Penghiliran industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, serta pengembangan cokelat artisan.
Indonesia saat ini merupakan negara pengolah kakao ketiga terbesar di dunia. Berbagai produk kakao olahan dihasilkan seperti cocoa pasta/liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder. Sebagian produk tersebut diolah lebih lanjut di dalam negeri (sekitar 20%), dan selebihnya diekspor ke lebih dari 96 negara di lima benua.
“Ekspor produk intermediate tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok rantai global dengan kontribusi sekitar 9,17% dari kebutuhan dunia,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, akhir Agustus lalu.
Putu menjelaskan, peningkatan nilai ekspor kakao olahan didukung oleh sejumlah investasi perusahaan multinasional. “Hal ini merupakan dampak dari kebijakan bea keluar terhadap ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 67 tahun 2010,” terangnya.
Menurutnya, dari investasi tersebut, semula kapasitas terpasang industri pengolahan kakao sebesar 560.000 ton per tahun, naik menjadi 739.250 ton per tahun. Selain itu, ekspor biji kakao pada 2013 sebesar 188.420 ton (senilai USD446 juta), turun menjadi 24.603 ton (senilai USD64 juta) pada 2022.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari 196.333 ton (senilai USD654 juta) pada 2013 menjadi 327.091 ton (senilai USD1,1 miliar) pada 2022. Bahkan sejak 2015, ekspor kakao olahan Indonesia selalu di atas USD1 miliar.
Indonesia memang sudah menjadi pemain global kakao olahan. Posisinya, ekspor cocoa butter dari Indonesia berada di peringkat kedua dunia, setelah Belanda. Putu menyampaikan, lima tahun lalu komposisi ekspor kakao olahan antara (intermediate product) sebesar 85%, dan 15% diproses lebih lanjut di dalam negeri menjadi produk akhir (finished good) berupa makanan dan minuman berbasis cokelat.
Saat ini, komposisi produksi olahan cokelat di dalam negeri telah meningkat menjadi 20%. Artinya, produk kakao olahan di dalam negeri mengalami penguatan atau terjadi hilirisasi lebih lanjut.
Nilai Tambah Tertinggi
Produk cokelat sebagian besar masih diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Konsumsi cokelat per kapita di dalam negeri meningkat dari 0,37 kg per kapita pada 2018 menjadi 0,49 kg per kapita di 2022. Ekspor produk cokelat juga mengalami peningkatan dari USD45 juta pada 2018 menjadi USD77 juta di 2022 atau naik rata-rata 14,65% per tahun.
“Salah satu produk cokelat yang berkembang adalah cokelat artisan bean to bar atau yang sering juga dikenal sebagai craft chocolate,” ujar Putu.
Saat ini, terdapat 31 perusahaan atau produsen cokelat artisan dengan kapasitas 1.242 ton per tahun. Cokelat artisan biasanya diproses dari biji yang berasal dari daerah tertentu (single origin), misalnya craft bean to bar dari Ransiki (Papua), Berau (Kalimantan Timur), atau Jembrana (Bali) dan lain-lain. Produk cokelat artisan bean to bar memiliki nilai tambah yang paling tinggi. Sebagai gambaran, produk artisan bean to bar memiliki nilai tambah berkisar 700% hingga 1.500%, sedangkan produk cokelat lainnya berkisar 100% hingga 300%.
Indonesia memiliki peluang untuk pengembangan cokelat artisan, karena didukung sekitar 600 profil aroma yang dapat digunakan sebagai modal dasar inovasi dan variasi produk cokelat artisan. Karena nilai tambahnya yang tinggi, produsen cokelat artisan ini mampu membeli biji kakao dengan harga yang lebih bersaing, sekitar Rp50.000 per kg hingga Rp70.000 per kg, di mana harga biji kakao pada umumnya sekitar Rp30.000 per kg.
Produsen cokelat artisan membutuhkan biji kakao yang telah difermentasi dengan kualitas premium, sedangkan produsen kakao olahan lainnya masih dapat mengolah biji kakao asalan.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaksi: Elvira Inda Sari