Indonesia.go.id - Mengejar Angka Ideal Konsumsi Daging

Mengejar Angka Ideal Konsumsi Daging

  • Administrator
  • Selasa, 30 Januari 2024 | 09:30 WIB
INDUSTRI
  Pertumbuhan angka konsumsi daging sapi dan unggas di tahun 2023, mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 8,20% dan 12,03% jika dibandingkan dari tahun 2019. ANTARA FOTO
Angka konsumsi daging masih rendah. Peluang industri pengolahan daging pun masih terbuka lebar. Di tanah air total baru 64 perusahaan, dengan tenaga kerja 25.839 orang.

Urusan konsumsi daging, warga Indonesia terhitung jauh dari ideal. Bahkan jauh dari kata batas wajar yang disarankan ahli kesehatan. Sebagaimana laporan di laman World Cancer Research Fund, aturan makan daging dalam sehari usahakan tak lebih dari 50--70 gram atau 350--500 gram per minggu. 

Adapun rata-rata konsumsi daging (sapi/kerbau) di tanah air, merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sebesar 0,009 kilogram (kg) per kapita per minggu selama periode 2017--2021 atau hanya berkisar 9 gram. Bahkan angkanya lebih rendah lagi untuk wilayah Indonesia Timur (data bps.go.id). Per pekan, angka konsumsi daging di kawasan Indonesia Timur masih ada di angka kurang dari 100 gram.

Dibanding negara tetangga Malaysia, Indonesia juga masih tertinggal. Merujuk data OECD FAO, kini konsumsi daging sapi nasional sebesar 2,25 kilogram/kapita/tahun, sedangkan konsumsi daging ayam sebesar 8,37 kilogram/kapita/tahun. Sementara itu, angka konsumsi daging sapi di Malaysia mencapai 5,72 kg/kapita/tahun dan daging ayam sebesar 50,48 kg/kapita/tahun.

Mencermati data tersebut dapat disimpulkan bahwa memang angka konsumsi daging sapi dan ayam di kedua negara itu masih di bawah rata-rata dunia. Rendahnya tingkat konsumsi daging itu membuka lebar peluang usaha di sektor tersebut. Oleh karena itulah, Pemerintah RI melalui Kementerian Perindustrian mendorong peningkatan potensi industri pengolahan daging, salah satunya melalui penyusunan kebijakan-kebijakan yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan menjaga keberlangsungan industri ini.

Peningkatan permintaan masyarakat terhadap produk pangan olahan serta masih rendahnya konsumsi daging nasional merupakan peluang bagi industri pengolahan daging untuk mengembangkan pasar produk daging olahan di dalam negeri. “Hal ini juga beriringan dengan program pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani nasional dalam rangka menekan angka stunting dan gizi buruk,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di acara Musyawah Nasional National Meat Processors Association-Indonesia (NAMPA) di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Meski demikian, berdasarkan data perusahaan pemasaran intelijen yang berbasis di London, Mintel, pertumbuhan industri pengolahan daging di Indonesia tergolong sangat cepat, bahkan paling cepat secara global. Industri pengolahan daging saat ini berjumlah 64 perusahaan dengan nilai investasi Rp3,45 triliun dan tenaga kerja sebanyak 25.839 orang.

Potensi Ekspor

Kinerja ekspor produk olahan daging (HS 1601 dan 1602) di 2023 mengalami peningkatan signifikan, mencapai 80% bila dibandingkan tahun 2019. Nilai ekspor di 2023 mencapai USD3,5 juta, meningkat dari capaian pada 2019 sebesar USD2,8 juta. “Nilai ekspor tersebut memang masih kecil bila dibandingkan negara produsen olahan daging utama di dunia. Tapi, data menunjukkan bahwa potensi ekspor produk olahan daging cukup tinggi dan mengalami pertumbuhan yang signifikan,” papar Putu.

Dirjen IA menambahkan, kinerja industri pengolahan daging salah satunya dipengaruhi oleh perubahan pola hidup sebagian masyarakat perkotaan yang dituntut lebih cepat dan instan. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi makanan olahan termasuk produk olahan daging.

“Pertumbuhan angka konsumsi daging sapi dan unggas di 2023, mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 8,20% dan 12,03% jika dibandingkan pada 2019. Pertumbuhan konsumsi daging sapi di Indonesia di negara ASEAN berada pada posisi ketiga setelah Vietnam dan Malaysia. Sedangkan untuk pertumbuhan daging unggas, Indonesia berada pada posisi ketiga setelah Vietnam dan Filipina,” jelasnya.

Industri pengolahan daging merupakan salah satu industri yang dapat bertahan menghadapi tantangan global dan tetap mengalami pertumbuhan yang positif. Menurut Putu, tantangan ke depan akan semakin dinamis. “Perubahan yang cepat menuntut industri untuk terus berinovasi dan beradaptasi, agar tidak hanya bisa eksis namun juga berkembang menjadi lebih baik sesuai tuntutan jaman,” ujarnya.

 Ke depan, industri makanan minuman termasuk pengolahan daging akan dihadapkan pada tantangan dunia yang semakin kompleks, seperti kondisi geopolitik karena perang antara Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina yang belum kunjung usai, penurunan pasokan pangan dan energi di pasar global, inflasi tinggi di beberapa negara maju, peningkatan tingkat bunga, hingga penurunan nilai tukar rupiah. “Namun demikian, saya yakin kita dapat membalik tantangan-tantangan ini menjadi peluang,” harap Dirjen IA.

Strategi Baru

Berbagai peluang inovasi yang bisa dioptimalkan terdapat di setiap rangkaian proses bisnis industri pengolahan daging, seperti optimalisasi layout dan alur proses produksi yang lebih efektif dan efisien, pengembangan dan pemanfaatan teknologi digital untuk merancang ulang proses tradisional, manajemen persediaan stok di gudang, digitalisasi sistem monitoring energi, sistem operasi permesinan, dan lain sebagainya.

Dalam rangka menghadapi semakin cepatnya perkembangan teknologi dari tradisional menuju digitalisasi industri 4.0, diperlukan langkah-langkah strategi adaptif agar industri dapat bertahan serta berkembang lebih baik dan lebih cepat. “Industri perlu beradaptasi sesuai dengan lima pilar industri 4.0, yaitu pilar manajemen dan organisasi, SDM dan budaya kerja, teknologi, produk dan layanan, serta sistem operasi di pabrik,” ungkap Putu.

Para pelaku usaha diharapkan dapat melakukan inventarisasi masalah-masalah yang dihadapi industri pengolahan daging beserta masukan solusi terkait masalah tersebut. Diskusi untuk mencari solusi yang inovatif dan kolaboratif juga diperlukan dalam hal ini.

Kemenperin telah menyusun sejumlah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan daging nasional, antara lain penyusunan neraca komoditas daging lembu, pembebasan bea masuk mesin untuk pengembangan industri, insentif fiskal seperti super deduction tax untuk penelitian dan pengembangan serta vokasi, serta insentif pajak dalam rangka pemulilhan ekonomi. Selain itu, memberikan bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk industri terdampak Covid-19, dan menyusun kebijakan tarif melalui instrumen perdagangan dalam skema free trade agreement (FTA).

Selain itu, Kemenperin juga mendorong dan memfasilitasi sertifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk peningkatan konsumsi produk dalam negeri melalui belanja pemerintah, serta memberikan instentif nonfiskal seperti penyusunan SNI produk olahan daging, bimbingan teknis, penerapan industri 4.0, peningkatan kompetensi SDM melalui pelatihan, fasilitasi sertifikasi halal, serta akselerasi dan promosi untuk perluasan pasar dan jaringan bisnis.

“Kemenperin mengundang para stakeholder industri pengolahan daging nasional untuk terus mengembangkan industri ini, mengingat masih besarnya potensi pasar di Indonesia dan global serta memperkuat eksistensi dan daya saing industri pengolahan daging nasional dalam menghadapi persaingan global,” pungkas Putu.

 

Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari