Hilirisasi kelapa Indonesia di masa depan harus menjadi pengungkit kesejahteraan para petani.
Indonesia yang merupakan negara dengan kekayaan alam melimpah dikenal sebagai salah satu penghasil kelapa terbesar di dunia. Namun begitu, nyatanya produk hilir kelapa dari negara tetangga, seperti Filipina dan Thailand, masih mendominasi pasar internasional.
Lima tahun lalu, produk-produk olahan kelapa, seperti santan cair dan serbuk, yang kita temui di rak swalayan Eropa, memang seringkali berlabel “Made in Thailand”. Namun kini, komoditas sejenis dari Indonesia pun mulai menghiasi toko-toko swalayan di Benua Biru itu.
Apakah itu sudah cukup? Tentu tidak, bangsa ini harus bekerja keras untuk lebih banyak membuat produk derivative dari komoditas kelapa. Apalagi, potensi besar kelapa tanah air belum dimanfaatkan secara maksimal.
Produk olahan kelapa asal Indonesia memang baru belakangan ini mendapatkan panggung di pasar global. Salah satu pemain lokal yang mulai masuk dalam kancah persaingan dunia adalah Kara, yang merupakan merek produk santan cair dari Sambu Group.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa, salah satu faktor utama yang membuat Indonesia tertinggal dari Filipina adalah pemanfaatan kelapa yang belum optimal. "Kami kalah saing dari Filipina," ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap kinerja industri kelapa dalam negeri yang sebagian besar dipandang masih bersifat konvensional. Fakta menunjukkan, 99 persen dari perkebunan kelapa di Indonesia dikelola oleh petani perorangan. Hal itu berbeda dengan Filipina, yang telah mampu mengoptimalkan pengolahan kelapa dengan menggunakan teknologi yang lebih maju.
Di Indonesia, proses poduksi pengolahan kelapa masih mengandalkan metode tradisional. Salah satu contohnya adalah pengeringan kelapa kopra yang masih dilakukan dengan cara dijemur, sementara di Filipina sudah menggunakan teknologi pengasapan sederhana yang lebih efektif.
Hasilnya? Meskipun produksi kelapa Indonesia lebih banyak dibandingkan Filipina, yakni 15,13 miliar butir pada 2023 sedangkan Filipina dengan 14,9 miliar butir, kualitas dan berat kelapa Filipina lebih unggul. Berat total produksi kelapa Filipina mencapai 1,96 juta ton, sementara Indonesia hanya 1,42 juta ton.
Perbedaan itu tentu berpengaruh terhadap valuasi kelapa kopra. Di Filipina, kopra dihargai USD1.035 per ton, sementara di Indonesia hanya USD829 per ton.
Mendorong Hilirisasi Kelapa
Oleh karena itulah, dalam upaya meningkatkan daya saing Indonesia, pemerintah sedang menyusun Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025--2045 sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPN itu juga selaras dengan visi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Diharapkan, langkah tersebut dapat membawa perubahan signifikan dalam industri kelapa tanah air. Suharso Monoarfa pun menekankan pentingnya perbaikan bibit kelapa unggul untuk meningkatkan kualitas produksi dan mendukung hilirisasi. Hal itu juga berkaitan erat dengan kesejahteraan petani kelapa, yang menjadi tumpuan utama dalam industri ini.
"Hilirisasi kelapa Indonesia di masa depan harus menjadi pengungkit kesejahteraan para petani," tuturnya, Senin (29/9/2024).
Salah satu industri yang telah berperan dalam hilirisasi kelapa adalah Sambu Group, perusahaan di balik merek Kara. Meskipun Sambu Group memiliki perkebunan kelapa sendiri, mereka hanya mampu menyuplai kurang dari 10 persen kebutuhan kelapa perusahaan.
Sebanyak 90 persen sisanya berasal dari perkebunan perorangan milik petani kelapa di Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara perusahaan besar dan petani lokal dalam menciptakan industri kelapa yang berkelanjutan.
Selama satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia berusaha untuk menjadi pemimpin dalam industri kelapa global. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal.
“Sudah 10 tahun target itu kita kejar, tapi tidak tercapai,” ungkap Suharso. Saat ini, Indonesia berada di posisi kedua dunia, masih di bawah Filipina.
Dengan luas wilayah dan sumber daya yang lebih besar, sangat disayangkan jika Indonesia tidak mampu mengungguli Filipina dalam hal produksi dan pemanfaatan kelapa.
Untuk itu, peta jalan hilirisasi yang sedang disusun diharapkan dapat menjadi panduan bagi kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Tujuannya adalah memperkuat industri kelapa Indonesia di pasar global dan menciptakan rantai pasok yang lebih efisien dan kompetitif.
Teknologi dan Inovasi
Tantangan terbesar bagi Indonesia saat ini adalah memperkenalkan teknologi sederhana namun efektif yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas kelapa. Teknologi pengasapan yang digunakan Filipina dalam mengeringkan kopra adalah salah satu contoh inovasi yang bisa diadopsi oleh petani kelapa Indonesia.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat infrastruktur industri yang dapat mendukung pengolahan kelapa, termasuk pembangunan pabrik-pabrik yang dekat dengan sentra produksi kelapa. Tak hanya itu, program hilirisasi juga harus mencakup pelatihan dan pendidikan bagi petani agar mereka dapat memahami pentingnya teknologi dan inovasi dalam meningkatkan nilai tambah kelapa.
Jika ini tercapai, Indonesia tidak hanya bisa menyalip Filipina, melainkan juga menjadi pemimpin global dalam industri kelapa dan produk turunannya. Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi pemimpin dalam industri kelapa dunia. Untuk bisa merealisasikan potensi itu dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan petani untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Dengan adanya Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025--2045, diharapkan Indonesia dapat lebih fokus dalam meningkatkan kualitas produksi dan mengoptimalkan teknologi sederhana namun efektif. Sehingga masa depan industri kelapa Indonesia cerah karena kita mampu bergerak cepat dan inovatif, mengejar ketertinggalan dari Filipina, dan memaksimalkan kekayaan alam yang kita miliki.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/TR