Indonesia.go.id - Melipatgandakan Nilai Tambang Mineral Dalam Negeri

Melipatgandakan Nilai Tambang Mineral Dalam Negeri

  • Administrator
  • Minggu, 25 Juni 2023 | 15:26 WIB
HILIRISASI INDUSTRI
  Kemajuan pada industri pertambangan membuat pemerintah terus melakukan penghentian ekspor bahan tambang mentah, dimulai dari nikel, bauksit, timah, hingga alumina secara bertahap. ANTARANEWS
Peningkatan ekspor dari hasil hilirisasi industri pertambangan telah membantu menciptakan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran.

Sejak dua tahun terakhir, industri pertambangan nasional mengalami lompatan cukup tinggi. Hal ini berkat komitmen pemerintah yang serius untuk melakukan hilirisasi bahan tambang. Secara bertahap, pemerintah terus melakukan penghentian ekspor bahan tambang mentah, dimulai dari nikel, bauksit, timah, hingga alumina.

Sejak Januari 2020, kebijakan larangan ekspor nikel mentah telah berhasil dilakukan. Implementasi kebijakan larangan ekspor bahan tambang mentah tersebut bukannya tidak mendapat tentangan di pasar global. Pasalnya, Indonesia menguasai 37 persen kebutuhan biji nikel dunia.

Dengan jumlah produksi nikel mencapai 1 juta metrik ton, Indonesia menjadi negara penghasil nikel terbesar di dunia. Larangan ekspor nikel mentah berpotensi mengganggu pasokan nikel global yang memicu konflik dagang.

Tidak main-main, Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO) tengah menggugat Indonesia terkait kebijakan larangan ekspor nikel mentah. Padahal, tujuan utama Pemerintah Indonesia menghentikan ekspor bahan tambang mentah adalah untuk meningkatkan nilai tambah domestik melalui hilirisasi produk pertambangan.

Sementara itu, ekspor produk olahan dasar nikel masih sangat minim, di bawah 5 persen. Bahkan Indonesia tidak termasuk ke dalam lima eksportir terbesar produk olahan dasar nikel. Di satu sisi, harga jual antara biji nikel mentah dengan komoditas nikel yang telah diolah setengah jadi di pasar internasional teramat jauh bedanya. Harga jual rata-rata biji dan konsentrat nikel di pasar dunia (London Metal Exchange/LME) hanya berkisar USD21--USD29 per ton, sedangkan harga produk olahan dasar nikel bisa mencapai USD26--27 ribu per ton pada Januari 2023.

Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, nilai ekspor produk olahan hilirisasi bijih nikel mencapai USD4,98 miliar atau sekira Rp74,3 triliun sepanjang kuartal I-2023. Komoditas lanjutan tersebut berupa ferro nikel, nikel matte, dan nikel pig iron atau NPI.

Diakui industri pertambangan di Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan lebih lanjut melalui proses hilirisasi. Tentunya, dengan membentuk ekosistem industri yang menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi dengan produk yang lebih kompetitif.

Peningkatan ekspor dari hasil hilirisasi industri pertambangan ini telah membantu menciptakan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Ujungnya, berdampak positif pada stabilitas nilai tukar rupiah dan indikator ekonomi makro.

Dampak positif lainnya dari hilirisasi industri tersebut adalah penyerapan tenaga kerja lokal. Seperti dikemukakan Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) Septian Hario Seto.

“Penciptaan lapangan kerja juga mengalami peningkatan yang signifikan, terutama di daerah Weda Bay, Obi, Morowali, dan Konawe, dengan jumlah tenaga kerja yang mencapai puluhan ribu dan rata-rata gaji di atas upah minimum regional,” papar Deputi Septa dalam dialog Forum Merdeka Barat (FMB) 9 yang mengangkat tema ‘Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah’, di Jakarta, Senin (12/6/2023).

Dari sisi industri dalam negeri, investasi baru dalam sektor besi baja bertumbuh pesat, meskipun mayoritas investor berasal dari luar negeri. Nilai hilirisasi nikel sampai saat ini sudah mencapai lebih dari USD30 miliar yang masuk ke Indonesia.

Target selanjutnya dari pemerintah sendiri adalah mengintegrasikan hilirisasi ke tahap yang lebih lanjut untuk dapat menarik investasi lebih besar. Meskipun demikian, salah satu tantangan utama dari percepatan industri pertambangan domestik adalah besarnya investasi yang dibutuhkan.

Setidaknya, proyek hilirisasi dalam industri pertambangan memiliki biaya yang cukup besar, di atas USD1 miliar. Oleh karena itu, selain modal ekuitas, juga dibutuhkan pinjaman dari bank.

Sejauh ini, dukungan utama investasi lembaga keuangan internasional berasal dari Tiongkok. Nilainya amat signifikan untuk proyek hilirisasi di Indonesia. Tidak hanya itu, bank-bank dalam negeri juga ikut aktif dalam pembiayaan tersebut, dengan rata-rata 30 persen modal ekuitas investor dan sisanya berasal dari pinjaman bank.

Ada Hambatan Perdagangan

Menurut Deputi Kemenko Marves, edukasi kepada sektor perbankan perlu terus dilakukan agar tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai hilirisasi. Kendati demikian, tantangan paling krusial yang dihadapi adalah hambatan perdagangan (trade barrier) yang diciptakan oleh negara-negara lain. Produk hasil pertambangan, seperti nikel, sering kali dikenakan tindakan anti-dumping dan antisubsidi oleh Uni Eropa.

Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai elemen industri dalam menciptakan ekosistem yang kompetitif. Septian pun memberikan contoh industri mobil listrik yang dapat membentuk ekosistem agar lebih menarik bagi investor.

Masih dalam forum yang sama, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif menambahkan, salah satu sektor yang mengalami perkembangan pesat dalam hilirisasi adalah nikel. Lebih dari 100 smelter nikel telah dibangun, yang berkontribusi pada pengembangan industri besi baja di Indonesia.

Di samping itu, terdapat perkembangan di sektor bauksit yang mengarah ke produksi alumunium, dengan empat perusahaan yang terlibat dalam kegiatan hilirisasi ini. Produk komoditas pertambangan lain yang sedang berkembang hilirisasinya yaitu tembaga.

Produk turunan tembaga ini dikelola oleh tiga group besar yaitu, Freeport Indonesia, AMMAN Mineral, dan Merdeka Copper, dengan smelter yang ada di Gresik milik PT Freeport dan smelter PT AMMAN di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Irwandy berharap semua arah dari perkembangan industri hilirisasi ini dapat mendukung percepatan hilirisasi yang dicanangkan oleh pemerintah melalui kementerian ESDM. Saat ini, pemerintah terus mendorong pasokan energi listrik, pembebasan lahan, dan perizinan sebagai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses hilirisasi industri pertambangan.

Menyangkut adanya trade barrier yang diciptakan oleh negara lain, dirinya juga meyakinkan bahwa pemerintah terus bekerja untuk mengatasi masalah ini dan memperjuangkan kepentingan industri hilirisasi Indonesia di tingkat internasional.

Di samping itu, Kementerian ESDM juga menekankan pentingnya pengembangan industri hilirisasi yang ramah lingkungan. Beberapa smelter nikel telah beralih dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan, seperti PLTU ke energi baru dan terbarukan (EBT).

Untuk mendukung hilirisasi, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang mendukung, seperti perpanjangan izin tambang dan insentif fiskal bagi pelaku hilirisasi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Daymas Arangga menekankan perlunya kajian lebih lanjut untuk memastikan bahwa mineral lain juga dapat diserap dengan baik dalam proses hilirisasi. “Setiap mineral memiliki karakteristik yang berbeda, dan penyesuaian harus dilakukan dalam hal pasokan dan permintaan pasar yang sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, and governance/ESG),” ucap dia.

Menurutnya, Indonesia dapat dianggap sebagai success story dalam hal hilirisasi industri pertambangan. Dalam pengamatannya, negara lain seperti Kongo dalam kasus kobalt belum berhasil menjalankan strategi ini.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari