Selama 1 dekade memimpin, Joko Widodo berkunjung 18 kali ke Papua. Dia menjadi Presiden Indonesia yang paling sering menginjakkan kaki ke Bumi Cenderawasih.
Penyanyi mendiang Franky Sahilatua dalam lagunya Aku Papua menggambarkan Papua dengan sangat tepat, sebagai sepotong surga kecil yang jatuh ke bumi. Bagaimana tidak, sebagai salah satu pulau terluas di dunia, Papua memiliki keindahan dan kekayaan alam yang sulit dicari tandingannya.
Selama 5,5 dekade sejak Indonesia merdeka, pembangunan daerah di ujung timur Nusantara ini terus jadi perhatian.
Itu sebabnya ketika 10 tahun lalu, atau tepatnya Oktober 2014 diberi mandat sebagai presiden, Joko Widodo atau Jokowi melalui Nawacita pun langsung mulai tancap gas membangun Indonesia dari pinggiran atau Indonesiasentris, salah satunya yakni di Papua. Itu semua tentu dengan beberapa alasan, satu di antaranya adalah terjadinya ketimpangan cukup besar dalam berkontribusi bagi Produk Domestik Bruto (PDB) secara nasional.
Wilayah Indonesia timur, di mana Papua berada, tercatat hanya menyumbang 19 persen dari PDB nasional. Sedangkan 82 persen lainnya didonasikan oleh Indonesia dengan porsi terbesar ada pada Jawa dan Bali.
Kondisi ini tentu tak elok jika terus dibiarkan, terlebih Indonesia timur wilayahnya lebih luas dari Indonesia barat atau 756.741 kilometer persegi (km2) berbanding 616.051 km2. Ketimpangan demi ketimpangan tersebut berefek kepada tertatihnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia timur, utamanya Papua.
Oleh sebab itu pula, sejak tahun pertama menjabat, Jokowi langsung membuat serangkaian gebrakan bagi Papua. Misalnya melipatgandakan pemberian dana otonomi khusus (otsus) sebagai amanat Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua, selama rentang 2014 hingga 2023 saja dana otsus yang telah diterima berjumlah Rp92,6 triliun. Besarnya jumlah anggaran yang diberikan pada Papua menunjukkan perhatian spesial pemerintah terhadap Bumi Cenderawasih.
Otsus masih menjadi langkah strategis untuk pembangunan di Papua karena membuka ruang bagi orang asli Papua (OAP) untuk makin berperan di berbagai sektor. Terlebih, saat ini tanah Papua dan Papua Barat telah membelah menjadi empat provinsi baru, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.
Selama kurun 10 tahun kepemimpinannya, Jokowi telah menyelesaikan banyak pembangunan infrastruktur seperti 3.462 km jalan termasuk Trans Papua, jembatan, bandar udara, pelabuhan peti kemas Depapre, pendidikan, kesehatan, listrik dan air bersih, sampai kepada pembangunan dan modernisasi 15 unit Pos Lintas Batas Negara (PLBN) antara Papua dan negara Papua Nugini.
Pemerintah pusat turut membangun sarana olahraga modern, Kompleks Olahraga Papua dengan bangunan ikonik Stadion Lukas Enembe yang kemudian menjadi lokasi perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) dan Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2021. Dampak dari begitu masifnya pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat bagi Papua selama 2014--2023 di antaranya adalah turunnya tingkat kemiskinan yakni dari 27,8 persen menjadi 26,03 persen.
Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi meningkat dari 3,25 persen ke 4,37 persen per triwulan II-2024. Hal serupa ikut dirasakan Papua Barat, di mana pada periode sama, angka kemiskinan turun dari 26,26 persen menjadi 20,49 persen dan pertumbuhan ekonomi dari 5,38 persen menjadi 21,11 persen per triwulan II-2024.
Hal lain yang turut dirasakan di Papua dan Papua Barat dalam kurun 2014--2023 adalah sektor kesehatan ketika terjadi penurunan pada prevalensi tengkes (stunting) masing-masing dari 40,1 persen dan 44,6 persen pada 2013 menjadi 28,6 persen dan 16,35 persen pada 2023. Hal serupa juga turut dirasakan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia terutama pada sektor pendidikan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik dari 56,75 menjadi 62,25; usia harapan hidup (UHH) 64,84 tahun menjadi 66,44 tahun; angka melek huruf (AMH) dari 75,92 persen menjadi 78,89 persen.
Selanjutnya pada sektor pendidikan adalah meningkatnya harapan lama sekolah (HLS) dari awalnya 9,94 tahun menjadi 11,15 tahun; rata-rata lama sekolah (RLS) 5,76 tahun menjadi 7,15 tahun. Begitu pula di Papua Barat, angka IPM dari 61,28 menjadi 67,47; UHH 65,14 tahun ke 66,79 tahun; AMH dari 94,14 persen menjadi 97,91 persen. Kemudian, HLS awalnya 11,87 tahun menjadi 13,34 tahun; dan RLS dari 6,96 tahun menjadi 7,93 tahun.
Kendati telah melakukan sejumlah gebrakan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tetap memberikan catatan yang mesti diperbaiki oleh pemerintahan berikutnya demi kemajuan Bumi Cenderawasih. Misalnya, masih rendahnya daya saing SDM Papua, masih kurangnya kualitas kesehatan masyarakat, rendahnya aksesibilitas dan konektivitas antarwilayah Papua. Pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan digital belum merata dan pemanfaatan dana otsus yang belum maksimal.
Catatan Bappenas ini tentu harus menjadi panduan dan pekerjaan rumah pemerintahan Prabowo Subianto agar pondasi kemajuan Papua yang telah ditancapkan Jokowi dan dibuktikannya dengan 18 kali menggelar kunjungan kerja ke Papua bisa segera diteruskan oleh Prabowo hingga lima tahun ke depan atau sampai 2029 nanti. Selamat datang Prabowo dan terima kasih Jokowi.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/TR