Indonesia.go.id - Sinergi Teknologi dan Kearifan Lokal dalam Mitigasi Krisis Air

Sinergi Teknologi dan Kearifan Lokal dalam Mitigasi Krisis Air

  • Administrator
  • Minggu, 22 Oktober 2023 | 08:38 WIB
WORLD WATER FORUM
  Warga membawa galon berisi air saat penyaluran air bersih oleh BPBD untuk warga yang terdampak bencana kekeringan di Desa Kalirejo, Undaan, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (5/9/2023). ANTARA FOTO
Kombinasi penggunaan teknologi serta kearifan lokal telah disepakati untuk dijadikan sebagai formula paling pas dalam mengatasi krisis air imbas perubahan iklim.

Berdasarkan data dari World Meteorogical Organization (WMO), 60% kerugian bencana di negara maju akibat perubahan iklim, kejadian cuaca ekstrem, dan krisis air hanya menyebabkan dampak kerugian pada 0,1% dari produk domestik bruto (PDB).

Jauh berbeda dibandingkan dengan negara berkembang, di mana 7% dari bencana dapat menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB mereka, bahkan hingga 30%. Terlebih bila dibandingkan dengan negara kepulauan kecil, di mana 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 50% dari PDB, dan beberapa melebihi 100%.

Masih dari data WMO, kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terus berkembang pesat. Selama periode 2010–2019, kerugiannya mencapai USD1.476,2 miliar. Ini bertumbuh signifikan dibandingkan dengan dekade 2000–2009 yang tercatat sebesar USD997,9 miliar.

Sedangkan, selama dekade 1990–1999, kerugian yang dihasilkan berkisar USD906,4 miliar dan dekade 1980–1989 hanya sebesar USD305,5 miliar. “Ini menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara kecil, berkembang, dan negara kepulauan dalam menghadapi krisis air dan kebencanaan, padahal mereka yang paling terdampak,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, saat menyampaikan data tersebut dalam dialog Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim", di Jakarta, Senin (16/10/2023).

Menyikapi hal itu, menurut Kepala BMKG, Indonesia sebagai negara berkembang dan kepulauan, termasuk yang mengalami ancaman kekeringan yang lebih panjang dan kuat dari tahun-tahun sebelumnya.

Hal itu dipicu oleh fenomena El Nino moderat yang terjadi sejak Juli 2023. Berdasarkan data BMKG, kekeringan yang terjadi saat ini telah menyebabkan penurunan debit air di beberapa sungai dan waduk di Indonesia. Dampaknya adalah berkurangnya pasokan air untuk pertanian, industri, dan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Situasi ini merupakan peringatan bagi Indonesia untuk segera mengambil langkah mitigasi krisis air.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memprediksi puncak fenomena iklim El Nino yang akan memicu cuaca panas ekstrem di Indonesia pada Agustus-Oktober 2023 dan akan berlanjut hingga awal 2024.

Adapun sejumlah daerah yang akan terdampak cukup parah akibat adanya El Nino, di antaranya Sumatra bagian tengah hingga selatan, Riau bagian selatan, Jambi, Lampung, Banten, hingga Jawa Barat. Upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akibat kekeringan juga telah diantisipasi.

Menurut Dwikorita, sejauh ini pemerintah telah melakukan mitigasi sejak dini untuk mengantisipasi dampak kekeringan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menyiapkan waduk, embung, dan pengeboran sumur air dalam. Meskipun upaya mitigasi telah dilakukan, ancaman kekeringan tetap perlu diwaspadai. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dari berbagai pihak untuk mengatasi krisis air, baik pemerintah, swasta, masyarakat, hingga organisasi internasional.

Maka dari itu, dalam World Water Forum ke-10 di Bali tahun depan, Kepala BMKG berharap, Indonesia dapat berperan sebagai jembatan antara negara-negara maju dan berkembang dalam upaya mitigasi krisis air. Indonesia juga dapat berbagi kearifan lokal yang telah terbukti efektif dalam mengelola sumber daya air.

Dwikorita mengatakan, kombinasi dari penggunaan teknologi serta kearifan lokal telah disepakati bersama menjadi formula yang paling pas untuk mengatasi krisis air imbas dari perubahan iklim. Terlebih, banyak negara di dunia mengalami kesenjangan kapasitas dan ketangguhan dalam menghadapi dampak perubahan iklim, terutama dalam hal yang berkaitan dengan teknologi.

Sebagai contoh, BMKG dapat mendeteksi dan memberikan informasi terkait anomali iklim. Pihaknya memprediksikan El Nino akan melanda Indonesia pada 2023 dan 2024, sehingga pemerintah dapat mengeksekusi langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi potensi dari kekeringan panjang sebagai dampak El Nino.

“KLHK dan BRIN melakukan teknologi modifikasi cuaca utk mengarahkan awan hujan di calon lokasi yang kering. Kemudian awan-awan hujan disiapkan untuk mengisi embung-embung, dan lainnya. Jadi karena informasi awal tadi, kita bisa lebih siap,” jelas Kepala BMKG.

Strategi serupa juga sudah diimplementasikan pada 2020, 2021, dan 2022, ketika Indonesia dilanda fenomena La Nina yang merupakan kebalikan dari El Nino sehingga mengakibatkan musim hujan berkepanjangan. Wakil Ketua Sekretariat Panitia Nasional World Water Forum Ke-10 yang juga Juru Bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Endra S Atmawidjaja di forum yang sama mengatakan, Indonesia siap untuk mengambil peran penting dalam mengatasi krisis air global dalam acara World Water Forum ke-10.

“Presiden Joko Widodo juga telah ditunjuk oleh World Water Council sebagai Water Messenger. Beliau akan menjadi penyampai pesan global untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya air,” jelasnya.

Indonesia telah berkomitmen untuk memenuhi target sustainable development goals (SDGs) poin enam, yaitu akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak. Mengingat pada 2023, Indonesia telah mencapai 90 persen akses terhadap air minum, dan 80 persen akses terhadap sanitasi layak.

Sementara itu, Director of Asia Pacific & 10th World Water Forum Yoon-Jin Kim menyebut bahwa Indonesia dipilih sebagai tuan rumah World Water Forum ke-10 karena memiliki pengalaman dalam mengatasi krisis air. “Indonesia memiliki area yang luas, dan di Bali khususnya, air menjadi pusat budaya dan pengembangan di berbagai aspek,” kata dia.

Kim berharap, forum ini dapat menjadi platform untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang krisis air dan mendorong kerja sama internasional untuk mengatasi masalah ini. Pihak Asia Pacific & 10th World Water Forum juga menyoroti pentingnya ketahanan pangan dalam mengatasi krisis air. Menurutnya, krisis air dapat berdampak pada produksi pangan, sehingga dapat menyebabkan kelaparan dan kerawanan pangan.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari