Indonesia.go.id - Saatnya Perempuan Menjadi Subjek Pengendalian Perubahan Iklim

Saatnya Perempuan Menjadi Subjek Pengendalian Perubahan Iklim

  • Administrator
  • Selasa, 9 April 2024 | 07:04 WIB
PERUBAHAN IKLIM
  Pemerintah berkomitmen meningkatkan peran perempuan dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satunya, dengan menyusun Dokumen Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI). Bismo Agung/ IGID
Dokumen RAN-GPI adalah bentuk kerja bersama dalam mendukung kontribusi perempuan dan anak untuk mencegah perubahan iklim.

Sejak 1996, Suswaningsih berhasil 'menyulap' lahan di Kelurahan Karangwuni dan Melikan di Kapanewon Rongkop Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari yang sebelumnya tandus dan berbatu, menjadi lahan hijau yang bermanfaat dan produktif. Mengingat jasanya tersebut, pada 15 Oktober 2021 Ibu Suswaningsih yang bekerja di Penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kapanewon Rongkop menerima penghargaan Kalpataru untuk kategori pengabdi lingkungan.

Menurut Suswaningsih, kendala terberat yang dihadapi adalah mengubah sikap dan perilaku masyarakat untuk mau memanfaatkan lahan yang kritis menjadi produktif. Ia juga menjelaskan, untuk pemanfaatan lahan nonproduktif, dirinya mengajak masyarakat mengembangkan tanaman pangan dan kayu-kayuan, serta mengembangkan tanaman lokal.

Sejak 1996, dia mengajak warga untuk menggarap lahan nonproduktif. Lahan yang digarap seluas lima hektare (ha) untuk jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan dengan sistem tumpangsari luas lahannya 903,7 meter persegi, dan untuk lahan pengembangan konservasi seluas 203 ha.

Suswaningsih adalah salah satu sosok perempuan pejuang lingkungan dari sekian banyak tokoh perempuan lokal (local hero). Sebut saja, Mama Aleta Baun, aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur. Lalu, Adriana Meraudje, salah satu dari banyak perempuan Enggros pelestari hutan. Ada pula Dr. Karlina Supelli, seorang astronom sekaligus filsuf yang memperjuangkan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup. Dan masih banyak lagi perempuan maupun komunitas yang dipimpin perempuan sebagai pionir dalam mengatasi perubahan iklim.

Perempuan telah diakui memiliki peran yang setara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim misalnya, secara internasional Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) mengakui pentingnya kesetaraan pelibatan antara perempuan dan laki-laki, dalam kebijakan iklim yang responsif gender, melalui suatu agenda khusus yang menangani masalah gender dan perubahan iklim, termasuk menuangkannya dalam Perjanjian Paris 2015.

Namun demikian, peran perempuan masih cenderung diabaikan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kendala yang dihadapi perempuan adalah persoalan kemiskinan struktural, peran ganda sebagai ibu, dan kurang memiliki akses dalam pengambilan kebijakan publik. Meski dalam hal isu perubahan iklim, baik perempuan dan laki-laki sama-sama dirugikan dan berpotensi menjadi pelopor dalam perubahan iklim, secara sosial peran perempuan masih rentan.

Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen meningkatkan peran perempuan dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satunya, dengan menyusun Dokumen Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI). Dokumen publik tersebut secara resmi diluncurkan pada Kamis (28/3/2024) di Jakarta.

“Seperti peribahasa pucuk dicinta ulam tiba, dokumen RAN-GPI merupakan salah satu jawaban penting dalam upaya kita memperkuat kerja-kerja mitigasi dan adaptasi pengendalian perubahan iklim melalui strategi dan kegiatan RAN-GPI yang diuraikan secara sistematis,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Didampingi oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Bintang Puspayoga, Menteri Siti, menyebut dengan disusunnya RAN-GPI, maka telah ada panduan untuk bagaimana mendorong peran dan kapasitas kemampuan perempuan dalam konteks agenda-agenda aksi iklim di Indonesia.

Menteri LHK juga mempersilakan tim pelaksana RAN-GPI dari kementerian atau lembaga terkait untuk dapat berkonsultasi mengenai program pengendalian perubahan iklim dan target kontribusi nasional penurunan emisi (Nationally Determined Contribution/NDC) Indonesia. Mereka dapat bersinergi dalam Rumah Kolaborasi Konsultasi Iklim dan Karbon (RK2IK) yang ada di Kementerian LHK.

Diingatkan jika peran penting perempuan harus didorong dalam agenda-agenda pengendalian perubahan iklim karena perempuan adalah elemen masyarakat yang paling terdampak terkait dengan bencana akibat perubahan iklim. Ia pun berharap kedepan kondisi lingkungan Indonesia akan semakin baik berkat tangan-tangan perempuan hebat Indonesia.

Adapun Menteri PPA Bintang Puspayoga juga menyebut Dokumen RAN-GPI adalah bentuk kerja bersama dalam mendukung kontribusi perempuan dan anak untuk mencegah perubahan iklim. Pasalnya, perempuan dan anak jumlahnya mencapai 2/3 penduduk Indonesia.

Ini tantangan kepada perempuan dan anak untuk melakukan aksi pencegahan perubahan iklim, di tengah budaya masyarakat yang masih meminggirkan peran perempuan dalam pembangunan bangsa. “Perempuan jangan hanya dijadikan objek dari pengendalian perubahan iklim tapi harus mulai menjadi subjek,” tukasnya.

Analisis dari Kementerian PPA menyebut paparan perubahan iklim yang diprediksi terjadi pada tahun 2050, diperkirakan menyasar 251 juta populasi atau setara dengan 62,7 juta rumah tangga. Dari jumlah tersebut sebanyak 25,1 juta kelompok rentan terpapar, yang terdiri 68 persen dewasa, 24 persen anak-anak, dan 8 persen lanjut usia (lansia).

Sementara itu, pihak Kementerian PPPA juga mencatat ada delapan dampak perubahan iklim yang berpengaruh pada kesenjangan gender, yakni gagal panen, ketersediaan bahan bakar, kelangkaan air, bencana iklim, penyakit, perpindahan penduduk, konflik, dan kemiskinan.

Untuk meningkatkan partisipasi bermakna perempuan dalam mitigasi krisis iklim, perlu melibatkan lebih banyak perempuan dalam proses politik dari tingkat desa hingga pusat. Survei Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menunjukkan parlemen yang anggotanya didominasi perempuan cenderung menghasilkan kebijakan atau regulasi yang ramah lingkungan.

 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari