Stasiun Manggarai mempunyai nilai historis yang tinggi. Stasiun ini merupakan stasiun awal keberangkatan pemindahan ibu kota sementara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.
London, New York, dan Tokyo, kota-kota metropolitan dunia dikenal sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu memiliki stasiun sentral. Stasiun sentral kereta api di negara-negara itu dilengkapi fasilitas modern dan terintegrasi dengan moda transportasi lokal lainnya (komuter).
Kini, Ibu Kota DKI Jakarta telah memiliki pusat integrasi kereta api pertama di Indonesia, Stasiun Sentral Manggarai, Jakarta Selatan. Dengan demikian, Stasiun Manggarai nantinya akan mengambil alih fungsi pemberhentian dan pemberangkatan kereta jarak jauh antarprovinsi di Stasiun Gambir.
Stasiun Gambir yang ada di Jakarta Pusat akan dipensiunkan dari perannya sebagai stasiun kereta utama di Ibu Kota. Stasiun itu juga akan dikembalikan fungsinya sebagai stasiun yang melayani kereta perkotaan.
Sedangkan Stasiun Manggarai ke depan tidak hanya melayani kereta jarak jauh, melainkan untuk KRL Commuter Line, Kereta Bandara, Transjakarta, LRT, ojek online, serta moda angkutan lainnya.
Setelah sekian puluh tahun direncanakan, akhirnya Presiden RI Joko Widodo didampingi Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, Senin (26/12/2022), meresmikan pengembangan Stasiun Manggarai Tahap 1.
Pengembangan Stasiun Sentral Manggarai merupakan bagian penting dari pengembangan Terminal Terpadu Manggarai. Pemerintah pada 1994 pernah mengajak perusahaan konsultan Amerika Serikat, Allerbe Becket Inc untuk membuat konsep menyulap Manggarai menjadi proyek Terminal Terpadu Manggarai (TTM).
Konsep TTM memang luar biasa. Stasiun Manggarai direncanakan terdiri atas 22 jalur rel. Bandingkan dengan Stasiun Gambir yang hanya menampung empat jalur rel (track). Namun, konsep itu urung dilaksanakan.
Presiden Jokowi menjelaskan pembangunan Stasiun Manggarai ini tidak bisa cepat karena stasiunnya masih beroperasi, sehingga tahap II diharapkan nanti selesai di 2024--2025.
Stasiun Manggarai merupakan salah satu stasiun dengan lalu lintas kereta api tersibuk di Indonesia, yang setiap harinya melayani pemberhentian KRL Commuter Line tujuan Jakarta Kota, Tanah Abang, Bogor, dan Bekasi dengan jadwal dan penumpang yang sangat padat.
Ongkos yang murah dan waktu tempuh yang cepat membuat angkutan ini menjadi semakin menjadi pilihan utama masyarakat. Menurut Menhub Budi Karya Sumadi, dari pengembangan Stasiun Manggarai ini diharapkan akan meningkatkan frekuensi dan headway perjalanan kereta api, meningkatkan aksesibilitas masyarakat dari Jakarta ke kota penyangga (Bodetabek) dan sebaliknya.
Dijelaskan, pengembangan Stasiun Manggarai ini akan meningkatkan sekitar 30 persen kapasitas jumlah penumpang yang akan transit di stasiun yang terletak di Jakarta Selatan tersebut. Jumlah penumpang kereta KRL Commuter Line Jabodetabek kian bertambah.
Bahkan pada 2019, jumlah penumpang dapat mencapai 1,2 juta penumpang per hari. Di masa pandemi saja, volume penumpang KRL yang transit di Manggarai mencapai rata-rata 30 ribu per hari.
Sebanyak 50 persen total perjalanan KRL singgah di stasiun yang dibangun di era kolonial Belanda itu. Adapun, pengembangan Stasiun Manggarai juga menjadi bagian dari proyek pembangunan jalur rel dwiganda (double-double track) Manggarai–Cikarang. Saat ini sedang dibangun penambahan jumlah jalur rel dari semula 7 menjadi 14, serta terdiri atas 10 jalur rel bawah dan empat jalur rel elevated (layang).
Sejumlah paket pekerjaan yang sudah tuntas, antara lain, Stasiun Jatinegara, Stasiun Depo Cipinang, dan sisi barat jalur baru elevated Stasiun Manggarai-Jatinegara-Cipinang. Sejak 2016, pemerintah telah mengembangkan Stasiun Manggarai sebagai salah satu stasiun sentral di Jakarta.
Ke depannya, Stasiun Manggarai juga diintegrasikan dengan pengembangan Kawasan Transit Oriented Development (TOD). Tujuannya adalah agar pergerakan masyarakat lebih efektif dan efisien.
Riwayat Manggarai
Wajah Stasiun Manggarai yang megah saat ini, rupanya memiliki riwayat yang panjang. Wilayah Manggarai, di Batavia (Jakarta), sudah dikenal sejak abad ke-17.
Awalnya kawasan itu banyak dihuni masyarakat asal Manggarai, Flores. Wilayah yang masuk Gementee Meester Cornelis ini pun berkembang menjadi sebuah kampung.
Seperti dilansir dari laman Heritage KAI, kereta api yang melintasi wilayah ini awalnya dibangun oleh perusahaan swasta kolonial Belanda, Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) dengan lintas Jakarta-Buitenzorg (Bogor). Sebagai tempat pemberhentian, dibangun Stasiun Bukitduri (kini depo KRL).
Pada 1913 perusahaan kereta api negara, Staatssporwegen (SS) menguasai jaringan keretaapi di Jakarta setelah membeli jalur Jakarta-Bekasi milik Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) tahun 1899 dan Jakarta-Bogor milik NISM tahun 1913. Setelahnya, SS melakukan penataan ulang jalur kereta api di Jakarta, salah satunya adalah pembongkaran Stasiun Boekitdoeri eks-NISM dan membangun Stasiun Manggarai.
Saat ulang tahun SS ke-50, perusahaan ini mengoperasikan kereta listrik pertama kali dengan lintas Jakarta-Tanjung Priuk. SS melanjutkan proyek elektrifikasi sampai Stasiun Manggarai yang rampung pada 1 Mei 1927.
Stasiun Manggarai mempunyai nilai historis yang tinggi. Stasiun ini merupakan stasiun awal keberangkatan pemindahan ibu kota sementara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Segala persiapan rahasia untuk perjalanan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta pun dilaksanakan di stasiun ini.
Sang Panglima Besar Jenderal Soedirman pun pernah singgah di Stasiun Manggarai dalam rangka menghadiri perundingan gencatan senjata di Jakarta. Kedatangan sang panglima dan rombongan di Stasiun Manggarai pada 1 November 1946 disambut sorak sorai rakyat Indonesia.
Sesuai dengan rekam jejaknya, stasiun ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan nomor registrasi RNCB.19990112.04.000470 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor: PM.13/PW.007/MKP/05, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 011/M/1999 dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 475 Tahun 1993.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari