Indonesia.go.id - Limbah Kelapa Sawit untuk Ekonomi Berkelanjutan

Limbah Kelapa Sawit untuk Ekonomi Berkelanjutan

  • Administrator
  • Minggu, 13 Oktober 2024 | 07:35 WIB
KELAPA SAWIT
  Setiap tahun, industri sawit menghasilkan sekitar 60 juta ton limbah, termasuk limbah cair (POME) dan limbah padat (serbuk sawit). Jika dikelola dengan baik akan menjadi komoditas yang menguntungkan. ANTARA FOTO
Limbah produksi sawit bernilai ekonomi tinggi. Bukan hanya sebagai solusi lingkungan, melainkan berpotensi menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani kecil di Indonesia.

Industri kelapa sawit adalah pilar utama perekonomian Indonesia, menyumbang sekitar 42 persen dari total pasokan minyak nabati dunia. Dengan pangsa pasar global mencapai 60%, kelapa sawit tidak hanya menjadi komoditas unggulan, namun juga sebagai kunci bagi kestabilan ekonomi nasional.

Nilai ekspor produk kelapa sawit Indonesia pada 2023 mencapai USD40 miliar, berkontribusi sekitar 14,2% terhadap total ekspor nonmigas. Selain itu, industri sawit juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi 2,4 juta pekebun dan 16 juta tenaga kerja. Hal itu mencatatkan peran signifikan dalam pertumbuhan PDB sektor perkebunan, yang tumbuh 5,05% pada triwulan II-2024.

“Jadi, industri sawit berkontribusi positif dalam pertumbuhan PDB di sektor perkebunan, di mana pada triwulan II-2024 bertumbuh positif di angka 5,05%,” papar Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam acara Seminar Policy Brief Peserta PKN Tingkat I Angkatan LX Lembaga Administrasi Negara (LAN) Tahun 2024, di Jakarta, Rabu (2/10/2024).

Memanfaatkan ruang pengelolaan sawit yang lebih menguntungkan, pemerintah Indonesia telah mengenalkan beberapa kebijakan yang intinya berupaya mengintegrasikan pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan. Salah salah satunya, melalui penerbitan Peraturan Presiden tentang Strategi dan Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (SANAS KSB) untuk periode 2025--2029.

Langkah konkret yang diambil di antaranya adalah dengan menerapkan program mandatori biodiesel, yang dimulai sejak 2009 dan terus berkembang hingga saat ini. Kebijakan ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor solar, melainkan mendorong pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan.

Program B35 yang diluncurkan pada 2023 berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 32,6 juta ton CO2. Selain itu, pengembangan biofuel dari limbah kelapa sawit juga berpotensi untuk menghemat devisa hingga Rp158,86 triliun. Pemerintah berencana memperluas penggunaan biodiesel menjadi B40 pada 2025 yang menunjukkan komitmen untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya kelapa sawit secara berkelanjutan.

Sumber Daya Ekonomi

Meski menawarkan banyak keuntungan ekonomi, proses pengolah kelapa sawit sejatinya menyisakan tantangan besar yang harus dihadapi. Yakni, pengelolaan limbah kelapa sawit. Berdasarkan data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), setiap tahun, industri sawit menghasilkan sekitar 60 juta ton limbah, termasuk limbah cair (POME) dan limbah padat (serbuk sawit).

Jika tidak dikelola dengan baik, limbah itu dapat mencemari lingkungan. Tapi jika dimanfaatkan dengan tepat, justru dapat memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan. Itu sebabnya, pemanfaatan limbah kelapa sawit menjadi isu yang mendesak. Tak hanya menyentuh aspek keberlanjutan lingkungan, melainkan memegang peranan penting dalam memberdayakan masyarakat, terutama di daerah pedesaan.

Oleh karena itulah, saat pidato di Konferensi Internasional 2024 yang berjudul "Valorising Oil Palm and Agri Waste Feedstocks", Menko Airlangga menekankan pentingnya limbah kelapa sawit sebagai komponen kunci dalam strategi ekonomi sirkular. Menurut Airlangga, manfaat pemanfaatan limbah tidak hanya terbatas pada solusi lingkungan. Pemanfaatan limbah juga berpotensi menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan petani kecil di Indonesia.

Yang dimaksud limbah kelapa sawit, di antaranya adalah cangkang inti sawit. Dengan nilai kalori yang setara dengan batu bara peringkat rendah, cangkang inti sawit memiliki potensi besar dalam merevolusi lanskap energi Indonesia. Prediksi menunjukkan bahwa pada 2024 produksi cangkang inti sawit Indonesia akan mencapai lebih dari 13,4 juta ton. Sebagian besar dari jumlah itu digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik kelapa sawit.

Pemanfaatan cangkang inti sawit tidak hanya mendukung transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan, melainkan membuka peluang besar untuk ekspor. Kualitas cangkang inti sawit Indonesia, terutama dari Sumatra, diakui memiliki keunggulan di pasar global, menjadikan Indonesia pemimpin di industri ini.

Inovasi tidak berhenti di situ; pemerintah Indonesia juga aktif mengeksplorasi penggunaan cangkang inti sawit dalam teknologi co-firing. Dengan mengkombinasikan cangkang inti sawit dan batu bara peringkat rendah, diharapkan efisiensi energi pembangkit listrik domestik dapat meningkat. Selain memberikan solusi energi yang lebih bersih, langkah itu juga menambah nilai ekononomic dari limbah sawit.

Agar pengelolaan limbah sawit bisa berjalan efektif, Kemenko Perekonomian telah membentuk Tim Percepatan Pemanfaatan palm kernel expeller (PKE). Hal itu demi memastikan bahwa produk ini dapat berkontribusi pada pengembangan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, dalam kerangka Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA). Inisiatif itu tidak hanya akan mendukung industri penerbangan yang lebih berkelanjutan, melainkan berpeluang menciptakan ekonomi baru bagi petani kelapa sawit dan industri terkait.

Dengan memanfaatkan limbah secara maksimal, Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah dari komoditas kelapa sawit dan berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain cangkang, limbah cair dari industri kelapa sawit juga menyimpan potensi yang luar biasa. Minyak goreng bekas atau Used Cooking Oil (UCO) di Indonesia mencapai 3,9 juta ton pada 2023. UCO tersebut dapat diolah menjadi bahan bakar penerbangan berkelanjutan, yang kini sedang menjadi tren global di industri penerbangan.

Ada juga pengupas inti sawit—bagian lain dari limbah sawit—yang memiliki potensi untuk menjadi bahan baku dalam produksi bioetanol. Dengan teknologi yang tepat, limbah-limbah ini bisa dikonversi menjadi sumber energi alternatif yang tidak hanya mengurangi dampak lingkungan. Tapi, juga dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar.

Pemanfaatan limbah kelapa sawit, demikian kata Menko Airlangga, adalah langkah strategis menuju ekonomi berkelanjutan di Indonesia. Dengan kebijakan yang tepat, industri kelapa sawit dapat terus tumbuh sambil mengurangi dampak lingkungan. Program biodiesel dan pengembangan produk dari limbah sawit merupakan contoh nyata bagaimana pengelolaan yang baik dapat mengubah tantangan menjadi peluang.

Dengan mengintegrasikan tata kelola yang berkelanjutan, Indonesia tidak hanya dapat mempertahankan posisinya sebagai pemimpin global dalam produksi kelapa sawit, melainkan memanfaatkan potensi ekonomi dari limbahnya. Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk menciptakan sistem yang mendukung keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.

Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf
Penulis: Dwitri Waluyo