Sektor energi berkontribusi sebesar 91,5 juta ton CO2 terhadap penurunan emisi karbon.
Ancaman masalah iklim di dunia sudah tidak terelakkan. Kejadian belum lama berupa kenaikan suhu akibat terjadinya pemanasan global telah memiliki dampak nyata bagi semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Kenaikan suhu dapat menyebabkan banyak masalah serius, salah satunya adalah peningkatan tingkat air laut, yang mengancam pulau-pulau kecil di Indonesia. Bahkan, ada pulau di sejumlah negara pulau di Pasifik peningkatan tingkat air laut.
Dalam konteks itu, Indonesia pun memiliki perhatian yang serius berkaitan dengan isu pemanasan global. Bahkan, negara ini juga tetap berkomitmen terhadap UNFCCC (United Nations Climate Change Conference).
Bunyi komitmen soal perubahan iklim, Indonesia sudah menetapkan untuk meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (nationally determined contribution/NDC) pada 2030.
Sejumlah penetapan target berupa penurunan emisi dari tadinya 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43 persen dengan bantuan internasional. Bahkan, komitmen pun sudah jadi bagian Program Indonesia Emas 2045.
Komitmen untuk peduli terhadap isu pemanasan global boleh saja diucapkan. Namun, wujud nyata dari komitmen adalah dalam bukti nyata dalam aksi.
Laporan dari Kementerian ESDM yang menyampaikan bahwa sepanjang 2022 Indonesia berhasil menurunkan 118 juta ton emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca (GRK) merupakan bukti nyata dari komitmen Indonesia tersebut.
Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan bahwa capaian tersebut melebihi target yang dicanangkan dalam penurunan emisi pada 2023, yakni sebesar 116 juta ton CO2.
Seperti diketahui pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sesuai kesepakatan global yang tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) untuk mengurangi sebesar 32 persen atau 358 juta ton CO2 dengan usaha sendiri, dan sebesar 41 persen atau sebanyak 446 juta ton CO2 dengan bantuan dunia internasional pada 2030.
“Jadi kita sekarang sudah bonus sekitar 2 juta ton CO2. Kalau bisa, ke depan bonus ini kita ingin kita bisa perdagangkan di pasar karbon. Karena we do better than our target. Sejalan dengan komitmen dan ambisi besar Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers, Minggu (15/10/2023).
Sebagai informasi berkaitan dengan pasar karbon, Indonesia kini telah resmi memiliki bursa karbon. Berdirinya institusi perdagangan karbon itu terealisasi setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan izin usaha penyelenggara Bursa Karbon kepada PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin (18/9/2023).
Berdirinya lembaga perdagangan karbon dengan nama bursa karbon Indonesia ini menasbihkan negara ini sebagai salah satu pionir yang memiliki komitmen mengurangi emisi rumah kaca. Dalam konteks perdagangan karbon, beberapa negara dunia telah memulainya. Uni Eropa misalnya, beberapa negara anggotanya telah menginisiasinya, seperti Swiss (2008). Demikian pula Australia (2016), Kanada (2019), serta Tiongkok dan Meksiko (2021)
Khusus soal izin usaha Bursa Karbon ke BEI, izin itu dikeluarkan oleh Surat Keputusan OJK nomor KEP-77/D.04/2023 tertanggal 18 September 2023. Pemberian izin usaha ke BEI tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkannya Keputusan OJK. Adapun pemberian izin usaha kepada BEI sebagai Penyelenggara Bursa Karbon didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
Khusus kinerja penurunan emisi selama periode 2022, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menambahkan, sektor energi berkontribusi sebesar 91,5 juta ton CO2.
Menurut Yudo, kontribusi sebesar itu dilakukan dengan usaha yang telah dilakukan melalui aksi efisiensi energi, pemanfaatan energi baru dan terbarukan, penggunaan bahan bakar rendah karbon, serta penggunaan teknologi pembangkit yang lebih bersih.
Adapun, realisasi penurunan emisi GRK sektor energi, dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan, yaitu pada 2019 realisasi penurunan emisi 54,8 juta ton CO2 dari target 51 juta ton CO2.
Selanjutnya pada 2020, dari target 58 juta ton CO2, realisasi 64,4 juta ton CO2. Kemudian pada 2021, target 67 juta ton CO2 sementara realisasi 70 juta ton CO2. Terakhir, pada 2022, target penurunan emisi sebesar 91 juta ton CO2 dengan realisasi 91,5 juta ton CO2.
Lebih lanjut, Yudo menyebutkan bahwa sejalan dengan komitmen dan ambisi dalam menurunkan GRK, Indonesia juga menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Untuk mencapai hal tersebut, Yudo menyebut bahwa perlu dukungan dari komunitas global dalam dua hal. Pertama ialah pendanaan, karena untuk melakukan transisi energi sangat memerlukan pendanaan yang sangat besar.
“Selanjutnya adalah teknologi, kita membutuhkan teknologi yang baru, yang lebih efisien, lebih produktif, karena kita juga masih negara berkembang, sehingga diperlukan teknologi yang affordable juga,” ujarnya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari