Pasca-KTT G20 di Bali, peluang kerja sama internasional di bidang iklim makin terbuka. Norwegia suka mangrove, Inggris tertarik isu deforestasi, dan Amerika soal energi terbarukan.
Selama delapan tahun mengemudikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya terus sibuk memainkan pedal rem dan gas. Pada satu sisi, dia harus terus mendorong segala jenis usaha di sektor kehutanan terus tumbuh, bergerak maju, termasuk usaha perhutanan rakyat. Tapi pada saat yang sama, dia harus mengerem agar emisi karbon (CO2) dari areal hutan terus menyusut.
Dalam urusan emisi karbon, tanggung jawab terbesar memang ada di tangan Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK. Dari sekitar 1,2 miliar ton CO2 yang diemisikan dari bumi Indonesia per tahun, kata Siti Nurbaya, 59 persen berasal dari forestry and other land use (FoLU) yang menjadi bidang garap KLHK.
Sektor energi listrik menyumbang sekitar 320 juta ton dari batu bara dan minyak yang harus dibakar untuk memutar turbin, sedangkan dari transportasi 160 juta ton. Siti Nurbaya optimistis, tahap-tahap yang paling sulit telah terlewati.
Dia meyakini, target Indonesia memangkas emisi karbon 29–41 persen pada 2030 dapat tercapai. Siti Nurbaya pun tidak merasa perlu memajang angka secara spesifik dalam memenuhi mandatory Perjanjian Paris 2015 tentang Perubahan Iklim.
“Prinsip Bapak Presiden (Jokowi) bahwa less promise, high deliverables, konkret, dan nyata. Itulah kita sekarang di 2022. Tonggaknya sudah ditancapkan,” ujar Menteri Siti Nurbaya, pada acara bertajuk “Catatan Akhir Tahun 2022 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan” di Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Secara umum, Siti Nurbaya mengatakan, bila tata kelola kawasan kehutan terus dijaga pada track yang kini telah dijalankan, maka sektor FoLU di Indonesia bakal mencatat net sink pada 2020. Artinya, sektor kehutanan mampu menyerap karbon dan gas rumah kaca lainnya melampaui angka emisi FoLU yang diproyeksikan pada 2015. Dengan demikian, ada karbon yang tersimpan di hutan-hutan Indonesia.
‘’Kuncinya ialah pada konsistensi kita merehabilitasi hutan-hutan yang rusak, menjaga hutan alam agar tetap utuh dan terus berkembang, menekan deforestasi, merestorasi hutan mangrove serta hutan tanah gambut. Yang juga sangat penting ialah jangan sampai terjadi kebakaran hutan (karhutla),’’ kata Siti Nurbaya.
Karhutla dapat membuat pekerjaan FoLU ambyar. Dalam kesempatan yang berbeda, Siti Nurbaya pernah mengatakan bahwa kebakaran besar 2015 yang melahap area seluas 2,6 juta ha itu mengakibatkan terjadinya emisi karbon ekstra sebesar 700 juta ton CO2. Keruan saja, pada 2015 emisi karbon Indonesia tercatat di atas 1,9 miliar ton.
Yang menggembirakan, kata Siti Nurbaya, tren karhutla terus menyusut. Pada 2021, katanya, karhutla masih terjadi. Hanya saja, dampaknya menyusut ke level yang setara dengan emisi 28 ribu ton Co2. Bahkan, pada 2022 ini diperkirakan skala karhutla menyusut ke level 22 ribu ton.
Persoalan karhutla ini pun bukan urusan sepele. Untuk penanggulangannya perlu berbagai tindakan nyata. Mulai dari penegakan hukum, edukasi kepada para pemangku kepentingan, termasuk warga penghuni kawasan pinggiran hutan, hingga penyempurnaan regulasinya. Tak kalah pentingnya ialah pengerahan kekuatan besar, dengan melibatkan TNI-Polri, Satpol PP, perangkat desa, dan utamanya adalah petugas Manggala Agni dari KLHK serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Terkait penanggulangan karhutla, KLHK pun melibatkan masyarakat pinggiran hutan yang selama ini menggantungkan hidup pada hasil hutan. ‘’Pada masa yang lalu, mereka sering disebut perambah hutan,’’ kata Siti Nurbaya. Mereka sering mempraktekkan budi daya perladangan berpindah di areal hutan negara.
Sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kehadiran mereka mulai diakui oleh negara. Mereka mendapatkan hak memanfaatkan areal hutan untuk kegiatan ekonomi, tapi wajib menjaganya tetap menjadi hutan, bukan dengan mengkonversinya menjadi ladang atau kebun.
Pada masa Presiden Joko Widodo, program ini dipercepat dengan penyempurnaan kelembagaan dan tata regulasinya. Program ini dihelat oleh Kementerian LHK melalui program Perhutanan Sosial. Presiden Jokowi menyiapkan lahan hutan seluas 12,5 juta ha.
Bila pada 2014 program perhutanan sosial ini baru meliputi lahan seluas 14 ribu ha, pada 2022 ini cakupannya sudah mencapai 5,1 juta ha dan melibatkan hampir 1,2 juta keluarga. Masing-masing KK memegang izin pemanfaatan hutan untuk 35 tahun dan bisa diperpanjang. Di sana mereka bisa menanam kopi, kayu manis, lada, pala, dan beternak lebah. Ada pula yang memanfaatkan rumput dan dedaunan hutan untuk beternak kambing, sapi, atau masih banyak usaha yang lainnya.
Adanya legalitas sebagai pengelola area hutan, membuat peserta program perhutanan sosial itu punya akses ke kredit bank, utamanya dari himpunan bank negara (Himbara). Suntikan modal itu rupanya bisa membuat usaha mereka berkembang. ‘’Produk mereka juga dapat bersaing di pasar ekspor,’’ kata Siti Nurbaya.
Sebutlah, kopi, rotan olahan, madu, pala, lada, kayu manis, dan beberapa lainnya. Perhutanan sosial ini masih berpotensi dapat meluas, dan hanya diberlakukan di kawasan hutan sekunder yang tegakan kayunya tak terlalu rapat. Hal itu bisa mengurangi secara signifikan risiko terjadinya deforestasi.
Dengan kata lain, perhutanan sosial ini juga mendorong pencapaikan net zero emission, bahkan net sink, di sektor FoLU. Dengan pencapaian net sink di sektor FoLU 2030 itu, dalam perkiraan Siti Nurbaya, secara umum emisi karbon nasional bisa turun antara 40--43 persen, dengan asumsi pertumbuhan emisi CO2 di sektor energi, transportasi dan yang lain cukup terkendali.
Maka, target net zero emission pada 2060, menurut Siti Nurbaya, adalah realistik. Menurutnya, sukses Indonesia dalam Presidensi G20 dan Penyelenggaraan KTT G20 di Bali, telah memberikan momentum baru untuk percepatan program pengurangan emisi.
Pasca-G20, muncul tawaran bantuan senilai USD20 miliar untuk progran iklim. Uang itu tentunya tak serta-merta tersedia di laci meja. Namun, menurut Siti Nurbaya, Indonesia dianggap memiliki komitmen tinggi dalam pembangunan iklim. Oleh karenanya, tawaran bantuan kerja sama lebih mudah direalisasikan. Kuncinya, Indonesia menyiapkan program kerja sama yang kredibel dengan dampak yang terukur.
‘’Kita sekarang tahu, kalau Norwegia itu tertarik dengan isu mangrove. Orang Inggris sukanya isu rehabilitasi hutan dan pencegahan deforestasi. Amerika, Jepang, Uni Emirat Arab tertarik ke isu energi baru dan terbarukan,’’ kata Siti Nurbaya. Kecenderungan itu perlu diikuti.
Sebagian kerja sama sudah berjalan. Siti Nurbaya mengaku tak mungkin bekerja sendirian. Peran diplomasi iklim dari Kementerian Luar Negeri sangat membantu. Kementerian Keuangan berjasa membuat pembiayaan proyek kerja sama lebih cepat tersedia, dan bisa berjalan dengan kredibel.
‘’Teman-teman di daerah juga koperatif, begitu pula dengan kementerian dan lembaga yang lain. Saya bahagia bisa bekerja dalam semangat kolegial yang tinggi,’’ ungkap Siti Nurbaya.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari