Pemerintah segera memberlakukan kebijakan sertifikasi bagi pelaku usaha demi memastikan adanya kepatuhan terhadap regulasi bisnis dan pelindungan hak asasi manusia (HAM) pekerja.
Pemerintah melakukan upaya terobosan untuk memastikan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) diterapkan dalam praktis bisnis. Peraturan global menuntut adanya penerapan HAM secara komprehensif mulai dari pelindungan hak pekerja hingga asal usul produksi produk sesuai dengan standar lingkungan atau tidak.
Salah satu langkah strategis untuk mendukung penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam waktu dekat akan memberikan sertifikasi bagi pelaku usaha yang patuh terhadap regulasi bisnis dan pelindungan HAM pekerja.
Direktur Kerja Sama HAM, Kemenkumham, Harniati, menilai langkah ini merupakan jawaban tepat untuk meningkatkan kapasitas perusahaan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi.
“Sertifikasi ini nanti akan mirip dengan sertifikasi produk halal sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengetahuinya. Diharapkan pelabelan ini akan memiliki pengaruh signifikan terhadap reputasi perusahaan di tingkat internasional,” ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk ‘Lindungi Hak Pekerja dalam Bisnis’, di Jakarta, Senin (29/4/2024).
Dicontohkan, seiring dengan diberlakukannya undang-undang antideforestasi oleh Uni Eropa, produk-produk yang harus masuk ke kawasan mereka harus terbebas dari isu dan hasil deforestasi yang dibuktikan oleh uji kelayakan serta legislasi dari negara yang bersangkutan. Alhasil beberapa komoditas nasional yang belum memenuhi kriteria tersebut terkena dampaknya.
Tentunya hal ini sejalan dengan meningkatnya isu HAM, kesetaraan dan keberlanjutan di seluruh dunia, pemerintah mengantisipasi dengan mempersiapkan pelaku usaha nasional untuk menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Utamanya dalam meningkatkan ekspor ke negara-negara maju yang sering memberikan restriksi atau pembatasan.
Sebelum menerapkan sertifikasi bagi pelaku usaha, Kemenkumham telah meluncurkan aplikasi Prisma sebagai implementasi dari penerbitan Perpres 60/2023. Aplikasi ini memungkinkan pelaku usaha untuk memitigasi risiko pelanggaran HAM dalam menjalankan operasional mereka.
“Meskipun masih bersifat sukarela, aplikasi Prisma telah mendapatkan respons positif dengan pendaftaran 228 pelaku usaha sejak September 2023,” ujarnya.
Sejauh ini aplikasi Prisma memiliki 12 indikator dengan sekitar 140 subindikator yang mencakup berbagai aspek, seperti perlindungan pekerja, serikat pekerja, sampai rantai pasokan.
Hingga saat ini, terdapat 31 pelaku usaha yang telah mendapatkan nilai hijau dari 12 indikator di aplikasi Prisma. Selebihnya, masih terdapat pelaku usaha yang mendapatkan nilai merah dan kuning karena belum memenuhi indikator-indikator yang ditentukan.
Meskipun sertifikasi ini masih bersifat sukarela, Kemenkumham terus mendorong agar sertifikasi ini menjadi wajib di masa depan. Karenanya, pemerintah optimistis bahwa sertifikasi ini akan memberikan banyak manfaat bagi pelaku usaha dan akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.
Belajar dari Jepang
Pada kesempatan yang sama, Pengurus Yayasan Bina Swadaya, Dr. Ir. Eri Trinuraini Adhi menyebut, Indonesia sendiri perlu belajar dari Jepang, raksasa ekonomi Asia yang telah mengintegrasikan bisnis dan HAM. Keberhasilan mereka tak lepas dari sosialisasi masif yang menjangkau seluruh pemangku kepentingan.
“Jepang menjadi salah satu contoh yang menonjol dalam hal keberhasilan bisnis dan implementasi HAM. Di Indonesia, kita berharap dapat mengikuti jejak yang sama dengan melakukan sosialisasi Stranas BHAM secara masif. Semua orang harus mengetahui Perpres 60/2023 dan implementasinya,” jelas Eri.
Menurutnya, di era globalisasi, perlindungan HAM dalam dunia usaha menjadi kian esensial. Karena itu penerbitan Perpres No. 60/2023 tentang Stranas BHAM menjadi satu langkah nyata dalam mewujudkan perlindungan HAM dalam dunia usaha.
Oleh karena itu, Eri mengusulkan agar sosialisasi ini tak hanya dibebankan pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), melainkan melibatkan seluruh kementerian, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Hal ini untuk memastikan jangkauan informasi yang lebih luas.
Dicontohkan negara-negara ASEAN yang didorong oleh kesadaran masyarakat dan regulasi ketat dalam menerapkan bisnis dan HAM. Menurutnya, hal itu lantaran sosialisasi yang dilakukan banyak negara ASEAN yang tak hanya menyasar pengusaha dan pekerja, tapi juga konsumen.
“Banyak kasus pelanggaran HAM yang dapat diselesaikan berkat masukan dari konsumen. Konsumen memiliki peran penting dalam memberikan respons terhadap praktik bisnis yang tidak etis dan dalam menyuarakan kebutuhan akan perlindungan HAM,” ujarnya.
Adapun Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kerah Biru – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Royanto Purba menilai Perpres No. 60 Tahun 2023 tentang Stranas BHAM merupakan kemajuan signifikan dalam perlindungan hak pekerja. Meski masih terdapat tantangan dalam implementasinya, termasuk perihal harmonisasi antara payung hukum, pelaksanaan hingga pengawasannya.
Pertama soal harmonisasi peraturan. Menurutnya diperlukan harmonisasi peraturan terkait bisnis dan HAM di Indonesia untuk memastikan keseragaman dan efektivitas implementasi. Selanjutnya perihal pengawasan. Royanto menyebut, diperlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa perusahaan benar-benar mematuhi Perpres 60/2023 ini.
Hal terakhir kolaborasi semua pihak. Dia menilai kolaborasi diperlukan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk merumuskan kebijakan dan implementasi Stranas BHAM yang efektif.
Bagi serikat pekerja, Perpres 60/2023 ini mendefinisikan tiga pilar utama Stanas BHAM dalam dunia usaha. Pertama soal perlindungan, di mana perusahaan harus melindungi HAM dari pekerja, seperti hak untuk hidup, jaminan kesehatan, dan keamanan. Kedua, terkait pilar kehormatan. Perusahaan harus menghormati hak-hak asasi para pekerja, seperti hak untuk berserikat dan berkumpul, dan hak untuk mendapatkan upah yang layak. Pilar terakhir, pemulihan. Perusahaan juga harus menyediakan mekanisme untuk pemulihan bagi pekerja yang hak-haknya dilanggar.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari