Setiap dua pekan satu bahasa daerah hilang. Dalam 30 tahun, ada bahasa ibu yang mati. Untuk revitalisasi perlu pendekatan multilevel dan pelibatan berbagai kalangan.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Memiliki luas wilayah 1.904.569 kilometer persegi (km²), Indonesia merupakan negara terluas ke-14 sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau terbanyak ke-6 di dunia, yakni 17.504 pulau.
Populasi Indonesia juga terbanyak ke-4 di dunia dengan penduduk mencapai 277.749.853 jiwa pada 2022. Indonesia tergolong sebagai negara multiras, multietnis, dan multikultural di dunia. Berdasarkan rumpun bangsa, Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi yakni Austronesia dan Melanesia di mana bangsa Austronesia yang terbesar jumlahnya dan lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat.
Boleh jadi, keberagaman di negeri yang dikenal dengan nama Nusantara itu pulalah yang menciptakan Indonesia menjadi negara dengan kebinekaan bahasa terbesar kedua di dunia, dengan 718 bahasa, setelah Papua Nugini (839 bahasa). Indonesia pun menyumbang sekitar sepuluh persen dari total bahasa di dunia. Sementara itu, data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 2019 menunjukkan, kekayaan bahasa di Indonesia didukung oleh adanya 778 dialek dan 43 subdialek.
Namun kebanggaan di bidang kebahasaan tersebut, nyatanya juga tengah dirudung awan gelap. Menyusul ditemukannya tren kepunahan bahasa daerah. Sejumlah faktor diidentifikasi mengancam keberadaan bahasa daerah di Indonesia. Di antaranya, sikap negatif penutur asli terhadap bahasa daerahnya, meningkatnya perkawinan silang antarpenutur bahasa daerah, globalisasi, dan urbanisasi.
Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek E Aminudin Aziz pernah menyebutkan, pada 2018, sebanyak sebanyak 11 bahasa daerah didapati telah menghilang. “Pada 2021, kami melakukan kajian daya hidup bahasa daerah, ternyata memprihatinkan,” ujar Aminuddin di Jakarta.
Dia menambahkan tidak ada satu pun bahasa daerah yang daya hidupnya naik, dan hal itu juga telah menjadi fenomena global. Setiap dua pekan hilang satu bahasa daerah dan dalam 30 tahun ada bahasa ibu yang mati. Oleh sebab itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berkomitmen melindungi bahasa daerah dari kepunahan melalui serangkaian upaya revitalisasi.
Revitalisasi bahasa daerah (RBD) juga membutuhkan pendekatan multilevel yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari komunitas lokal hingga kerja sama internasional. Kebijakan ini mencakup pengakuan atas pentingnya bahasa daerah dalam bidang pendidikan, pemanfaatan teknologi, dan digitalisasi. Selain itu diperlukan pula peningkatan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan keluarga. Sebab itu akan menjadi pendukung utama kelestarian bahasa daerah.
Demi menekan laju kepunahan bahasa daerah di Indonesia, Badan Bahasa Kemendikbudristek juga kembali menggelar Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional (FTBIN). Di 2024 ini FTBIN diselenggarakan mulai 1--5 Mei 2024, dengan mengusung tema “Melestarikan Bahasa Daerah, Menjaga Kebinekaan Indonesia”.
"Penyelenggaraan kegiatan Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta para generasi muda terhadap bahasa daerahnya serta meningkatkan kepedulian dan sikap positif masyarakat dalam berbahasa daerah," kata Aminudin di Jakarta, Rabu (1/5/2024).
Sebagai tahapan dari program RBD, kata dia, FTBI di tiap daerah merupakan salah satu upaya mempromosikan keragaman bahasa daerah serta sebagai bentuk apresiasi kepada para pelaku RBD khususnya generasi muda. FTBIN juga menjadi kegiatan memperingati hari bahasa ibu internasional, sambung dia, yakni memperkuat promosi keragaman bahasa daerah yang perlu secara eksplisit dituangkan pemerintah pusat dan daerah dalam suatu forum koordinasi.
FTBIN diikuti 520 peserta dan 38 pendamping yang berasal dari 25 provinsi, dengan kegiatan rakor yang diikuti 353 peserta meliputi gubernur, bupati, dan wali kota pada 2--3 Mei 2024.
Fase RDB
Badan Bahasa Kemendikbudristek sendiri sudah menyatakan bahwa sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam merevitalisasi bahasa daerah penting dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Kebijakan RBD di Indonesia juga telah mengalami beberapa fase, dengan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap bahasa.
Pada 2021, Kemendikbudristek melalui Badan Bahasa menerapkan arah baru dalam implementasi RBD di Indonesia. Arah baru program RBD tersebut mencakup sinergi dan kemitraan, pengembangan kurikulum, bimtek guru master, pelibatan berbagai pihak dan ranah penggunaan, serta prestise bahasa daerah dalam media dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pada 2022, tercatat ada 39 bahasa daerah yang direvitalisasi dan itu tersebar di 13 provinsi yang menjadi sasaran pelaksanaan program RBD. Dan pada 2023, pemerintah menambah jumlah provinsi sasaran RBD menjadi 19 provinsi.
Pada 2024 ini, pemerintah menargetkan revitalisasi atas 96 bahasa daerah. Di antaranya, Bahasa Kayuagung di Sumatra Selatan, Bahasa Ribun di Kalimantan Barat, Bahasa Jawa dialek Using di Banyuwangi, Jawa Timur, Bahasan Kenyah di Kalimantan Timur, Bahasa Mbojo di Nusa Tengara Barat, Bahasa Tolaki di Sulawesi Tenggara, Bahasa Yamdena di Maluku, Bahasa Kabola di NTT, Bahasa Biyekwok di Papua, dan Bahasa Komoro di Papua Tengah.
Untuk mendukung langkah RBD itu, pemerintah melakukan sejumlah hal. Antara lain, menyusun model pembelajaran bahasa daerah sesuai kondisi dan karakteristik bahasa. Lalu, melatih guru untuk mengajarkan bahasa daerah kepada siswa. Dan juga menyelenggarakan festival bertema bahasa untuk mengangkat pamor bahasa daerah.
Selain itu juga memberikan penghargaan kepada siswa berprestasi dalam bidang bahasa daerah. Kemudian, melakukan pula sosialisasi dengan melibatkan pemangku kebijakan untuk mendukung revitalisasi bahasa daerah.
Dilindungi Undang-Undang
Dalam rangka menguatkan eksistensi bahasa daerah, peran pemerintah daerah juga sangat menentukan. Pemerintah daerah bahkan memiliki kewajiban untuk melindungi bahasa daerah. Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek mengingatkan, kewajiban itu termaktub dalam sejumlah aturan perundangan yang berlaku di tanah air. Di antaranya, dalam Undang-undang (UU) Bahasa nomor 24 tahun 2009 dan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Di situ disebutkan pemerintah daerah wajib melindungi, mengembangkan, membina bahasa, aksara dan sastra daerah," kata Aminudin Aziz.
Dan disampaikan Aminudin, kewajiban pemerintah yang dimaksud berdasarkan beleid itu termasuk pada penyediaan anggaran, memberikan fasilitas pemberdayaan, serta menggerakkan sumber daya meliputi komunitas bahasa/literasi yang ada di daerah tersebut. "Kami Badan Bahasa di tingkat Pusat ini memberikan dorongan memfasilitasi pada kepakarannya, apa yang dibutuhkan di tingkat daerah dalam hal itu (melindungi bahasa, aksara dan sastra kedaerahan)," pungkasnya.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Elvira Inda Sari