Indonesia.go.id - Kurangi Impor BBM, Program Bioetanol pun Digeber

Kurangi Impor BBM, Program Bioetanol pun Digeber

  • Administrator
  • Jumat, 20 Januari 2023 | 07:07 WIB
ENERGI TERBARUKAN
  Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) saat meluncurkan program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi, Jumat (4/11/2022). (DOK. Humas Kementerian ESDM)
Program E5 bisa menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia.

Indonesia terus menggenjot pengembangan energi bersih berbasis energi baru dan terbarukan untuk menggantikan bahan bakar berbasis fosil. Namun, situasi perekonomian global yang diprediksi tidak bersahabat pada 2023 akibat berlarutnya perang Rusia-Ukraina, menyebabkan dunia perlu meninjau kembali rencana peta jalan yang berkaitan dengan energi bersih.

Pasalnya, dunia masih tergantung pada bahan bakar fosil untuk menggerakkan mesin industri dan listriknya. Di sisi lain, pasokan energi pun terbatas akibat perang. Dampak ikutannya, harga minyak dunia naik.

Artinya, krisis energi tetap menjadi ancaman terbesar. Pemenuhan kebutuhan energi di masa depan tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dari sisi produksi minyak, Indonesia hingga kini belum mampu swasembada.

Dari tahun ke tahun, produksi migas selalu tidak pernah terpenuhi target. Misalnya untuk produksi 2022, pemerintah menetapkan target produksi sesuai ketetapan APBN 2022 sebesar 660.000 barel per hari. Namun, realisasi produksi hanya 612.712 barel per hari.

Tahun ini, pemerintah telah menetapkan target lifting minyak mentah dan gas bumi, masing-masing 660.000 barel per hari dan 1,05 juta barel setara minyak. Target sesuai itu tertuang di APBN 2023.

Persoalannya, produksi migas yang dihasilkan selama ini belum mampu untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Rata-rata kebutuhan di dalam negeri di kisaran 1,4 juta barel per hari. Sisanya, harus dipenuhi melalui impor.

Oleh karena itu, Indonesia mau tidak mau harus mulai bergerak untuk mencari sumber bahan bakar alternatif, dan itu berasal dari energi baru dan terbarukan, yakni dengan mengembangkan bahan bakar nabati (BBN).

Sejumlah cara dilakukan untuk memperoleh produk yang nantinya mampu menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM). Beberapa program untuk konversi, antara lain, program biodiesel-35 (B-35) dan bioetanol, yang semula 5 persen (E5) hingga E20.

Bukti keseriusan pemerintah untuk menjadikan bioetanol berbasis tebu sebagai salah satu opsi konversi BBM juga dikemukakan Presiden Joko Widodo dalam pelbagai kesempatan, salah satunya ketika kunjungan kerja di Jawa Timur, pada Jumat (4/11/2022).

Bertempat di pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Kepala Negara menyampaikan harapannya agar program bioetanol tebu untuk ketahanan energi dapat berjalan sesuai rencana. Program tersebut menargetkan peningkatan bioetanol dari 5 persen pada BBM, menjadi E10, E20, dan seterusnya.

Bila program ini berhasil, kemudian juga diikuti dengan program biofuel jenis lainnya, semua itu tentu akan memperkuat ketahanan energi negara kita Indonesia. Pemerintah berharap pada program ketahanan energi, salah satunya dengan terus melakukan pengembangan bioetanol.

Bahkan, pemerintah berharap jumlah produksi bioetanol nasional terus meningkat dari 40.000 kiloliter (kl) pada 2022--kebutuhan 696.00 kl/hari--menjadi 1,2 juta kl pada 2030. Salah satu bukti mulai berhasilnya program bioetanol, ketika tim studi bioetanol Institut Teknologi Bandung (ITB) telah melakukan kajian pencampuran etanol 5 persen ke dalam Pertalite (RON 90) menjadi kualitas sama dengan Pertamax (RON 92) pada 2021.

Tidak itu saja, Kementerian ESDM bersama tim riset ITB dengan didukung oleh US Grains Council (USGC) telah berhasil menyusun Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol di Indonesia. Kajian peta jalan yang mulai disusun sejak 2021 itu ditujukan untuk mendukung program implementasi penggunaan bioetanol pada bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan mempersiapkan industri bioetanol di Indonesia.

Bahkan, Kementerian ESDM kini sudah sampai tahapan implementasi bahan bakar nabati (BBN) bioetanol. BBN yang berupa bauran 5 persen dan 95 persen bensin. BBN E5 itu mulai diterapkan di wilayah Surabaya, Jawa Timur.

Pemerintah sebelumnya pernah berencana untuk menerapkan E5 pada BBM Pertalite. Namun, program tersebut ditunda karena perubahan status Pertalite menjadi jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).

Berkaitan dengan program itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, produksi bioetanol berasal dari tiga pabrik. Dari ketiga pabrik itu, dua di antaranya berasal dari wilayah Jawa Timur, yakni PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dengan 30.000 kilo liter (kl) dan PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang dengan 10.000 kl. Sedangkan satu lagi berada di Yogyakarta. Yakni, PT Madu Baru di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dengan 3.600 kl.

"Dengan kapasitas tersebut rencana akan diimplementasikan E5 di wilayah Surabaya dan sekitarnya dan saat ini masih dibahas dan dipastikan kembali kesiapan implementasinya," ujar Dadan, Selasa (10/1/2023).

Dadan menjelaskan, pemerintah sejauh ini belum menetapkan alokasi pengadaan tahunan BBN bioetanol sebagaimana yang telah dilakukan pada penyediaan biodiesel sebanyak 13,15 juta kl untuk program B35 pada 2023. "Untuk rencana implementasi bioetanol tidak sama dengan mekanisme pengadaan biodiesel. Karena tidak ada insentif, maka tidak ada proses penetapan alokasi," ujar Dadan.

Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo. Dia menyampaikan bahwa sejauh ini pemerintah belum menetapkan alokasi produksi tahunan untuk BBM bioetanol.

"Untuk bioetanol karena tidak ada subsidi maka tidak ada proses penetapan seperti biodiesel," kata Edi. Kendati demikian, Edi menyampaikan bahwa implementasi E5 pada campuran BBM jenis bensin akan segera dilaksanakan secepatnya.

Penerapan E5 di Indonesia sejatinya mungkin dilakukan mengingat pemerintah pernah berencana untuk menerapkannya pada BBM Pertalite. "E5 masih disiapkan dan dibahas kerena adanya perubahan asumsi status Pertalite yang tadinya jenis bahan bakar umum menjadi JBKP yang mendapat subsidi," ujar Edi.

Harapannya, implementasi penggunaan bioetanol E5 terus digenjot penggunaannya, sama seperti program biodiesel. Program penggunaan bahan bakar nabati, baik bioetanol maupun biodiesel, mutlak untuk diteruskan.

Pasalnya, melalui program itu bisa menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia, menurunkan polutan emisi kendaraan, selain menciptakan potensi penciptaan lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari