Indonesia menempatkan personel Civil Military Cooperation in Air Traffic Management (CMAC) di Singapore Air Traffic Control Center (SATCC).
Jumat, 22 Maret 2024 pukul 03.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) menjadi momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Ini terjadi tatkala pengelolaan dan pelayanan ruang udara dengan segala informasi penerbangan (Flight Information Region/FIR) di atas Provinsi Kepulauan Riau untuk pertama kalinya dilakukan secara mandiri oleh Pemerintah Indonesia.
Pengumuman itu disampaikan langsung Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Jakarta, Minggu (24/3/2024). Hal tersebut berlaku setelah menyelesaikan perjanjian pengaturan ulang ruang udara atau re-alignment FIR dengan Pemerintah Singapura.
Dengan begitu, kini Indonesia dapat mengatur sendiri ruang udara di atas dua kepulauan tersebut. Dia menyebut, perjanjian ini telah menambah luasan FIR Jakarta sebesar 249.575 kilometer persegi (km2). Ini menyebabkan luas FIR Jakarta bertambah menjadi 2.842.725 km2. Artinya, terdapat penambahan sebesar 9,5 persen dari luas semula.
“Kini pesawat yang terbang di wilayah pengaturan ulang FIR ini akan mendapatkan layanan navigasi penerbangan dari Indonesia,” ujar Budi seperti dikutip Antara.
Sebelumnya, untuk penerbangan domestik seperti dari Jakarta ke Natuna harus kontak navigasi penerbangan Singapura, ketika memasuki Kepulauan Riau. Sedangkan pada penerbangan internasional, semisal dari Hong Kong ke Jakarta, saat melintas di atas Natuna, harus kontak navigasi penerbangan Singapura terlebih dahulu, baru selanjutnya dilayani Indonesia. “Setelah dilakukan pengaturan ulang FIR, kedua pesawat tadi akan langsung dilayani oleh AirNav Indonesia, tidak perlu lagi kepada Singapura,” tutur Budi.
Minim Infrastruktur
Awalnya Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), selaku otoritas tertinggi pengendali jalur transportasi udara global, menyatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara yang baru setahun merdeka saat itu dinilai belum mampu mengatur lalu lintas udara pada wilayah yang disebut sebagai sebagai sektor A, B, dan C.
Saat itu, ICAO memandang Indonesia baru mulai membangun sistem penerbangan nasional dan masih minim infrastruktur pengelolaan lalu lintas udara. Oleh sebab itu, ICAO memutuskan jika FIR tersebut diserahkan pengelolaannya kepada Singapura.
Alhasil, sejak 1946, sebagian ruang udara wilayah barat Indonesia meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna pengelolaan FIR dikelola Singapura.
Peraturan Menteri Perhubungan nomor 55 tahun 2016 tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Internasional, Pelayanan Ruang Udara menjelaskan perihal FIR. Menurut beleid tersebut FIR diartikan sebagai suatu daerah dengan dimensi tertentu di mana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service) diberikan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui akun media sosialnya di Instagram menjelaskan bahwa pengelolaan FIR oleh Indonesia di atas Kepri dan Natuna telah disepakati oleh ICAO pada 15 Desember 2023. Menurutnya, sebelum diserahkan kepada Indonesia, pada 23 Maret 2024, maka Singapura mengatur lalu lintas FIR sejak ketinggian 0 hingga 37.000 kaki. “Sehingga pengelolaan ruang udara Indonesia yang aman, efektif, sesuai kepentingan nasional dan memenuhi standar pelayanan jasa penerbangan sipil internasional dapat tercapai,” ujar Luhut.
Pengalihan operasional pelayanan navigasi penerbangan dilakukan usai Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian pengaturan ruang udara di kedua wilayah tersebut di Bintan pada 25 Januari 2022. Saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menjadi saksi penandatanganan persetujuan FIR antara Indonesia dan Singapura yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan RI dan Menteri Transportasi Singapura S Iswaran.
Momentum itu, menandai berakhirnya peran Singapura sejak 78 tahun silam, sebagai pemegang hak FIR. Usai kegiatan di Bintan itu, Jokowi meratifikasinya lewat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 109 tahun 2022 tentang Penyesuaian Batas antara Flight Information Region Jakarta dan Flight Information Region Singapura.
Potensi Pendapatan
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Maria Kristi Endah Murni menyebut pengalihan operasional pelayanan navigasi penerbangan secara berdaulat akan memberi banyak dampak positif bagi Indonesia. Setiap penerbangan yang melintasi Kepulauan Riau dan Natuna tidak perlu lagi mengajukan diplomatic clearance, security clearance, dan flight approval (FA) dari otoritas Singapura.
Indonesia akan mulai menikmati peningkatan pendapatan negara yang bersumber dari biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan yang diberlakukan pada daerah tambahan FIR Jakarta tersebut. “Ini merupakan bagian dari kesepakatan perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura. Harapannya industri penerbangan nasional dapat tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu,” kata Kristi.
Dia menuturkan Pungutan Layanan Navigasi Rute Udara atau Route Air Navigation Services (RANS) Charges pada area ruang udara Sektor A dan B, mulai dari ketinggian 0 sampai dengan 37.000 kaki dilakukan mulai 21 Maret 2024. Ini sesuai kesepakatan antara Indonesia dan Singapura. Area ruang udara di luar sektor tersebut, yang terdampak penyesuaian FIR Jakarta-Singapura, pemungutannya dilakukan oleh Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) sesuai ketentuan yang berlaku. Terdapat potensi penerimaan nasional bukan pajak (PNNP) yang diprediksi sebanyak Rp320 miliar tiap tahun dari FIR dikendalikan oleh Indonesia.
Sejalan dengan itu, tambah Kristi, Indonesia juga menempatkan personel Civil Military Cooperation in Air Traffic Management (CMAC) di Singapore Air Traffic Control Center (SATCC). Para personel tersebut telah mendapatkan pembekalan teknis peralatan di Makassar Air Traffic Control Center, simulasi SOP secara langsung di SATCC, dan pelatihan sistem pertahanan udara nasional di Wingdik 700 Surabaya. Mereka akan berjaga selama 24 jam penuh untuk memantau pesawat-pesawat dari Indonesia ke Singapura dan sebaliknya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari