Standar industri hijau jadi panduan arah pengembangan sektor industri manufaktur nasional. Indeks PMI Indonesia naik dari 52,7 pada Februari 2024 ke 54,2 pada Maret 2024.
Secara umum, yang disebut manufaktur adalah kegiatan memproses suatu atau beberapa bahan baku menjadi barang lain yang mempunyai nilai tambah yang lebih besar. Kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh perorangan atau manufacturer maupun oleh perusahaan atau manufacturing company. Sedangkan industri manufaktur merupakan kelompok perusahaan sejenis yang mengolah bahan-bahan menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang bernilai tambah lebih besar.
Dalam praktek keseharian kegiatan manufaktur di tanah air menghadapi sejumlah kendala. Selain kondisi perekonomian nasional dan internasional yang tidak stabil, ada berbagai tantangan internal di industri manufaktur yang harus dihadapi. Antara lain, kesulitan memprediksi permintaan, kesulitan mengontrol persediaan, kendala peningkatan efesiensi, kesulitan meningkatkan ROI, kekurangan tenaga kerja berkualitas, kesulitan mengelola prospek penjualan, dan kendala saat menghadapi perubahan teknologi.
Secara singkat problem industri manufaktur nasional adalah masalah daya saing. Dengan kata lain kalah bersaing dengan industri serupa dari negara tetangga. Saat ini, per Maret 2024, diukur dari Indeks Manufaktur Indonesia yang diukur dari ekspansi belanja atau Purchasing Manager’s Index (PMI) menunjukkan level memuaskan, namun butuh peningkatan lagi.
Menurut data S&P Global pada survey yang dilakukan pada Maret 2024 menunjukkan, pertumbuhan yang kuat di seluruh industri manufaktur Indonesia, baik itu di sisi produksi maupun pesanan baru. Indeks PMI Indonesia secara musiman naik dari 52,7 pada bulan Februari 2024 ke 54,2 pada bulan Maret 2024.
S&P Global menempatkan 50 sebagai titik tengah sehingga jika angka di bawah 50 menunjukkan adanya pelemahan, sedangkan angka di atas 50 menggambarkan terjadinya ekspansi.
Industri Hijau
Meski memuaskan, manufaktur Indonesia dinilai butuh terus berbenah. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian pun tidak henti berupaya meningkatkan daya saing industri manufaktur dengan menerapkan prinsip berkelanjutan. Salah satu upayanya adalah melalui kebijakan industri hijau yang secara garis besar sudah mencakup tiga pilar dalam aspek sustainability, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial.
“Industri hijau juga dapat digunakan sebagai tools dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) guna mencapai target yang telah ditetapkan,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Andi Rizaldi, pada Forum Industri Hijau Nasional Tingkat Provinsi dan Program Fasilitasi Sertifikasi Standar Industri Hijau yang dilaksanakan di Surabaya, Selasa (30/4/2024).
Pengembangan industri hijau, kata Kepala BSKJI lebih lanjut, sebagaimana disimak awak redaksi www.indonesia.go.id, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan dibutuhkan peran aktif dari semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah untuk mendorong para pelaku usaha di sektor industri bertransformasi dari industri konvensional menjadi industri hijau melalui penerapan standar industri hijau (SIH). “Dengan penerapan industri hijau diharapkan dapat menjawab berbagai isu dan tantangan ke depan seperti perubahan iklim dan dekarbonisasi,” ujarnya.
Forum Industri Hijau yang diinisiasi oleh Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian diikuti lebih dari 100 peserta yang, antara lain, merupakan perwakilan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tingkat Provinsi, pelaku industri di Jawa Timur, perwakilan Lembaga SIH, dan perwakilan Kementrian/Lembaga terkait. “Peran aktif semua pihak untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan akan menjadi warisan positif untuk generasi mendatang,” terang Andi.
Tulang Punggung SDG’s
Penerapan SIH merupakan salah satu instrumen yang akan menjadi backbone untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Social Development Goal’s/SDG’s), Environmental Social Governance (ESG), maupun Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, serta Net Zero Emission sektor industri manufaktur pada tahun 2050 atau lebih awal.
Merujuk hal tersebut di atas, Kemenperin menyatakan akan mendorong SIH ini untuk memperkuat akses pasar, akses pendanaan, sekaligus pendorong pencapaian target dekarbonisasi. Untuk itu, Kemenperin memfokuskan diri dalam beberapa hal, seperti mendorong SIH dapat berperan signifikan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Green Public Procurement). Selain
itu, SIH juga didorong bertindak sebagai safeguarding produk nasional dalam rangka menghadapi perubahan regulasi di negara tujuan ekspor terutama CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism). Sebagai contoh SIH terkait alumunium, baja, dan hidrogen.
Pada saat yang sama, SIH diarahkan pula untuk menjadi salah satu instrumen dalam mencapai nilai bobot manfaat perusahaan (BMP) guna memenuhi ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Selanjutnya, SIH juga diarahkan untuk dapat menjadi salah satu instrumen perdagangan internasional, baik sebagai non-tariff measures (NTM) melalui pemberlakuan SIH secara wajib untuk menghadapi gempuran produk impor, juga menjadi salah satu faktor untuk pemenuhan kriteria ketentuan asal (COO) dalam kerangka kerja sama perdagangan bebas dengan negara mitra.
Lebih jauh lagi, melalui SIH diharapkan turut berperan dalam pencapaian target industri prioritas sesuai program strategis Kementerian untuk meningkatkan daya saing sekaligus memenuhi komitmen negara dalam NDC dan NZE.
Melalui Forum Industri Hijau Nasional, Kemenperin juga mendorong para pembina industri di seluruh wilayah Indonesia agar dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan. Forum ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk saling bertukar pengetahuan, peningkatan pemahaman dan kesadaran terhadap implementasi industri hijau, termasuk peran serta pemerintah daerah dalam memberikan stimulus insentif bagi industri untuk bertransformasi menjadi hijau.
“Di masa mendatang apresiasi kinerja industri hijau dalam bentuk penghargaan industri hijau tidak hanya diberikan kepada pelaku industri saja, tetapi juga pihak-pihak yang telah berkontribusi termasuk bagi pemerintah daerah yang telah berperan aktif dalam pengembangan dan transformasi industri binaannya menjadi industri hijau,” ungkap Andi.
Peluang Pasar
Dalam rangkaian forum ini, Kemenperin juga meresmikan Program Fasilitasi Sertifikasi Standar Industri Hijau, yang merupakan salah satu upaya untuk membantu industri dapat bertransformasi menjadi industri hijau. Pada 2024, Kemenperin menargetkan 70 perusahaan industri yang dapat terfasilitasi Sertifikasi Industri Hijau. Merujuk data yang diungkap Andi, pada tahap I, sudah ada 48 perusahaan industri yang terdaftar sebagai penerima bantuan fasilitasi tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Industri Hijau Apit Pria Nugraha menyampaikan, beberapa manfaat penerapan SIH maupun keuntungan memiliki Sertifikat Standar Industri Hijau. Antara lain, meningkatnya keuntungan dan daya saing melalui peningkatan efisiensi atau produktivitas, meningkatkan citra perusahaan untuk skala nasional maupun global, serta meningkatkan kinerja perusahaan dari sisi energy bill, biaya utilitas, bahan baku, dan biaya pengelolaan lingkungan.
Manfaat berikutnya, yakni membuka peluang dan kemudahan akses pendanaan (green financing), terbukanya peluang pasar baru khususnya untuk pasar produk hijau atau produk berkelanjutan, berpartisipasi dan turut serta dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta mendorong dan mendukung percepatan program penurunan emisi GRK.
Dalam upaya mencapai peningkatan daya saing dan target pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2045, SDG’s, NDC Indonesia, dan NZE, maka perlu adanya percepatan penerapan dan transformasi industri manufaktur menjadi industri hijau. “Untuk mendorong percepatan dan transformasi tersebut perlu adanya pemberian stimulus berupa fasilitasi insentif. Pemberian fasilitasi insentif baik fiskal atau nonfiskal sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2018, yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah,” jelas Apit.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari