Indonesia.go.id - Kebijakan Kesehatan Terbaru: Aturan Ketat Gula, Garam, Lemak dalam Produk Pangan

Kebijakan Kesehatan Terbaru: Aturan Ketat Gula, Garam, Lemak dalam Produk Pangan

  • Administrator
  • Minggu, 11 Agustus 2024 | 16:39 WIB
KESEHATAN
  Pemerintah mengeluarkan aturan yangmembatasi kandungan gula dalam proses produksi industri makanan dan minuman. Bentuk sikap merespon tingginya angka diabetes di Indonesia. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
Kesehatan Anda kini menjadi prioritas utama pemerintah dengan aturan baru yang membatasi kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk pangan. Yuk, kenali lebih lanjut bagaimana kebijakan ini dapat membantu mencegah diabetes dan penyakit berbahaya lainnya!

Pemerintah menerbitkan PP nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan pada 26 Juli. Kebijakan itu untuk menjawab sejumlah tantangan kesehatan, salah satunya kandungan gula, garam, dan lemak (GGL).

Hal tersebut merupakan respons atas sejumlah isu, di antaranya masalah kesehatan seperti diabetes. Diketahui, diabetes telah menjadi salah satu penyebab kematian terbesar secara global serta di Indonesia.

Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, diabetes serta penyakit turunannya seperti penyakit jantung, stroke, menciptakan beban terbesar bagi Jaminan Kesehatan Nasional. Disampaikan Ketua Tim Kerja Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik Kemenkes Esti Widiastuti, dalam temu media Hari Diabetes Sedunia 2023, pada 2021 biaya JKN tertinggi, antara lain, untuk gangguan jantung sebesar Rp8,7 triliun dan stroke Rp2,2 triliun. Esti menegaskan, konsumsi gula, minyak dan garam yang berlebihan menjadi salah satu penyebab diabetes.

Dalam beleid baru di lingkup kesehatan itu, diatur tentang penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak yang mempertimbangkan kajian risiko serta standar internasional. Pada Pasal 194 Ayat 4 disebutkan, pemerintah pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, dalam Pasal 195 Ayat 1 disebutkan bahwa orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji wajib memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak, serta mencantumkan label gizi, termasuk kandungan GGL pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.

Dalam pasal yang sama di Ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.

Ada juga larangan untuk melakukan penjualan atau peredaran pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak pada kawasan tertentu.

Pada Ayat 4, disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji dibatasi dan/atau dilarang menggunakan zat atau bahan yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular.

Sejumlah sanksi juga dituliskan dalam aturan baru tersebut, apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Sanksi itu, antara lain, berupa peringatan tertulis, denda, penghentian sementara dari kegiatan produksi, bahkan pencabutan izin usaha.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (30/7/2024), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pengesahan peraturan pemerintah tersebut merupakan salah satu bentuk dari langkah transformasi kesehatan guna membangun arsitektur kesehatan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif.

“Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” ujar Budi.

 

Beban Biaya Kesehatan

Sementara itu, sebelumnya, Dr dr Made Ratna Saraswati SpPD-KEMD menyebutkan, beban biaya kesehatan penyandang diabetes (usia 20--79 tahun) di Indonesia mencapai USD323,8 per tahun. “Bila dibandingkan dengan negara lain, biaya yang didedikasikan untuk perawatan diabetes di Indonesia ini jauh lebih kecil,” tulisnya dalam Diabetes Melitus adalah Masalah Kita (2022), seperti dikutip yankes.kemkes.go.id

Di Australia, biaya untuk pelayanan diabetes USD5.944 per orang, sedangkan Brunei Darussalam menghabiskan dana sebesar USD901,3 per orang. Sementara itu, angka kematian terkait diabetes pada usia 20--79 tahun di Indonesia diperkirakan sebesar 236,711. Padahal jumlah tersebut tidak termasuk proporsi pasien diabetes pada kelompok usia 20--79 tahun yang tidak terdiagnosis adalah 73,7%.

Indonesia menempati peringkat ke tujuh untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar 10 juta, pada 2015 (DF Atlas 2015). Persentase Kematian akibat diabetes di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua setelah Sri Lanka.

Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat yaitu dari 5, 7% (2007) menjadi 6,9% (2013). Prevalensi Berat badan berlebih atau overweight (13,5% Riskesdas 2013) dan obesitas (15,4%, Riskesdas 2013) yang merupakan salah satu faktor risiko terbesar diabetes meningkat terus dibandingkan Riskesdas 2007 dan 2010.

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer