Indonesia.go.id - Merajut Konektivitas Menuju Indonesia Emas

Merajut Konektivitas Menuju Indonesia Emas

  • Administrator
  • Senin, 30 September 2024 | 14:38 WIB
SEKTOR TRANSPORTASI
  Selama periode kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia berhasil memperluas jaringan bandara dengan membangun 27 bandara baru di berbagai daerah, tak terkecuali di daerah terluar, terpencil, tertinggal, dan perbatasan (3TP). SETPRES
Sepuluh tahun masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo infrastruktur transportasi udara mengalami kemajuan signifikan.

Di era 90-an, kisah seperti mahasiswa asal Bawean yang gagal mengikuti ujian di Universitas Brawijaya, Malang, adalah bagian dari realitas hidup. Bawean, sebuah pulau di utara Gresik, sekitar 135 kilometer dari daratan Jawa, terisolasi akibat keterbatasan transportasi. Tak ada transportasi udara, dan saat ombak tinggi menghadang kapal laut selama berbulan-bulan, mahasiswa seperti mereka tak punya pilihan selain absen dari kelas dan ujian.

Banyak anak Bawean yang merantau ke Jawa untuk pendidikan tinggi, menghadapi masalah serupa. Harapan mereka untuk meraih gelar sering kali terhambat oleh kerasnya alam yang memutuskan akses mereka ke dunia luar. Namun, cerita-cerita seperti itu kini menjadi sejarah yang jarang terdengar. Kemajuan infrastruktur, khususnya di sektor transportasi udara, telah mengubah wajah konektivitas Bawean dengan dunia luar.

Konektivitas Udara yang Mengubah Hidup

Kini, pulau Bawean terhubung dengan Surabaya dan Sumenep melalui jalur udara. Bandara Harun Thohir di Kecamatan Tambak menjadi pintu gerbang baru bagi penduduk Bawean. Bandara yang dioperasikan oleh Kementerian Perhubungan ini mulai beroperasi pada tahun 2016 dan melayani penerbangan reguler Bawean-Surabaya.

Walaupun maskapai pertama, Airfast Indonesia, menghentikan layanan pada 2019, Susi Air kemudian melanjutkan rute tersebut, memastikan bahwa penduduk Bawean tidak lagi terisolasi. Jadwal penerbangan kini tersedia setiap hari, memberikan pilihan bagi mereka yang ingin menghindari perjalanan laut yang panjang dan terkadang berbahaya.

Bagi mahasiswa yang merantau ke Jawa, konektivitas udara ini adalah angin segar. Mereka tak lagi harus khawatir tentang tertinggal ujian atau kegiatan akademis lainnya karena ombak tinggi atau kapal yang tidak berlayar.

Bawean adalah contoh nyata bagaimana infrastruktur transportasi udara dapat mengubah kehidupan di daerah-daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Pulau ini, yang dulu terpencil, kini menjadi lebih mudah diakses. Namun, Bawean bukan satu-satunya daerah yang merasakan manfaat ini. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam pembangunan infrastruktur transportasi udara.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dalam sebuah keynote speech yang disampaikan pada acara “Expert Talk: Capaian Sektor Transportasi Udara 2015-2024” di ITB, Bandung, menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi udara telah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam sepuluh tahun terakhir. Pemerintah telah membangun 27 bandara baru di berbagai daerah, termasuk di daerah 3TP (terpencil, tertinggal, terluar, dan perbatasan).

Selain itu, 64 bandara telah direhabilitasi dan dikembangkan, memperpanjang landasan pacu, memperluas terminal, dan meningkatkan fasilitas keselamatan. Program angkutan udara perintis juga diperkenalkan untuk menghubungkan wilayah-wilayah 3T yang sulit dijangkau, serta mengurangi disparitas harga barang kebutuhan masyarakat di daerah-daerah tersebut.

“Penyediaan jembatan udara sangat penting untuk meningkatkan aksesibilitas di daerah 3TP. Selain itu, layanan ini juga memberikan kemudahan bagi masyarakat yang tinggal di pedalaman untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang terjangkau,” ujar Menhub Budi Karya.

Tak hanya infrastruktur bandara, Indonesia juga mencetak pencapaian penting dalam pengelolaan ruang udara. Pengalihan kendali Flight Information Region (FIR) Jakarta untuk wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna, yang sebelumnya dipegang Singapura, kini resmi diatur oleh Indonesia. Pengalihan FIR ini diharapkan tidak hanya memperkuat kedaulatan negara, tetapi juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor penerbangan.

Wakil Rektor ITB, I Gede Wenten, menambahkan bahwa masa depan transportasi udara harus berorientasi pada keberlanjutan. “Pemanfaatan teknologi baru dan inovasi sangat penting untuk menciptakan transportasi udara yang lebih efisien dan aman,” katanya.

Membangun Masa Depan Indonesia 3T

Transportasi udara memainkan peran kunci dalam mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045. Menurut Menhub Budi Karya, sektor ini dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi.

“Konektivitas udara tidak hanya mendukung pariwisata dan perdagangan, tetapi juga menciptakan kesempatan baru bagi masyarakat di daerah 3T. Di banyak tempat, transportasi udara adalah satu-satunya jembatan untuk menghubungkan mereka dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi,” jelas Menhub.

Namun, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah keterbatasan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah kini mencari alternatif pembiayaan kreatif untuk memastikan pembangunan sarana dan prasarana transportasi udara terus berlanjut.

Di masa depan, dengan keberlanjutan sebagai fokus utama, transportasi udara diharapkan terus menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Tidak hanya sebagai sarana mobilitas, tetapi juga sebagai kunci dalam menghubungkan Indonesia yang luas, termasuk daerah-daerah 3T yang selama ini tertinggal dalam pembangunan.

Pulau Bawean adalah cermin dari keberhasilan upaya pemerintah dalam memperbaiki konektivitas udara di Indonesia. Dari mahasiswa yang terisolasi di era 90-an, kini Bawean dan daerah-daerah 3T lainnya memiliki harapan baru. Infrastruktur transportasi udara bukan hanya soal mobilitas, tetapi juga soal membuka peluang dan masa depan bagi daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/TR