Indonesia memiliki cadangan nikel nomor satu di dunia, jumlahnya kurang lebih 30 persen dari cadangan dunia. Dengan potensi itu, Indonesia memiliki peluang sangat besar menjadi produsen EV baterai dan lithium baterai untuk kendaraan listrik.
Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Chengdu, Tiongkok pada akhir Juli lalu. Selain bertemu dengan Presiden Xi Jinping, dalam kunjungan dua hari tersebut, Presiden juga menyediakan waktu bertemu dengan beberapa pimpinan perusahaan di Tiongkok. Tujuannya, tentu membahas peluang investasi di tanah air. Salah satu topik yang hangat adalah investasi mobil listrik di Indonesia.
Kepada para calon investor yang merupakan CEO perusahaan Tiongkok, di hari kedua, Presiden Jokowi mengatakan bahwa investasi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia adalah prioritas pemerintah. Pemerintah Indonesia ingin membangun ekosistem kendaraan listrik mulai dari bahan baku, baterai electric vehicles (EV), sampai kendaraan listrik.
“Prioritas yang ingin kami kerjakan untuk investasi sekarang ini adalah yang pertama di ekosistem kendaraan listrik, mulai bahan baku sampai EV baterai, sampai nanti di kendaraan listrik," jelas Presiden Jokowi.
Ekosistem Kendaraan Listrik
Merujuk kesepakatan negara-negara di dunia untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060, didorong agar sejumlah negara mencari jalan keluar. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan transisi dari penggunaan mobil konvensional ke mobil listrik. Ruang itulah yang dimanfaatkan Indonesia sebagai peluang untuk melakukan lompatan menjadi negara maju dan tidak terjebak pada negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Sejalan dengan itu, Pemerintah RI pun merancang strategi besar. Salah satunya adalah menciptakan ekosistem mobil listrik dan baterai kendaraan listrik (EV). Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan (https://kemenperin.go.id/artikel/22865/Siap-Masuki-Era-Kendaraan-Listrik,-Indonesia-Fokus-Bangun-Ekosistem).
Target besarnya, menjadikan negara lain akan bergantung ke Indonesia. Pemerintah RI mengikuti jejak Taiwan dan Korea Selatan yang berhasil membuat negara lain bergantung kepada produk mereka. Taiwan membuat produk chip dan Korea Selatan yang memproduksi komponen digital.
Keinginan itu bukan tanpa alasan, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun ekosistem kendaraan listrik, terutama produksi baterai untuk kendaraan listrik.
Indonesia memiliki cadangan nikel nomor satu di dunia dengan kisaran stok 21 miliar ton. Jumlah tersebut kurang lebih 30 persen dari cadangan dunia. Kemudian sumber daya timah Indonesia nomor dua di dunia, bauksit nomor enam di dunia, dan tembaga nomor tujuh di dunia.
Dengan sebagian besar sumber daya itu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi produsen EV baterai dan lithium baterai untuk kendaraan listrik melalui program hilirisasi. Lithium baterai adalah unsur penting bagi kendaraan listrik, yaitu 60% dari komponen mobil listrik kuncinya ada di baterai.
Jika ekosistem besar kendaraan listrik sudah terbentuk, negara-negara maju produsen otomotif diyakini akan melirik Indonesia. Sederet perusahaan manufaktur mobil listrik dari berbagai negara dikatakan tertarik untuk berinvestasi di Indonesia yang saat ini tengah membangun ekosistem baterai EV.
Menurut Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves) saat ini sudah ada beberapa perusahaan manufaktur EV internasional yang menunjukkan ketertarikannya untuk berinvestasi di Indonesia, di antaranya BYD Co Ltd., Wuling Motors, Hyundai, NETA Auto, Chery, dan Tesla.
Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia terbuka terhadap hal tersebut asalkan para investor turut menggandeng perusahaan swasta Indonesia maupun dengan badan usaha milik negara (BUMN). Dengan demikian, akan terjadi transfer teknologi.
Tantangan Pengembangan
Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menghadapi beberapa tantangan, seperti pajak hingga membuat harga mobil melambung. Lantaran hal ini minat masyarakat Indonesia untuk beralih ke mobil listrik masih sepi.
Terkait dengan pajak, mobil listrik yang statusnya impor completely built up (CBU) itu dikenakan berbagai instrumen pajak, di antaranya pajak impor barang (PIB), pajak pertambahan atas barang mewah (PPnBM), pajak penghasilan (PPn), dan pajak pertambahan nilai (PPN), serta tambahan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Pengenaan pajak ini membuat harga mobil listrik di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara lain. Harga satu unit mobil listrik di Indonesia mulai dari Rp200 jutaan sedangkan di Tiongkok, mobil listrik dijual mulai Rp60 jutaan.
Sejak April lalu pemerintah telah menyediakan insentif untuk 35.900 unit mobil listrik hingga akhir tahun ini. Namun, baru pembelian mobil listrik merek Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air EV yang mendapatkan insentif dari pemerintah. Lantaran ada persyaratan kendaraan listrik tersebut mesti diproduksi di dalam negeri serta memenuhi tingkat komponen dalam negeri [TKDN] yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dengan insentif ini masyarakat bisa mendapatkan potongan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 10%. Selain itu, pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal bagi konsumen dalam rangka mendorong industrialisasi, seperti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% (PP No 74/2021), pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 0% untuk KBLBB di Pemprov DKI Jakarta (Pergub 3/2020).
Selanjutnya, BBN-KB sebesar 10% mobil listrik dan 2,5% sepeda motor listrik di Pemprov Jawa Barat (Perda 9/2019), uang muka minimum sebesar 0% dan suku bunga rendah untuk kendaraan listrik (Peraturan BI 22/2020), diskon penyambungan dan penambahan daya listrik, dan sebagainya.
Sementara itu, bagi perusahaan industri BEV dapat memanfaatkan berbagai fasilitas seperti tax holiday atau mini tax holiday (UU 25/2007, PMK 130/2020, Per BKPM 7/2020), tax allowance (PP 18/2015 Jo PP 9/2016, Permenperin 1/2018), pembebasan bea masuk (PMK 188/2015), bea masuk ditanggung pemerintah, serta super tax deduction untuk kegiatan R&D (PP 45/2019, dan PMK 153/2020).
Selain soal pajak, pengembangan mobil listrik di Indonesia menghadapi tantangan lain, yaitu pergantian pemerintahan pada 2024. Tanpa UU yang dapat menjamin kepastian hukum, pengembangan ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia, yang telah dirintis Pemerintahan Presiden Jokowi sejak beberapa tahun lalu, dikhawatirkan akan terhenti.
Menjawab kekhawatiran tersebut, saat ini sudah ada berbagai aturan yang digunakan sebagai dasar hukum program-program terkait KBLBB yakni Peraturan Pemerintah (PP) nomor 74/2021 tentang Perubahan atas PP nomor 73/2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Lalu Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan serta Instruksi Presiden (Inpres) No 7/2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kemudian juga UU 3/2014 tentang Perindustrian dan UU 3/2020 tentang Perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang bisa digunakan sebagai payung hukum.
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari