Stabilitas yang terjamin menjadi prasyarat bila sebuah negara itu ingin maju dan sejahteranya masyarakatnya.
Indonesia sebagai bagian tatanan masyarakat global tentu memiliki visi dan misi membawa negara ini menjadi negara maju, sejahtera dan berkeadilan sosial bagi masyarakatnya.
Untuk mewujudkan itu, Indonesia telah menuangkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, atau dikenal dengan sebutan cita-cita mewujudkan Indonesia Emas.
Peluncuran RPJPN ini juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 dengan visi ‘Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan’.
Dalam rangka itu, pemerintah pun sudah menyiapkan Undang-Undang RPJPN 2025-2045 yang ditargetkan rampung pada September 2023. Seperti telah sering digaungkan, pada usia 100 tahun kemerdekaannya (2045), Indonesia diharapkan menjadi negara maju. Sebuah mimpi tidak muluk-muluk, dan semoga bisa diwujudkan.
Sebagai pengampu dokumen RPJPN 2025-2045, Kementerian PPN/Bappenas telah tuntas menyusun dokumen RPJPN 2025-2045. Mereka melibatkan pelbagai pemangku kepentingan yang berkontribusi untuk menajamkan target dan sasaran pembangunan menuju cita-cita Indonesia menjadi negara maju.
Bila menengok ke belakang, penetapan soal Indonesia Emas sebenarnya bukan saat ini saja. Pada 1996, negara ini pernah menetapkan Indonesia Emas.
Di era itu, pemerintah saat itu telah mengusung Indonesia Emas dengan visi dan misi ingin mengangkat derajat bangsa Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera pada 2045. Indonesia Emas ketika itu memiliki empat pilar utama, yaitu sumber daya manusia unggul, demokrasi yang matang, pemerintahan yang baik, dan keadilan sosial.
Nah, bagaimana dengan penetapan Indonesia Emas di era sekarang? Berkaitan dengan itu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan setidaknya ada tiga hal pokok yang akan menjadi acuan untuk menggapai visi Indonesia Emas 2045.
Pertama adalah stabilitas bangsa dan negara. “Stabilitas bangsa ini harus terjaga. Tidak ada satu negara pun yang berhasil mencapai sebuah kemakmuran saat kondisinya tidak stabil, enggak ada,” ujar Presiden.
Kedua, keberlanjutan dan kesinambungan dalam memimpin. Presiden menyampaikan, kepemimpinan pada sebuah bangsa ibarat tongkat estafet yang harus bersambung dan bukan dimulai dari nol pada setiap kepemimpinan.
Presiden menjelaskan bahwa 56 persen penduduk Indonesia ada di Jawa dan 58 persen produk domestik bruto (PDB/GDP) Indonesia juga berada di Jawa. “Oleh sebab itu, beban harus dikurangi, pemerataan harus dilakukan. Tidak dalam jangka setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun yang akan datang, tetapi kita harus melihat visi yang jauh ke depan. Oleh sebab itu, hilirisasi, IKN Nusantara ini harus diperkuat, harus dilanjutkan, harus ditingkatkan,” ujarnya.
Yang ketiga adalah sumber daya manusia (SDM), yang menjadi kekuatan besar bangsa Indonesia. “Ini kekuatan besar kita. Kita jangan hanya menang dari segi jumlah, tetapi juga harus dari segi kualitas SDM-nya,” ujar Kepala Negara.
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya memanfaatkan peluang dengan menggunakan perencanaan, visi, dan strategi besar yang taktis untuk dapat mencapai Indonesia Emas tahun 2045.
Apa peluang itu? Kepala Negara pun menuturkan peluang itu berupa bonus demografi yang akan dialami oleh Indonesia pada 2030-an dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai 68,3 persen dari total populasi.
Peluang yang hanya terjadi satu kali dalam setiap peradaban sebuah negara tersebut, lanjut Presiden, harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi bencana. “Di beberapa negara, bonus demograsi tidak dimanfaatkan secara optimal. Saya tidak ingin terjadi seperti itu,” ujar Presiden.
Jokowi pun menyampaikan Indonesia memiliki peluang untuk menjadi lima besar ekonomi dunia. Presiden menyebut bahwa meskipun secara perhitungan angkanya sudah ada, tetapi tantangannya tidak mudah.
Indonesia harus terus meningkatkan pendapatan nasional bruto (PNB) atau gross national income (GNI) dan menurunkan tingkat kemiskinan untuk menuju visi Indonesia Emas 2045. "Perkiraan kita [PNB] di tahun Indonesia Emas 2045 itu berada di angka USD23.000 sampai USD30.300 per kapita. Itu lompatannya. Tingkat kemiskinan sekarang ini meskipun sudah satu digit yaitu di angka 9,57 persen tapi ini masih tetap angka itu masih tinggi dan di tahun 2045 diperkirakan di 0,5 sampai 0,8 persen,” tutur Presiden.
Menguatkan pendapat kepala negara, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, ada dua skenario yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran visi Indonesia Emas 2045, khususnya di bidang ekonomi.
Pertama, bagaimana bangsa ini bisa mengejar pendapatan per kapita setara negara maju. Kedua, mengejar tingkat kemiskinan menuju 0 persen, atau tepatnya pada angka 0,5 persen-0,8 persen.
Sedangkan Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami mengakui untuk mencapai target tersebut tidak mudah. Alasannya, masih adanya isu dan tantangan yang menghadang saat ini.
Salah satunya, kata dia, pandemi yang berjalan selama dua tahun terakhir menyebabkan penurunan angka kemiskinan jadi melambat. "Padahal 2019 sudah menurun di 9,22 persen sejak persentase yang tinggi di 2005 sebesar 17,75 persen. Namun, di 2020 angka kemiskinan mencapai 10,19 persen yang kemudian berhasil turun hingga 9,57 persen," ujarnya Senin (22/5/2023).
Selain itu, angka stunting (21,6 persen) dan angka kematian yang masih tinggi, hingga kesenjangan pendidikan antarkelompok berdasarkan wilayah dan pendapatan menjadi tantangan yang masih muncul dari bidang kesehatan dan pendidikan.
Oleh karena itu, pernyataan Presiden Joko Widodo ada tiga hal pokok penting di atas patut menjadi pegangan untuk menuju Indonesia Emas 2045. Artinya, mengacu kepada pernyataan Presiden itu, Indonesia memiliki potensi soal bonus demograsi sebagai sebuah kekuatan besar tersebut.
“Jangan hanya unggul dari segi kuantitas, tetapi juga dari segi kualitasnya, baik secara fisik, skill, karakter, disiplin, hingga penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari