Indonesia.go.id - Mengembalikan Kejayaan Rotan Indonesia

Mengembalikan Kejayaan Rotan Indonesia

  • Administrator
  • Jumat, 9 Februari 2024 | 07:18 WIB
FURNITUR
  Dua perajin menyelesaikan pembuatan produk kerajinan berbahan rotan di salah satu UMKM rotan, di Kabupaten Aceh Besar, Aceh. ANTARA FOTO/ Ampelsa
Rotan dari Indonesia mendominasi 80 persen pasokan pasar global. Nilai ekspor produk furnitur Indonesia pada 2022 mencapai USD2,5 miliar. Lima strategi pun digelar demi mendongkrak kinerja industri furnitur.

Selain produk furnitur dari kayu, ternyata produk furnitur dari rotan juga merupakan salah satu produk potensial yang diminati di pasar Kanada. Data statistik Kanada menunjukkan, pada 2021 nilai impor Kanada secara global untuk produk furnitur rotan sebesar CA$35,6 juta, dengan pertumbuhan sebesar 48.2% dibandingkan impor 2020, yang hanya sebesar CA$18,44 juta.

Yang tak kalah menarik, laporan KJRI Vancouver, Kanada, menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai eksportir produk furnitur rotan ke Kanada pada 2021 dengan nilai ekspor sebesar CA$624 ribu. Selain itu, di tahun yang sama, nilai ekspor Indonesia ke Provinsi British Columbia mencapai sebesar CA$108,57 ribu, sedangkan ke Provinsi Alberta baru sebesar CA$11,5 ribu. Di lain sisi, hingga saat ini belum tercatat ekspor produk furnitur rotan ke Yukon dan Northwest Territories dari negara mana pun.

Total nilai impor Kanada secara global untuk produk furnitur rotan mencapai sebesar CA$35,6 juta. Melihat fakta semacam itu, Kemenlu menyimpulkan, potensi ekspor produk olahan berbahan baku rotan asal Indonesia bisa berkembang lebih besar. Pesaing terdekatnya adalah furnitur rotan asal Asia Tenggara lainnya, yakni dari Vietnam dan Filipina.

Potensi Rotan

Potensi besar industri furnitur dan mebel berbahan baku rotan Indonesia masuk dalam radar pengembangan Kementerian Perindustrian, beriringan dengan furnitur berbahan baku lain. Hal itu didukung ketersediaan bahan baku yang melimpah, di antaranya, beragam jenis kayu yang meliputi kayu meranti, jati, mahoni, dan akasia.

Pemerintah berupaya melakukan hilirisasi atau peningkatan nilai tambah sumber daya alam tersebut terus dipacu untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Terlebih untuk rotan, di mana Indonesia merupakan sumber dari 80 persen rotan dunia. “Indonesia juga memiliki potensi bambu yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan produk-produk hilirnya. Apalagi, nilai ekspor produk furnitur kita pada 2022 mencapai USD2,5 miliar,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika di Jakarta, Selasa (23/1/2024).

Namun, angka ekspor produk mebel di 2023 mengalami penurunan. Merujuk data Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), ekspor mebel per september 2023 hanya mencapai USD1,29 miliar, turun dari 2021 yang tercatat USD1,86 miliar atau turun 30 persen YoY. Sementara itu, untuk kerajinan 2023 tercatat USD513 juta atau menurun 21 persen dari tahun lalu yang mencapai USD647 juta.

Meski melandai, Indonesia tetap di posisi atas, terutama untuk mebel berbahan baku rotan. Ini karena alam Indonesia yang sangat cocok bagi tumbuhnya tanaman sejenis tanaman palem yang merambat ini. Rotan di hutan Indonesia, bisa tumbuh dengan panjang mencapai 100 meter lebih. Di alam Indonesia, terdapat 8 marga rotan, dengan kurang lebih 306 jenis yang 51 jenis di antaranya telah dimanfaatkan.

Beberapa daerah penghasil rotan di Indonesia berada di Pulau Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Sejauh ini rotan memiliki nilai jual tinggi terutama untuk kegiatan ekspor. Dengan potensi yang ada, Indonesia mampu menyediakan sekitar 80 persen kebutuhan rotan dunia.

Dalam buku Rotan Kekayaan Belantara Indonesia karya Profesor Dr Ir Djamal Sanusi, Indonesia dikenal sebagai penghasil rotan terbesar di dunia. Demi mendapatkan nilai tambah lebih, pemerintah melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi.

 

Lima Kebijakan Strategis

Terkait pengembangan industri furnitur, Dirjen Industri Agro Putu menyebutkan, saat ini pihaknya fokus menjalankan lima kebijakan strategis dalam upaya pengembangan industri furnitur yang bisa berdaya saing global. Kelima jurus tersebut, yakni fasilitasi ketersediaan bahan baku, fasilitasi ketersediaan SDM terampil, fasilitasi peningkatan pasar dan penguatan riset referensi pasar, fasilitasi peningkatan produktivitas, kapasitas, dan kualitas produk, serta fasilitasi iklim usaha kondusif dan peningkatan investasi.

“Untuk fasilitasi ketersediaan bahan baku, dilakukan melalui upaya perbaikan yang berfokus pada penyediaan akses yang lebih baik sehingga tercapai pola rantai pasok bahan baku furnitur ideal melalui fasilitasi Pusat Logistik Bahan Baku Industri Furnitur, di mana untuk bahan baku papan kayu difasilitasi mulai 2022, sedangkan pada 2024 akan difasilitasi untuk bahan baku rotan,” paparnya.

Berikutnya, fasilitasi ketersediaan SDM kompeten akan dilakukan melalui optimalisasi peran Politeknik Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kendal. Unit pendidikan vokasi milik Kemenperin ini telah menerapkan kurikulum yang bersifat dinamis, dengan disesuaikan kebutuhan pasar.

Dalam upaya fasilitasi peningkatan pasar dan penguatan riset referensi pasar, Kemenperin kerap memfasilitasi keikutsertaan pelaku industri furnitur dalam pameran tingkat nasional maupun internasional. “Pemerintah juga gencar menggalakkan belanja APBN melalui pemanfaatan produk ber-TKDN, di mana hal ini juga dapat menjadi kesempatan pelaku industri furnitur dalam meningkatkan pasar dalam negeri,” tutur Putu.

Sementara itu, salah satu upaya fasilitasi peningkatan produktivitas, kapasitas, dan kualitas produk dilakukan di lini teknologi melalui program restrukturisasi mesin/peralatan industri pengolahan kayu, berupa pemberian reimburse penggantian sebagian pembelian mesin/peralatan sesuai kriteria. Program itu bertujuan untuk mendukung pembaruan teknologi mesin/peralatan dalam meningkatkan produktivitas.

“Selain itu, Kemenperin juga melaksanakan program pengembangan konsep desain furnitur, di mana bentuknya adalah workshop kolaborasi antara desainer furnitur dengan pelaku industri. Kemudian peningkatan kualitas produk juga didukung dengan penerapan SNI dan SKKNI,” imbuhnya.

Selain kebijakan-kebijakan tersebut, menurut Putu, pemerintah juga terus berusaha untuk menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi pelaku industri furnitur, antara lain, melalui pemberian fasilitas insentif perpajakan berupa tax allowance, serta kemudahan prosedur ekspor dan impor. “Di samping terus meningkatkan pasar ekspor baik ke pasar tradisional maupun nontradisional, pelaku industri furnitur juga diharapkan agar tidak meninggalkan pasar dalam negeri. Dengan inovasi-inovasi produksi yang lebih efisien maka konsumen dalam negeri juga akan dapat menikmati produk furnitur berkualitas karya anak bangsa,” ujarnya.

Kemudian, seiring semakin tingginya environmental awareness dari konsumen furnitur, diharapkan dapat memacu pelaku industri untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam produksi. “Saat ini pelaku industri furnitur kita agar bisa lebih efisien, memanfaatkan sumber dari bahan baku lestari, lebih ramah lingkungan, ikut menerapkan circular economy, serta berperan dalam penurunan emisi gas rumah kaca, namun tetap dapat menghasilkan produk berbasis eco-design,” pungkas Putu.

 

Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari