Indonesia.go.id - Ketidakpastian Global Jadi Faktor Penaikan Suku Bunga

Ketidakpastian Global Jadi Faktor Penaikan Suku Bunga

  • Administrator
  • Jumat, 20 Januari 2023 | 13:04 WIB
SUKU BUNGA
  BI mencatat nilai tukar rupiah pada awal tahun 2023 hingga hari-H RDG menguat 3,18 persen (year to date/ytd) dan apresiasi 1,20 persen secara rerata dibandingkan dengan level Desember 2022. ANTARA FOTO/ Muhammad Adimaja
Keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan untuk memastikan berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan.

Bank Indonesia menggelar Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 18 – 19 Januari 2023. Pada rapat itu, BI kembali memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan, BI 7-day Reserve Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin.

Keputusan RDG BI di 2023 merupakan kebijakan perdana yang memutuskan kenaikan kembali suku bunga acuan. Kebijakan penaikan suku bunga acuan itu merupakan yang kesekian kalinya sejak Agustus tahun lalu, hingga menempatkan BI7DRR nangkring di level 5,75%.

Tentu, bagi pemangku kepentingan, penaikan yang bertubi-tubi--dengan akumulasi 225 basis poin--menjadi pertanyaan besar. Terkait itu, paradigma kebijakan front loading, pre emptive, dan ahead the curve menjadi penjelasannya. Tidak itu saja, BI juga menjelaskan kebijakan BI7DRR diarahkan untuk menjangkar inflasi juga bisa diterima.

Laju inflasi 2022, misalnya, memang turun lebih cepat dari perkiraan. Inflasi inti yang dalam prediksi BI naik menjadi 4,61 persen, akan tetapi realisasinya 3,36 persen pada akhir 2022.

Artinya, kenaikan BI7DRR bekerja sesuai skenario. Tren yang sama bisa dilihat dari faktor eksternal. Nilai tukar rupiah menguat pada awal tahun seiring meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global.

Kondisi ini juga mendorong aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik, sehingga memperkuat stabilitas perekonomian dalam negeri. BI mencatat nilai tukar rupiah pada awal tahun 2023 hingga hari-H RDG menguat 3,18 persen (year to date/ytd) dan apresiasi 1,20 persen secara rerata dibandingkan dengan level Desember 2022.

Bahkan, penguatan rupiah relatif lebih baik, dibandingkan dengan apresiasi mata uang sejumlah negara sepantaran. Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan mencatat surplus didukung oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk penanaman modal asing langsung dan investasi portofolio.

Tidak ketinggalan, neraca dagang juga surplus besar sejalan dengan prospek ekonomi nasional yang semakin baik. Tren mulai membaiknya sisi perekonomian nasional itu tentu patut disyukuri.

Bahkan, BI yang telah mengirim sinyal tidak ada lagi penaikan suku bunga acuan dalam jangka pendek. Sinyal itu tentu cukup menyejukkan.

Kenaikan BI7DRR yang sudah dilakukan sejauh ini dinilai telah memadai. Asalkan tidak ada peristiwa luar biasa ke depan. Sinyal di atas agaknya terkait pada Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang telah disahkan DPR dan pemerintah.

Mengacu pada UU nomor 4 tahun 2023 tentang P2SK, mandat BI diperluas alih-alih tujuan tunggal, yakni stabilisasi nilai rupiah, yang diukur dengan inflasi dan nilai tukar terhadap valuta asing. Dan merunut pada Bagian Kelima Pasal 7 UU P2SK, perluasan mandat diberikan kepada BI dengan sasaran mencapai stabilitas nilai rupiah tetap terjaga.

Selain itu, UU itu juga mengamanatkan agar BI memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sejatinya, selama ini menjaga stabilitas sistem pembayaran dan sistem keuangan sudah dilaksanakan BI.

Melalui kebijakan makroprudensial, BI mengelola kiprah industri jasa keuangan dalam memitigasi siklus bisnis. Sehingga berarti, mandat yang tersurat dalam UU P2SK secara yuridis ada untuk kian menguatkan peran BI, yakni mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Mandat tersebut, lagi-lagi, secara tidak langsung juga sudah dilaksanakan. Contohnya, keterlibatan aktif BI dalam pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan keuangan syariah.

Artinya, peran BI yang harus mengakomodasi variabel pertumbuhan ekonomi di samping stabilisasi nilai mata uang. BI juga harus mengompromikan faktor internal dan eksternal.

Berkaitan dengan keputusan BI untuk menaikkan suku bunga acuan BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen. Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan untuk memastikan berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan.

“BI memandang keyakinan ini memadai untuk memastikan inflasi inti akan tetap berada dalam kisaran 2 persen hingga 4 persen, di bawah 4 persen pada semester I-2023,” ujarnya Kamis (19/1/2023).

Menurutnya, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah juga untuk mengendalikan inflasi barang impor yang diperkuat dengan operasi moneter valas, termasuk implementasi instrumen berupa term deposit valas dari devisa hasil ekspor (DHE) sesuai mekanisme pasar. 

Kondisi itu, dia menambahkan, tidak terlepas dari kondisi eksternal, yakni pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya sebesar 2,3 persen pada tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya 2,6 persen. “Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2023 menjadi 2,3 persen, dari perkiraan sebelumnya 2,6 persen,” pungkasnya.

Dia menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi global disebabkan oleh fragmentasi politik dan ekonomi yang belum usai. Hal tersebut diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter yang masih cukup agresif di negara maju.

Selain itu, potensi resesi meningkat di Amerika Serikat dan Eropa. Di sisi lain, penghapusan kebijakan zero Covid-19 di Tiongkok diperkirakan akan menahan perlambatan ekonomi global.

Menurutnya, tekanan inflasi global terindikasi berkurang, namun diperkirakan tetap berada pada level yang tinggi seiring dengan masih tingginya harga energi dan pangan, berlanjutnya gangguan rantai pasok, dan masih ketatnya pasar tenaga kerja di AS dan Eropa. Khusus soal perekonomian nasional, Gubernur BI itu menilai perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 berlanjut karena didorong oleh permintaan domestik yang semakin kuat.

Sepanjang tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan terus berlanjut meskipun sedikit melambat ke titik tengah kisaran 4,5 hingga 5,3 persen sejalan dengan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, konsumsi rumah tangga diproyeksikan akan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pasca penghapusan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat (PPKM).

Investasi juga diperkirakan akan membaik didorong oleh membaiknya prospek bisnis, meningkatnya aliran masuk Penanaman Modal Asing (PMA), serta berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN). Oleh karena itu, berpijak dengan tren perekonomian yang membaik, Perry pun memberikan sinyal akan mulai menyudahi aksi agresif kenaikan suku bunga acuan pada 2023.

Hal ini menjadi angin segar bagi ekonomi nasional, sekaligus mengindikasikan optimisme inflasi yang akan turun sepanjang tahun ini. Bank sentral memandang laju inflasi hingga akhir 2022 telah turun lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, dengan mencapai tingkat 5,51 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi konsensus sebesar 6,5 persen.

Harapannya, arah kebijakan suku bunga acuan 2023 tetap membutuhkan koordinasi, sinkronisasi intrakebijakan di dalam ranah BI, termasuk berkoordinasi antarkebijakan dengan otoritas makroekonomi yang lain. Jika demikian, era endemi akan membawa babak anyar bagi perekonomian nasional untuk kembali memacu pertumbuhan ekonominya.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari