Sejak beroperasinya Jalan Tol Jagorawi sepanjang 59 kilometer pada 9 Maret 1978 silam, arus warga ibu kota untuk pelesiran ke Puncak, Jawa Barat makin tak terbendung.
Siapa tak kenal daerah Puncak, sebuah objek wisata alam sekitar 70 kilometer arah selatan Jakarta. Kawasan di antara Kabupaten Bogor dan Cianjur, Jawa Barat tersebut saban akhir pekan atau saat libur panjang selalu dipadati oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Mereka datang dari Jakarta dan daerah-daerah penyangga sekitarnya, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta wilayah lain.
Lokasi Puncak yang diapit oleh Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Salak, dan Pegunungan Jonggol atau berada di ketinggian 700--1.800 meter di atas permukaan laut membuatnya selalu bersuhu sejuk, antara 14--20 derajat Celcius.
Belum lagi, perkebunan teh seluas 2.551 hektare di sekitar Gunung Mas bak menciptakan hamparan raksasa karpet hijau yang alami. Semua itu menjadi magnet utama Puncak yang selalu dirindukan masyarakat kota, utamanya di Jabodetabek.
Terlebih lagi, rute menuju Puncak yang dimulai dari Simpang Gadog hingga ke Istana Kepresidenan Cipanas sejauh 32 kilometer sangat mudah dijangkau, baik dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Ada banyak pilihan rute, dapat melalui Jalan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi yang dioperasikan sejak 9 Maret 1978 atau memakai angkutan umum. Misalnya, menaiki kereta rel listrik Jakarta-Bogor yang telah dioperasikan oleh kolonial Belanda sejak tahun 1925 silam.
Dapat pula menumpang bus antarkota jurusan Bogor, Bandung, atau Cianjur dari Terminal Bus Antarkota Kampung Rambutan, Jakarta. Atau bisa pula menyusuri rute Jalan Raya Jakarta-Bogor dimulai dari kawasan Kramatjati hingga ke Cibinong dan pinggiran Bogor. Ruas itu dikenal sebagai Jalan Nasional Rute 2 dan diwariskan sejak era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, yang memerintah pada 1808--1811.
Daendels, dalam era kepemimpinannya, pernah mewujudkan jalan pos yang menghubungkan Anyer di Provinsi Banten saat ini menuju Panarukan, Jawa Timur, sejauh hampir 1.000 kilometer pada 1809--1810. Jalur legendaris Anyer-Panurukan yang kemudian disebut sebagai Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) juga dikenal sebagai Jalan Daendels.
Rute tersebut juga melewati kawasan Ciawi hingga ke Puncak dan terus ke Cianjur serta Bandung. Demikian dikisahkan sejarawan JJ Rizal dalam sebuah siniar daring mengenai sejarah Jakarta tempo dulu beberapa waktu lalu. Menurutnya, Puncak sudah ada sejak era Hindia Belanda dan menjadi lokasi beristirahatnya para bangsawan kolonial ketika ibu kota Batavia sedang dilanda wabah malaria pada 1733.
Eksodus bangsawan Hindia Belanda ke selatan Batavia terjadi pada 1740--1745 saat dipimpin Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. "Atas perintah Imhoff ini pula dibangun kota baru lengkap dengan rumah dinasnya bernama Buitenzorg yang kita kenal sebagai Bogor saat ini," kata JJ Rizal.
Imhoff kemudian membangun sebuah tempat rehat kaum elite kolonial tak jauh dari Buitenzorg di lereng Gunung Megamendung dan ditanami tumbuhan obat serta kebun teh dan lambat laun menjadi lokasi berlibur para bangsawan kala itu. Kawasan tersebut kemudian dikenal sebagai Puncak dan tetap menjadi favorit penduduk hingga 1937. Karena hanya perlu waktu 3--4 jam untuk menuju lokasi hijau tersebut dari pusat kota Jakarta dan atau sekitar 2 jam dari Bogor ketika itu.
Kemacetan Panjang
Sejak beroperasinya Jalan Tol Jagorawi sepanjang 59 kilometer pada 9 Maret 1978 silam, arus warga ibu kota untuk pelesiran ke Puncak makin tak terbendung. Ini membuat sesak kawasan yang menaungi 10 kecamatan di Kabupaten Bogor dan Cianjur. Apalagi dengan mulai berdatangannya rombongan wisatawan asing asal jazirah Teluk terutama Arab Saudi sejak 1985, Puncak makin padat.
Mereka menyukai Puncak karena kesejukan udara dan hijaunya pemandangan alam, sesuatu yang sulit didapatkan di Saudi karena dilingkupi padang tandus nan panas. Derasnya laju kedatangan orang berwisata ke Puncak menyebabkan aparat kepolisian berjibaku mengatur keluar-masuk kendaraan ke daerah tersebut. Itulah sebabnya sejak 1986, kepolisian setempat menerapkan aturan buka-tutup atau one way di akhir pekan dan terus diberlakukan sampai saat ini.
Kemacetan panjang hingga berkilometer seolah menjadi pemandangan biasa, baik bagi warga setempat atau mereka yang ingin menuju ke Puncak. Utamanya saat akhir pekan, libur Lebaran, malam pergantian tahun, atau libur sekolah. Kepolisian Resor Kota Bogor mencatat, pada masa Idulfitri 1441 Hijriah, 18--30 April 2023 saja, ada sebanyak total 449.791 kendaraan melintasi jalur Puncak.
Berbondong-bondongnya orang kota menuju objek wisata alam ternama tersebut ikut menyebabkan menjamurnya pertumbuhan penginapan dan rumah makan. Data Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bogor menunjukkan setidaknya ada 64 hotel berbintang 2--5 beroperasi di sekitar Puncak dan ratusan penginapan sekelas hotel melati dan villa ikut bertebaran.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor juga menyebutkan, sampai 2020 ada sekitar 910 restoran dan rumah makan hanya di tiga kecamatan sekitar Puncak seperti Megamendung, Cisarua, dan Ciawi. Belum lagi bertumbuhnya aneka objek wisata lainnya yang menumpang ketenaran Puncak.
Berjubelnya puluhan ribu orang mengunjungi Puncak bukan saja memberi berkah bagi penduduk sekitar. Pada sisi lain situasi itu justru menimbulkan beberapa masalah, mulai dari pelanggaran izin pemanfaatan lahan, menyusutnya daerah resapan, polusi udara, dan berkurangnya daya tahan jalan dan hal lainnya.
Jalur Puncak II
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tak tinggal diam melihat situasi Puncak yang selalu dilanda kemacetan yang telah berlangsung lama itu. Aneka upaya pun dilakukan. Misalnya Badan Kebijakan Transportasi (Bakertrans) Kementerian Perhubungan pada Mei 2023 lalu mengusulkan kajian terkait pembangunan kereta gantung (cable car).
"Saat ini solusi yang akan diajukan adalah kereta gantung di jalur Puncak. Untuk melebarkan jalan utama Puncak sudah tidak memungkinkan. Sehingga membutuhkan alternatif seperti jalan tol atau lainnya. Kesulitan terbesar ada pada pembebasan lahan warga yang akan dilalui jalur alternatif," tegas Kepala Bakertrans Gunung Hutapea seperti dilansir Antara.
Sebelumnya pada 2020 Pemerintah Kabupaten Bogor sudah memulai pembangunan Jalur Poros Tengah Timur yang kemudian dikenal sebagai Jalur Puncak II sepanjang 1,1 km dari rencana sejauh 56,25 km dan tidak dilanjutkan karena keterbatasan anggaran. Pada 4 April 2023 Pemerintah Jabar mengumumkan bahwa Jalur Puncak II masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN).
Ruas tersebut akan dibangun sejauh 62,8 km, yakni sepanjang 48,7 km masuk wilayah Kabupaten Bogor dan 18,5 km sisanya berada di Cianjur termasuk melewati objek wisata alam Grand Canyon yang berbatasan dengan Kabupaten Karawang. Akses keluar-masuk Jalur Puncak II juga akan melintasi dekat Sirkuit Internasional Sentul, Cibinong, Kabupaten Bogor.
Tak hanya Jalur Puncak II yang merupakan jalan arteri, pemerintah pusat saat ini sedang merampungkan studi kelayakan rencana Jalan Tol Puncak II, mulai dari Caringin hingga ke Cianjur sejauh 52 km. Rencananya, tol tersebut akan digarap dalam lima seksi pekerjaan dan menelan anggaran sebesar Rp25 triliun. Targetnya sudah bisa dibangun pada 2030 dan dioperasikan 2034.
Demikian dikatakan Direktur Jalan Bebas Hambatan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Triono Junoasmoro dalam sebuah seminar di Jakarta, 10 Mei 2023 seperti diwartakan oleh Antara. "Jalan tol ini sedang dalam prakarsa dan rencananya akan tersambung dengan ruas tol yang telah ada dan tembus langsung ke arah Cianjur. Kementerian PUPR masih mengkaji rencana tersebut," ungkap Triono.
Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat mengurai kemacetan yang telah terjadi sejak puluhan tahun silam di akses Puncak. Pembenahan infrastruktur tadi juga dapat memunculkan pemerataan pembangunan ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan legendaris favorit wisatawan domestik dan mancanegara tersebut.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari