Kondisi perekonomian global menjadi tantangan sekaligus peluang Indonesia di sektor perdagangan.
Tantangan sektor perdagangan pada 2023 diperkirakan tetap berat di tengah perekonomian dunia yang masih kurang menjanjikan. Namun, kondisi itu tidak menjadikan Indonesia harus berdiam diri, Perlu strategi khusus agar bisa melewati tantangan tersebut.
Tidak dipungkiri, keberhasilan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19, yang rencananya akan diikuti dengan penuntasan kebijakan ekonomi pandemi dan dimulainya periode endemi, menjadi fondasi negara ini untuk lebih optimis menghadapi 2023. Bahkan, arah kebijakan ekonomi ke depan pun digadang-gadang lebih fleksibel dan lincah untuk berkelit dari ketidakpastian ekonomi global yang berkelindan dengan risiko resesi dunia.
Salah satu kebijakan ekonomi Indonesia itu adalah bagaimana mendongkrak neraca perdagangannya. Kementerian Perdagangan pun telah menetapkan target neraca perdagangan Indonesia pada 2023 surplus USD38,3 miliar—USD38,5 miliar.
Sebuah target yang juga tidak main-main. Pasalnya, target pencapaian surplus dagang pada 2023 tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan target surplus neraca perdagangan pada 2022 sebesar USD31,7 miliar.
Berkaitan dengan penetapan target itu, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kasan mengatakan, pemerintah menyiapkan dua strategi mempertahankan surplus dagang, pertama dengan meningkatkan nilai tambah produk. Kedua, memperluas akses pasar ekspor.
Menurutnya, kedua strategi itu perlu disiapkan untuk menghadapi tantangan perdagangan global pada 2023. Dia menjelaskan, keterkaitan kondisi perekonomian nasional dengan perekonomian global menjadi tantangan sekaligus peluang di sektor perdagangan.
Dia menambahkan, strategi kebijakan diarahkan pada peningkatan nilai tambah produk yang diperdagangkan melalui penghiliran industri dan iklim usaha yang kondusif, ekspansi, dan penetrasi ke pasar ekspor nontradisional, serta peningkatan akses pasar internasional melalui perjanjian perdagangan dan misi dagang.
“Kami berharap pertumbuhan ekonomi akan tetap terjaga dan terus menjadi kekuatan Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global,” ujarnya, dalam Seminar Outlook Perdagangan Indonesia Tahun 2023 di Jakarta, Selasa (20/12/2022).
Selama periode Januari—November 2022, Kasan mencatat, surplus perdagangan sudah menembus angka USD50,59 miliar. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari target Kemendag dan melampaui rekor tertinggi sebelumnya yang tercatat pada 2006 dengan nilai surplus mencapai USD39,73 miliar.
Kasan menambahkan, peningkatan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), melalui digitalisasi maupun fasilitasi lainnya, juga menjadi fokus strategi Kementerian Perdagangan. Selain itu, tambahnya, pemerintah berupaya memperkuat pasar dalam negeri melalui instrumen trade remedies (kebijakan berupa perlindungan) dan melakukan pengendalian impor secara selektif.
Penguatan pasar dalam negeri dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi dan menjadi kekuatan Indonesia menghadapi ketidakpastian perekonomian global. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Kamdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dianggap menjadi salah satu negara yang paling baik di tahun depan.
Menurutnya, Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 menjadi 4,8 persen. Meskipun dalam laporan sebelumnya di September 2022, ADB memprediksi ekonomi Indonesia mampu tumbuh di kisaran 5 persen.
Di samping itu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 menjadi 2,9 persen dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,1 persen. Di sisi lain, berdasarkan data BPS, ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 persen year on year pada kuartal III-2022.
“Itu angkanya masih bagus banget dibandingkan dengan banyak negara lain,” ujar Shinta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meminta pemerintah agar tidak khawatir terhadap kebijakan Uni Eropa yang melarang impor beberapa komoditas yang dianggap sebagai pendorong utama deforestasi. Minyak kelapa sawit, kopi, kakao, dan kedelai termasuk dalam produk yang bakal dilarang memasuki Benua Biru.
Menurutnya, pangsa pasar Eropa tidak terlalu besar dibanding dengan Tiongkok, India, atau negara-negara lain. Apalagi, Indonesia akan mulai mengimplementasikan campuran bahan bakar minyak (BBM) solar dengan biodiesel sebanyak 35 persen atau B35 pada tahun depan.
Hal ini, menurutnya akan menguatkan pasar domestik Indonesia. “Kalau misalnya pasar Uni Eropa cuma 14 persen kesampingkan saja. Karena India, Tiongkok, mulai tren (ekspor CPO-nya), jadi enggak jual ke mereka (Eropa) juga tidak masalah. Indonesia juga akan mulai dengan B35. Jadi tidak usah khawatir,” ujar Tauhid.
Sebelumnya, parlemen dan negara anggota Uni Eropa sepakat untuk menerapkan regulasi anyar dalam importasi produk pertanian. Importir di Benua Biru harus memastikan produk minyak sawit, daging sapi, kayu, kopi, kedelai, kakao, hingga karet tidak berasal dari lahan hasil alih fungsi hutan atau deforestasi.
Tauhid mengungkapkan, Uni Eropa memang selalu memainkan isu bahwa kelapa sawit tidaklah ramah lingkungan. Menurut Tauhid, isu tersebut sengaja dimunculkan agar minyak yang dihasilkan oleh mereka dari biji bunga matahari tidak kalah saing.
“Jadi ini adalah masalah perang dagang ya. Jadi masalahnya produksi minyak biji matahari mereka berkurang trennya. Padahal produk itu merupakan andalan Eropa dan berlawan dengan palm oil yang market-nya semakin besar. Apalagi ini terkait bahan untuk biofuel yang sangat dibutuhkan Uni Eropa,” jelas Tauhid.
Menurutnya, Eropa memang telah memainkan isu tersebut sejak lama, dimulai pada 2018 dengan memberlakukan Renewable Energy Directive (RED II). Kebijakan model itu, sambung dia, merupakan standar ganda Eropa.
Pasalnya, Tauhid mengatakan, deforestasi yang terjadi di Eropa lebih tinggi dibanding di Indonesia untuk membangun perkebunan-perkebunan pangan negeri Benua Biru itu. “Deforestasi supply chain itu tujuh persen dari sawit. Sebenarnya kecil jika sawit menyumbang deforestation supply chain. Tidak usah khawatir. Begitu juga dengan gugatan di WTO. Itu semua harus dilawan,” tutur Tauhid.
Dia berharap Indonesia tidak terjebak pada isu perubahan iklim meski secara prinsip disepakati. Sebab, apabila salah langkah, hal tersebut bisa merugikan Indonesia sendiri.
Dari gambaran di atas, penguatan pasar dalam negeri melalui instrumen trade remedies dan melakukan pengendalian impor secara selektif sangat diperlukan dalam mengamankan neraca perdagangan Indonesia. Tidak itu saja, melalui penguatan pasar dalam negeri diharapkan juga akan lebih memperkuat pertumbuhan ekonomi dan menjadi kekuatan Indonesia menghadapi ketidakpastian perekonomian global.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari