Penerapan ekonomi hijau yang berkolerasi pada komitmen penurunan emisi karbon harus dilakukan dengan hati-hati.
Tuntutan global agar negara dunia mendorong pembangunan yang berkelanjutan, telah menjadi sebuah keniscayaan. Indonesia sebagai bagian penduduk global tidak bisa mengelak tuntutan itu. Alhasil, negara ini pun harus mulai mengubah arah pembangunannya ke ekonomi hijau.
Presiden Joko Widodo dalam pelbagai kesempatan pun telah mendorong reorientasi pembangunan ekonomi, menuju ekonomi hijau atau ekonomi yang ramah terhadap lingkungan. Bagi Indonesia, implementasi tuntutan soal ekonomi hijau, termasuk penggunaan energi baru dan terbarukan bukanlah hal mudah. Meski negara ini memiliki sumber energi yang berlimpah.
Kesulitan di antaranya muncul terkait upaya mengubah paradigma yang ada selama ini. Di mana, masih digunakan pendekatan konvensional. Oleh karena itu, meski sejumlah program menuju ekonomi hijau terus didorong, akselerasinya belum maksimal seperti yang diharapkan.
Dalam konteks bauran energi, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, bauran energi terus terakselerasi. Bila pada 2017, misalnya, bauran energi untuk BBM baru mencapai 5,6 persen, gas (58,41 persen), dan batu bara (13,07 persen). Pada 2018 bauran itu naik masing-masing BBM 5,63 persen, gas (60,28 persen), batu bara (12,93 persen).
Pada 2019 bauran untuk BBM menjadi 21,4 persen, gas (62,98 persen), batu bara (12,01 persen). Lalu pada 2020, bauran BBM menjadi 16,8 persen, gas (66,3 persen), batu bara (14 persen).
Di 2021, bauran BBM (17,16 persen), gas (66,1 persen), batu bara (13,65 persen). Dan pada 2022, bauran BBM menjadi 15,96 persen), gas (67,21 persen), dan batu bara (14,11 persen).
Lantas bagaimana data penurunan emisi CO2? Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menyebutkan, penurunan emisi Co2 terus menanjak. Pada 2017, penurunan emisi CO2 mencapai 29 juta ton, lalu di 2018 (40,6 juta ton), 2019 (54,8 juta ton), dan pada 2020 naik menjadi 64,4 juta ton.
Pada 2021, penurunan emisi CO2 menjadi 70 juta ton. Kemudian, pada 2022 (91,5 juta ton) dan pada 2023 ditargetkan bisa mencapai 116 juta ton penurunan emisi CO2.
Terlepas dari semua itu, tekad kuat pemerintah untuk terus mendorong pembangunan berbasis ekonomi hijau tidak pernah kendor. Itu diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Menurutnya, pemerintah telah banyak membuat gebrakan untuk mengejawantahkan cita-cita ekonomi hijau. Dari sisi pembiayaan, misalnya, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 telah diselaraskan dengan tujuan pencapaian target net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060.
“Untuk melakukan transformasi energi [bersumber fosil] ke [energi] hijau itu tidak semudah membalikkan tangan. Meskipun tujuannya baik untuk meningkatkan ekonomi agar konsisten dengan komitmen penurunan CO2, harus tetap dilakukan hati-hati,” ujarnya dalam satu forum berkaitan dengan ekonomi hijau, Selasa, (6/6/2023).
Selain itu, imbuh Menkeu, Indonesia telah menginisiasi perdagangan karbon secara bertahap. Sistem perdagangan karbon mandatori (Emission Trading System/ETS) diperkuat dengan payung hukum berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.
Terapkan Pajak Karbon
Selain mekanisme perdagangan, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah telah menerapkan pajak karbon sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang dimulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Pada kesempatan itu, Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan bahwa dalam mewujudkan transisi energi, pemerintah telah menerbitkan green sukuk ritel sebesar Rp20,8 triliun. Menurut dia, Sukuk Tabungan (ST) dengan format Green Sukuk Ritel sekaligus menunjukkan komitmen dan kontribusi pemerintah dalam mengembangkan pasar keuangan syariah dan juga dalam mengatasi perubahan iklim.
Instrumen keuangan tersebut juga dinilai sebagai instrumen pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Dalam tataran praktis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, telah berencana merilis Peraturan OJK (POJK) untuk sistem maupun mekanisme perdagangan bursa karbon pada 11 Juli 2023 dan bursa itu akan efektif pada September 2023.
“Kami tengah mempersiapkan rancangan POJK bursa karbon dan sedang menunggu undangan dari Komisi XI DPR untuk konsultasi untuk rancangan POJK itu. Harapannya dapat dirilis pada 11 Juli 2023," kata Kepala Eksekutif Pengawasan Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi kepada wartawan, Selasa (6/6)/2023).
Nantinya, OJK sebagai otoritas yang bertanggung jawab pada operasional bursa karbon menyusun perdagangan unit karbon, baik secara wajib maupun sukarela, sebagai mekanisme perdagangan karbon. Implementasi perdagangan karbon ditujukan untuk menarik investasi hijau lewat transaksi jual beli karbon.
Perdagangan karbon ini terbuka bagi semua pelaku usaha dengan syarat harus mendaftarkan diri ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sektor jasa keuangan peran penting juga diemban dalam rangka mewujudkan konsep ekonomi hijau. Yakni, lewat upaya menjaga stabilitas ekonomi.
Dalam konteks ini, OJK telah mengeluarkan regulasi mengenai penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik yang tertuang pada POJK 51/2017. Namun begitu, implementasi ekonomi hijau membutuhkan kerja sama antarseluruh stakeholder.
Itu semua lantas dipercaya menjadi kunci utama. Di tambah lagi, komitmen serius Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon dinilai dapat menjadi batu loncatan yang dapat memacu laju potensi pertumbuhan pembiayaan hijau ke depan.
Tidak dipungkiri, perjalanan menuju implementasi ekonomi hijau, termasuk target energi bersih memang masih panjang. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, banyak tantangan yang harus diselesaikan pemerintah untuk mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dalam transisi energi.
“Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan EBT beragam mulai dari keekonomian dan teknologi, ketersediaan infrastruktur pendukung, keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran, pendanaan, serta dinamika sosial,” tuturnya.
Terlepas dari semua permasalah di atas, komitmen Indonesia untuk melakukan transisi perlu didukung semua pihak untuk mendapatkan manfaat, dan pada saat yang sama tetap konsisten menurunkan karbon dioksida, yakni memuluskan program transisi energi agar target net zero emission pada 2060 tercapai.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari