Indonesia.go.id - Rekayasa Genetika untuk Pangan Berkelanjutan

Rekayasa Genetika untuk Pangan Berkelanjutan

  • Administrator
  • Sabtu, 5 Oktober 2024 | 07:20 WIB
RISET DAN INOVASI
  BRIN tengah mengembangkan biopestisida dan biostimulan ramah lingkungan sebagai upaya dalam mendukung pengembangan hortikultura yang berkelanjutan. ANTARA FOTO
Teknologi genomik yang dikembangkan BRIN digunakan untuk menemukan variasi genetik yang dapat meningkatkan hasil tanaman dan ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Indonesia dikenal kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi sumber bagi kedaulatan pangan negeri. Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus memacu perkembangan riset sumber daya hayati untuk mendukung cita-cita Indonesia Emas 2045.

Sejauh ini, BRIN terus mengembangkan berbagai riset dan inovasi, bukan hanya pada tingkat spesies, melainkan sudah mencapai tingkat rekayasa genetik, seperti riset biologi struktural untuk mempelajari struktur molekul biologi hayati dan rekayasa genetika, sebagai bagian dari bioteknologi.

“Pengembangan riset di bidang ini sangat penting sebagai dasar untuk mendapatkan nilai bioprospeksi dari beragam sumber daya hayati di Indonesia,” ujar Wakil Kepala BRIN Amarulla Octavian, di Jakarta, Senin (30/9/2024).

Sejauh ini, pihak peneliti BRIN dengan memanfaatkan informasi genetik, menurut Amarulla, sudah dapat memodifikasi organisme dengan tujuan meningkatkan kualitas, produktivitas, dan ketahanan organisme tersebut. Pasalnya, pemahaman dan pengelolaan sumber daya hayati sangat penting untuk mendukung berbagai keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi mendatang  khususnya sektor pertanian, demi mewujudkan kedaulatan pangan.

Terkait hal tersebut, Profesor Riset Pusat Riset Rekayasa Genetika BRIN Enny Sudarmonowati menjelaskan, sektor pertanian di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, seperti penurunan luas lahan pertanian, rendahnya produktivitas dan kualitas nutrisi tanaman, serta kebijakan yang kurang mendukung. “Tantangan ini diperburuk oleh perubahan iklim dan serangan hama serta penyakit yang mengancam ketahanan pangan,” ujarnya.

Saat ini dengan teknologi omics yang tengah dikembangkan oleh BRIN diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman melalui manipulasi genetik yang lebih efisien dan akurat. “Teknologi omics menjadi solusi potensial dalam menciptakan sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia, membantu meningkatkan produksi pangan, kualitas nutrisi, dan ketahanan tanaman dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan,” kata dia.

Teknologi genomik sebagai bagian dari omics, dapat digunakan untuk menemukan variasi genetik yang dapat meningkatkan hasil tanaman dan ketahanan terhadap hama dan penyakit. Teknologi tersebut juga memungkinkan identifikasi gen yang terlibat dalam respons tanaman terhadap kontaminan lingkungan, sehingga dapat diterapkan dalam program pemuliaan tanaman untuk meningkatkan ketahanan tanaman pada lahan yang terdegradasi.

Tanaman Tahan Hama

BRIN tengah mengembangkan biopestisida dan biostimulan ramah lingkungan sebagai upaya dalam mendukung pengembangan hortikultura yang berkelanjutan. "Kita menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Penggunaan pestisida sintetis mencemari tanah, merusak organisme yang bermanfaat, dan mengganggu ekosistem secara keseluruhan. Karena itu kita butuh solusi ramah lingkungan," kata Kepala Organisasi Riset Pangan dan Pertanian BRIN Puji Lestari.

Puji mengatakan, pihaknya tengah fokus pada riset pengembangan pestisida alami dengan memanfaatkan tumbuhan, mikroba, dan mineral, di mana penelitian tersebut telah menunjukkan kemajuan signifikan, terutama dalam penggunaan mikroba sebagai agen biokontrol. Oleh karena itu, BRIN berharap upaya ini bisa mendukung pertanian hortikultura yang berkelanjutan, dimana lebih dari 110 juta hektare lahan di Indonesia telah digunakan untuk budi daya hortikultura mencakup sayuran, buah, dan tanaman hias.

Keberadaan benih rekayasa genetik mampu memberikan keuntungan yang besar kepada para petani karena mereka tidak perlu memakai pestisida. Bahkan, rekayasa genetika juga bisa membuat tanaman tahan terhadap herbisida yang membuat lahan pertanian menjadi bersih dari gulma.

Seperti diakui, Ketua Kemitraan Strategis dan Advokasi Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sidi Asmono, rekayasa genetik adalah teknologi 4.0 yang disukai para petani. Contohnya, tanaman jagung hasil rekayasa genetik yang tahan hama dan tahan herbisida.

Apabila menyiangi lahan jagung yang menggunakan bibit alami membutuhkan dana sekitar Rp150.000 per hari, dengan rincian Rp100 ribu upah pekerja dan Rp50 ribu biaya makan, termasuk rokok. Jika ditambah pestisida atau insektisida, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan petani jagung alami bisa membengkak hingga Rp3 juta.

Sedangkan, lahan jagung rekayasa genetik hanya memerlukan dana sekitar Rp50 ribu untuk biaya herbisida dan pekerjaan penyemprotan bisa dilakukan secara mandiri. Jagung rekayasa genetika yang memiliki sifat tahan hama juga tidak perlu dilakukan penyemprotan pestisida maupun insektisida.

Hama pengerek batang mampu memangkas produksi jagung 25 sampai 50 persen. Ini angka kerugian yang sangat besar bagi para petani. Pilihannya adalah mengefisienkan proses produksi supaya ongkos produksi turun. Hama pengerek batang tidak ada membuat jagung menjadi utuh, maka itu tambahan pendapatan bagi petani.

Kini para petani kian melirik dan mulai beralih memanfaatkan benih rekayasa genetika seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang bioteknologi tanaman selama dua dekade terakhir. Produk bioteknologi diharapkan bisa menjadi solusi dalam mengatasi berbagai persoalan masyarakat, terutama kebutuhan pangan yang secara konvensional belum mampu memberikan hasil yang optimal.


Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/TR