Kala distribusi dokter masih timpang dan konsentrasi spesialis di kota besar masih tinggi, insentif ini membuka jalan agar wilayah terluar Indonesia juga mendapatkan layanan yang layak.
Di ujung negeri, di pulau-pulau kecil yang hanya bisa dicapai dengan perahu bermesin tempel, di desa-desa yang dikelilingi hutan lebat, ada sosok-sosok berseragam putih yang menjadi tumpuan harapan. Mereka bukan sekadar tenaga medis—mereka adalah penjaga nyawa di garis terdepan.
Kini, negara hadir memberi penghormatan yang nyata. Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2025 yang memberikan tunjangan khusus sebesar Rp30.012.000 per bulan bagi 1.100 dokter spesialis, dokter subspesialis, dokter gigi spesialis, dan dokter gigi subspesialis yang bertugas di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK).
“Kebijakan ini adalah bentuk apresiasi dan kehadiran negara terhadap dokter yang memberikan pengabdian tulus di daerah dengan akses terbatas,” ujar Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, di Jakarta, Senin (5/8/2025).
Kala distribusi dokter masih timpang dan konsentrasi spesialis di kota besar masih tinggi, insentif ini membuka jalan agar wilayah terluar Indonesia juga mendapatkan layanan yang layak.
Sejauh ini, masih terjadi ketimpangan yang nyata antara ketersediaan dokter di kota maupun di wilayah terpencil. Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jumlah dokter spesialis di Indonesia mencapai sekitar 47.454 orang hingga Desember 2023, dengan rasio 0,17 per 1.000 penduduk — jauh di bawah ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Padahal dengan jumlah seluruh penduduk di angka 280 juta jiwa, maka jumlah ideal dokter spesialis setidaknya 78 ribu dokter. Angka tersebut merujuk dari target rasio dokter spesialis dan jumlah penduduk, yaitu 0,28 per 1.000 penduduk. Bahkan, 59 persen pelayanan dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota besar.
Tidak jauh-jauh di wilayah terluar dan perbatasan. Misalnya di Provinsi Bengkulu, jumlah dokter spesialis hanya di bawah 400. Itu pun tersebar untuk melayani 10 kabupaten/kota, dengan sebagian wilayah, bahkan tanpa dokter spesialis tetap.
Ide Langsung dari Presiden
Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah mengambil langkah pemberian tunjangan khusus bagi dokter spesialis. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan, kebijakan ini merupakan ide langsung dari Presiden Prabowo. "Beliau yang minta ini dibuat, untuk memastikan tenaga medis kita di pelosok tidak hanya hadir, tetapi juga dihargai," ujarnya.
Tahap pertama tunjangan ini diprioritaskan bagi mereka yang bertugas di daerah dengan akses sulit, kekurangan tenaga medis, dan memerlukan intervensi afirmatif dari pemerintah pusat. Di luar gaji pokok dan tunjangan lain, insentif ini akan berjalan bersama dukungan pelatihan berjenjang serta pembinaan karier.
“Jangan sampai tenaga kesehatan yang kita tempatkan di pelosok terabaikan pengembangannya. Mereka harus tetap mendapat akses pendidikan dan pelatihan agar profesionalisme terjaga,” kata Menkes.
Bentuk Nyata Asta Cita
Bagi Presiden Prabowo, kesehatan adalah fondasi kesejahteraan rakyat—bagian dari Asta Cita yang menempatkan peningkatan layanan kesehatan merata sebagai prioritas nasional. Kebijakan tunjangan khusus ini menjadi salah satu cara untuk memperbaiki distribusi dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia, termasuk DTPK atau 3T.
Dengan jumlah dokter spesialis yang masih terkonsentrasi di kota besar, daerah terpencil kerap menghadapi kekosongan layanan kritis. Perpres ini menjembatani ketimpangan itu, memastikan bahwa warga di perbatasan pun mendapat hak yang sama atas pelayanan kesehatan berkualitas.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, menyebut tunjangan ini sebagai motivasi besar. "Bisa mengurangi kesenjangan akses layanan kesehatan dan memotivasi para dokter untuk mengabdi di daerah tertinggal," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa insentif finansial harus dibarengi fasilitas pendukung. Tempat tinggal layak, akses listrik, air bersih, dan internet memadai menjadi kebutuhan yang tak kalah penting. “Fasilitasnya baik, dokter akan lebih betah. Pasien pun akan merasakan pelayanan yang lebih optimal,” tambahnya.
Piprim juga menekankan pentingnya ketersediaan peralatan medis, obat-obatan, dan alat diagnostik yang memadai di fasilitas kesehatan. Tanpa itu, kompetensi dokter tak akan bisa dimaksimalkan.
Oleh karena itu, pemerintah pusat mengajak pemerintah daerah untuk aktif mendukung kebijakan ini, baik dari sisi anggaran maupun logistik. “Kita ingin dokter yang mengabdi di perbatasan merasa dihargai, terlindungi hak-haknya, dan mampu memberikan pelayanan terbaik,” tegas Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Di tengah semangat HUT ke-80 Kemerdekaan RI, kebijakan ini menjadi pengingat bahwa kedaulatan bangsa bukan hanya soal menjaga batas wilayah, tetapi juga menjaga kualitas hidup warganya. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, dokter-dokter spesialis yang kini bekerja di garis terdepan akan merasakan bahwa negara berdiri bersama mereka.
Seperti visi Asta Cita, langkah ini bukan sekadar program—ia adalah janji bahwa kemerdekaan harus hadir di setiap ruang rawat, di setiap puskesmas, dan di setiap detak jantung rakyat Indonesia, di mana pun mereka berada.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Untung Sutomo