Pinjaman lunak pendidikan dinilai paling cocok untuk Indonesia dalam rangka mengejar angka partisipasi kasar pendidikan tinggi sebesar 46 persen di 2045.
Biaya kuliah tinggi, merupakan masalah besar yang dihadapi sebagian besar mahasiswa saat ini. Data di media arus utama yang mengutip laporan resmi Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan bahwa kenaikan biaya kuliah di Indonesia sulit diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Dibeberkan, laju kenaikan biaya kuliah per tahun--sekitar 1,3% untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96% untuk kampus swasta (PTS)--mengalahkan laju kenaikan pendapatan lulusan SMA (3,8%) maupun sarjana (2,7%).
Data tersebut menggambarkan adanya ancaman akses pendidikan tinggi masyarakat saat ini, juga di masa depan. Sebagai ilustrasi, orang tua bergelar sarjana yang melahirkan bayi pada 2024, misalnya, diperkirakan kelak hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama enam semester pada 2040. Sementara itu, lulusan SMA hanya bisa membiayai tiga dari delapan semester kuliah anaknya.
Bayangan suram akses biaya pendidikan itu pula yang diangkat Forum Merdeka Barat (FMB) 9, sebuah forum diskusi yang diinisiasi Direktorat Jenderal Informasi Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo pada Senin (18/3/2024). Diskusi bertajuk “Biaya Kuliah Tinggi, Pinjaman Pendidikan Jadi Solusi” menyodorkan kajian penyelesaiaan pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Ini merupakan langkah untuk membuka peluang bagi semua kalangan bisa mengatasi hambatan biaya dan meraih mimpi masa depan yang lebih cerah melalui pendidikan tinggi.
Di Negara Maju
Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang melontarkan ide student loan atau pinjaman biaya pendidikan. Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada Selasa (30/1/2024), Menkeu meminta Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) telah meminta LPDP untuk mengembangkan skema student loan seperti di negara-negara maju.
Salah satu skema yang mencuat dari usulan Menkeu adalah sistem income contingent loan. Skema ini banyak dipraktekkan di negara maju. Skema tersebut menggantikan pinjaman pendidikan dengan sistem hipotek. “Kalau hipotek ini kan jumlah dan waktu pembayarannya sudah ditentukan. Ini yang membuat orang mengalami gagal bayar. Sedangkan kalau income contingent loan, mahasiswa penerima utang akan membayar dengan waktu dan besarannya disesuaikan dengan penghasilan nanti setelah lulus dan bekerja,” jelas Elza Emira PhD, Development Research University of Bonn, dalam dialog FMB9 tersebut.
Menurut Elza, dalam skema income contingent loan tidak mengenal istilah kredit macet atau gagal bayar, sehingga membuat nama peminjam jelek di BI checking. Skema ini membuat mahasiswa peminjam bisa menyesuaikan angsuran pembayaran dengan penghasilan yang didapat. “Karena model bayarnya disesuaikan dengan penghasilan. Jika misalnya sedang tidak ada penghasilan, ya akan dibebaskan dari membayar utang. Nanti kalau sudah ada pendapatan lagi, baru sistem bayarnya dilanjut lagi,” jelasnya.
Sistem income contingent loan akan sejalan dengan program pemerintah yang berkomitmen untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK-PT) lewat beasiswa. Program ini tujuannya memang memudahkan bagi mereka yang hendak mengenyam pendidikan tinggi namun mengalami kesulitan finansial. Selain itu, sistem ini lebih efektif dibanding dengan skema beasiswa.
Walaupun pada prinsipnya sama, income contingent loan bisa mengakomodir lebih banyak mahasiswa. “Kalau beasiswa, dananya hanya untuk satu mahasiswa. Sedangkan kalau student loan bisa untuk dua mahasiswa. Karena nanti dana itu akan kembali setelah kekurangannya di-cover pemerintah,” ujarnya.
Adapun sumber dananya, pemerintah bisa meng-cover sebagian pinjaman ini menggunakan dana dari APBN. Meskipun saat ini jumlah APBN untuk pendidikan tinggi terbilang masih sangat terbatas. Hanya berkisar 0,3 dari 20 persen keseluruhan APBN.
Mengejar Target
Gagasan memberikan akses pembiayaan pendidikan dinilai sebagai langkah penting dan layak untuk segera dilaksanakan. Selain mengatasi mahasiswa yang kesulitan biaya, juga menjadi bagian dari upaya mengejar tingkat pendidikan SDM Indonesia agar tidak tertinggal dari negara tetangga.
Merujuk data Kemendikbudristek, APK-PT pada 2024 adalah 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen). Salah satu faktor utamanya adalah masalah eknomi alias biaya yang mahal.
Dalam kesempatan diskusi FMB9 itu juga, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Profesor Warsito menjelaskan, gagasan adanya pinjaman lunak yang dirancang untuk membantu para mahasiswa, terutama dari kalangan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
Dijelaskan, skema pinjaman lunak tersebut tanpa dikenakan bunga. Adapun sumber dananya menggunakan dana bergulir sehingga tidak memberatkan kepada mahasiswa dalam pengembaliannya. “Skema pinjaman lunak ini terinspirasi dari konsep kredit mikro dan filantropi. Dana pinjaman akan berasal dari dana bergulir dan donasi dari pihak-pihak yang ingin membantu pendidikan di Indonesia,” jelas Warsito.
Sejumlah skema pun disusun; skema pertama mirip dengan cicilan kredit mikro, mahasiswa dapat meminjam dana dan mengembalikannya secara mencicil setelah mereka bekerja dengan baik. Skema kedua melibatkan pihak ketiga, seperti corporate social responsibility (CSR) dan filantropi, yang menyediakan dana tanpa bunga untuk mahasiswa.
Kajian intensif pun dilakukan. Maklum, skema pinjaman seperti ini pernah dilakukan di era 1980-an. "Kita harus berkaca pada program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pada 1980-an yang tidak berjalan. Salah satu faktor utamanya adalah sulitnya pengembalian dana dari para mahasiswa setelah lulus kuliah,” ujar Warsito.
Dengan pinjaman lunak tersebut, pemerintah berharap bisa mengatasi kendala biaya kuliah yang tinggi yang saat ini tidak mampu ditanggung mahasiswa. Dengan adanya biaya berupa pinjaman lunak itu, tingkat APK-PT di Indonesia yang saat ini masih tergolong rendah, akan meningkat menjadi 46 persen pada 2045.
Agar ide pinjaman ini bisa berjalan, langkah pertama yang ditempuh saat ini adalah membangun database terintegrasi yang memuat informasi lengkap para peminjam. Hal ini seiring dengan program pemerintah untuk menyatukan seluruh data kependudukan dalam satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) saja.
Di samping itu, edukasi kepada para peminjam tentang pentingnya mengembalikan pinjaman menjadi langkah krusial. Hal ini dikarenakan dana yang bergulir ini merupakan jantung program, sehingga memungkinkan generasi penerus bangsa berikutnya untuk meraih mimpi mereka.
Biaya Pendidikan Tinggi
Merujuk studi survei sosioekonomi nasional dari BPS pada 2015, biaya pendidikan S1 di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp49 juta. Biaya ini belum termasuk pengeluaran lain seperti biaya kost, transportasi, hingga membeli buku.
“Angka pastinya saat ini kami belum bisa pastikan. Tetapi kalau melihat diskusi yang terjadi di internet, di perguruan tinggi negeri, biaya total bisa mencapai sekitar Rp100 juta, untuk swasta bisa lebih dari Rp100 juta,” ungkap Elza.
Karena itu adanya gagasan pembiayaan pendidikan patut dihargai. Dengan skema pinjaman pendidikan, maka pemerintah dapat memberikan subsidi dengan lebih tepat. Dari studi yang ada, Elza menghitung, bagi mahasiswa yang setelah lulus mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi subsidi yang digelontorkan pemerintah hanya sekitar 12 persen.
“Nah sementara untuk mereka yang dari kalangan sangat bawah, misalnya itu 45 persen atau hampir dari setengah dari utang itu sebenarnya dicover oleh pemerintah. Karena tadi misalnya dia bayar utangnya, lebih lama terus kemudian setelah 25 tahun dia enggak selesai bayar utangnya,” papar dia.
Menurutnya, program-program beasiswa memang membantu, akan tetapi jumlahnya sangat terbatas dan tidak bisa menjangkau semua orang. Bahkan jika hanya mengandalkan beasiswa dari pihak ketiga dengan proses seleksi cukup ketat, maka tidak dapat mencapai tujuan pemerataan pendidikan tinggi.
Maka dari itu, Elza menilai, skema pinjaman pendidikan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan APK-PT secara berkelanjutan di Indonesia. Dengan desain yang tepat dan implementasi yang efektif, skema ini dapat membantu meningkatkan kualitas SDM dan mendorong kemajuan bangsa.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari