Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih tengah menyiapkan berbagai langkah menghadapi guncangan global tersebut. Seperti kebijakan Deregulasi yaitu penyederhaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Barrier.
Negara-negara di dunia memanas, mata uang dolar Amerika Serikat (AS) menguat, dan pasar saham terguncang. Sebagai respons dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif resiprokal kepada puluhan negara yang perdagangannya surplus dari AS, pada 2 April 2025.
Indonesia sendiri terkena tarif sebesar 32 persen dari basis tarif sebesar 10 persen yang diterapkan AS kepada semua negara dan tarif yang dikenakan AS saat ini. Tarif resiprokal AS ini akan berlaku mulai 9 April 2025. Pengenaan tarif resiprokal AS ini akan memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS. Selama ini produk ekspor utama Indonesia di pasar AS antara lain adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut.
Menariknya, kurang dari 24 jam setelah tarif resmi diberlakukan, Presiden Trump secara mengejutkan mengumumkan penundaan pengenaan tarif pada Kamis (10/4/2025). Jeda penerapan tarif timbal balik ke-56 negara mitra dagang, termasuk Indonesia, berlaku 90 hari atau tiga bulan penuh.
Hanya saja, penundaan ini tidak berlaku untuk Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Negara Tirai Bambu baru-baru ini melawan kebijakan tarif Trump dengan memasang tarif impor barang-barang AS menjadi 145 persen. Tidak hanya itu, Tiongkok juga membuat kebijakan non-tarif lainnya seperti melarang sejumlah film produksi AS masuk hingga melarang warganya bepergian dan belajar di Negeri Paman Sam. Meski demikian, pemerintah AS tetap membuka impor produk teknologi informasi, telepon genggan, chip microprocessor, dan laptop dari Tiongkok.
Menindaklanjuti kebijakan Tarif Resiprokal Presiden Trump, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bergerak cepat membangun komunikasi dengan negara-negara ASEAN yang sama-sama terkena tarif resiprokal AS. Menko Airlangga memilih untuk segera berkomunikasi dan mendatangi Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim yang saat ini bertindak selaku Keketuaan ASEAN tahun 2025.
Seperti diketahui, Indonesia dan Malaysia akan memanfaatkan Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (Trade and Investment Framework Agreement/TIFA) dengan AS untuk mencari keuntungan dari perdagangan timbal balik dan mengupayakan berbagai perjanjian kerja sama dengan AS. Menko Airlangga menegaskan, "Perlu dilakukan sinkronisasi antar negara-negara ASEAN karena dari 10 negara ASEAN, semua terkena dampak kebijakan tarif resiprokal AS sehingga perlu secara kolektif membangun komunikasi dan engagement dengan Pemerintah AS."
Menindaklanjuti sikap pemerintah AS tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati bersama Menteri Keuangan negara-negara ASEAN menyiapkan respons kebijakan tarif Presiden Donald Trump pada Pertemuan Menteri Keuangan ASEAN di bawah keketuaan Malaysia.
Untuk itu, Menteri Sri Mulyani menyatakan kebijakan AS itu meruntuhkan sistem perdagangan dunia berbasis aturan (rule based system), seperti World Trade Organization (WTO) dan Bretton Wood Institutions.
“Sistem yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia II untuk menciptakan kemajuan ekonomi bersama, namun memicu relokasi pabrik/manufaktur keluar Amerika Serikat dan menciptakan pengangguran,” kata Menkeu Sri Mulyani, Kamis (10/4/2025).
Dampak dari kebijakan tarif resiprokal AS ini memaksa setiap negara bernegosiasi langsung bilateral dengan pemerintahan Donald Trump. Akan tetapi, dari puluhan negara yang terkena tarif, hanya RRT mengambil langkah melakukan retaliasi dengan memberlakukan tarif tandingan, yang kemudian direspons kembali oleh AS dengan menaikkan tarif dagang hingga 125 persen.
Dalam pertemuan itu, seluruh Menkeu ASEAN menjelaskan kondisi ekonomi terkini akibat kebijakan Presiden Trump, langkah menangani dan memitigasi risiko, serta upaya negosiasi dengan AS.
Menkeu RI menyatakan ASEAN dengan ukuran ekonomi mencapai USD3 triliun dan populasi di atas 650 juta penduduk memiliki potensi untuk makin bekerja sama erat menjaga dan memperkuat ekonomi regional.
Untuk itu, Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih tengah menyiapkan berbagai langkah menghadapi guncangan global tersebut. Seperti kebijakan Deregulasi, yaitu penyederhaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Barrier.
Hal ini juga sejalan dalam upaya meningkatkan daya saing, menjaga kepercayaan pelaku pasar dan menarik investasi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Langkah kebijakan strategis lainnya adalah terus memperbaiki iklim invetasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja yang luas.
Kondisi demikian membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas pasar di luar AS. Di era Presiden Prabowo Subianto, Indonesia bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) sebagai upaya memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Keanggotaan Indonesia di BRICS memperkuat berbagai perjanjian dagang multilateral.
Indonesia juga telah menandatangani perjanjian seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan 10 negara ASEAN dan Australia, RRT, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru, yang mencakup 27 persen perdagangan global, serta aksesi ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mencakup 64 persen perdagangan global. Termasuk beberapa perjanjian dagang lainnya CP-TPP, IEU-CEPA, dan I-EAEU CEPA.
Selain berbagai perjanjian dagang multilateral, Indonesia juga memiliki perjanjian dagang bilateral dengan Korea, Jepang, Australia, Pakistan, Uni Emirat Arab, Iran, Chile, dan berbagai negara lainnya.
APBN Sebagai Bantalan dan Deregulasi
Pemerintah tetap memakai APBN sebagai bantalan menghadapi ancaman perang tarif dagang. Seperti terungkap dalam Sarasehan Ekonomi di Jakarta, Senin (7/4/2025) yang dihadiri langsung oleh Presiden RI. Sejumlah pengusaha, ekonomi, perwakilan buruh hadir di acara itu.
Di dalam kesempatan itu, Menkeu Sri Mulyani menerangkan untuk menghadapi guncangan ekonomi global yang ditimbulkan oleh tarif resiprokal AS, pemerintah mengandalkan APBN. Dengan melanjutkan berbagai program subsidi dan perlindungan sosial, khususnya kepada masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Total dalam APBN 2025 dianggarkan Rp504,7 triliun untuk program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, subsidi energi, BLT desa, dan subsidi suku bunga KUR.
“Kami akan terus melakukan reform, terutama di bidang pajak, bea cukai, dan prosedur supaya ini betul-betul mengurangi beban. Sesuai dengan penekanan Bapak Presiden (Prabowo Subianto) ini adalah waktu yang tepat untuk deregulasi dan reform yang lebih ambisius,” ujar Menkeu.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga akan berusaha mengurangi 14 persen beban tarif impor yang dirasakan pengusaha. Upaya tersebut dilakukan dengan mengurangi 2 persen beban pengusaha yang berasal dari reformasi administrasi perpajakan dan bea cukai, memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen, menyesuaikan tarif bea masuk produk impor yang semula di kisaran 5-10 persen menjadi 0-5 persen, dan menurunkan tarif bea keluar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Presiden Prabowo Subianto menyambut baik usulan dari forum tersebut dan akan dibahas bersama di jajaran kabinet. Dalam sesi dialog di forum tersebut, berbagai isu dibahas mulai dari usulan pembentukan Satgas PHK untuk menangani lonjakan pemutusan hubungan kerja, permintaan fleksibilitas kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), penyederhanaan birokrasi investasi dan perizinan, pemberian insentif bagi industri padat karya, perlindungan bagi tenaga kerja yang terdampak disrupsi industri, serta dorongan untuk menciptakan ekosistem usaha yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan dinamika pasar global.
Menurut anggota DPR RI Novita Haridi, Indonesia harus tetap melihat peluang di tengah ancaman krisis global akibat kebijakan tarif AS. Diakui, persentase perdagangan dengan AS terhadap total perdagangan Indonesia sekitar 8,1 persen. Namun, kenaikan tarif impor terbaru sebanyak 32 persen tentunya berpotensi menurunkan volume dan nilai perdagangan.
“Terdapat beberapa dampak positif meski terbatas, bagi ekonomi dalam negeri, khususnya segmentasi pelaku usaha menengah-bawah, dari adanya kebijakan tersebut,” jelasnya.
Setidaknya, menurut dia, dengan adanya peningkatan tarif masuk ke AS, dapat mendorong pelaku usaha untuk mendiversifikasi pasar ekspor baru, dan dalam rangka meningkatkan market value. Misalnya Indonesia dibantu oleh pemerintah, dapat menyasar pasar-pasar baru seperti Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.
Langkah ini juga dalam rangka mengurangi ketergantungan ekspor ke AS. Dengan sudah "berlisensi" ekspor ke AS, produk-produk Indonesia tidak mengalami banyak kesulitan standardisasi ke daerah pasar baru nantinya.
Peluang lainnya adalah penguatan industri domestik. Jika barang AS juga dikenakan tarif yang tinggi oleh Indonesia, maka produk lokal lebih bisa bersaing di pasar dalam negeri. Selain itu, substitusi impor sangat mungkin terjadi, dan ini menjadi peluang bagi UMKM untuk meningkatkan nilai pasarnya.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Untung S