pemerintah juga bakal mengantisipasi insentif yang harus dikeluarkan untuk memastikan B-35 berjalan mulus. Kementerian ESDM memang berharap penyaluran biodiesel tahun depan dapat dilakukan dengan lebih efisien dan meminimalkan keterlambatan atau gagal pasok.
Hal tersebut membuat pemerintah mengupayakan setidaknya ada dua badan usaha bahan bakar nabati yang memasok setiap titik serah. Pemerintah juga memilih badan usaha berdasarkan optimasi rute agar ongkos angkut menjadi efisien.
Melalui program akselerasi B-35, harapannya akselerasi transisi energi bersih Indonesia melalui kebijakan biodiesel untuk meraih net zero emission bisa tercapai.
Selain itu, komitmen menggunakan minyak sawit sebagai bahan dasar biofuel akan mendukung Indonesia mencapai target keamanan energi dan bauran energi sebesar 23 persen di 2025.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari