UMKM membutuhkan modal kerja untuk membeli bahan baku, memperluas kapasitas produksi, atau menambah tenaga kerja. Tanpa akses kredit, banyak pelaku usaha terpaksa mengandalkan dana pribadi yang sangat terbatas.
Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa kredit perbankan masih perlu terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan pada Juli 2025 tumbuh sebesar 7,03 persen (year on year/yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juni 2025 sebesar 7,77 persen (yoy).
Dari sisi penawaran, di tengah penurunan suku bunga moneter, pelonggaran likuiditas, dan insentif kebijakan makroprudensial yang ditempuh BI, perilaku perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit, antara lain tecermin pada standar penyaluran kredit (lending standard) yang meningkat.
Perbankan lebih memilih menempatkan kelebihan likuiditas pada surat-surat berharga. Longgarnya likuiditas perbankan tersebut juga ditopang oleh pertumbuhan DPK pada Juli 2025 yang meningkat menjadi 7,00 persen (yoy) seiring ekspansi keuangan Pemerintah.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit lebih banyak ditopang oleh sektor-sektor yang berorientasi ekspor, khususnya pertambangan dan perkebunan, serta sektor transportasi, industri, dan jasa sosial. Secara keseluruhan, perlambatan kredit mencerminkan permintaan dari pelaku usaha yang belum kuat dan cenderung menggunakan pembiayaan internal bagi usahanya.
Berdasarkan penggunaan, pertumbuhan kredit konsumsi dan kredit modal kerja belum kuat yang masing-masing tumbuh sebesar 8,11 persen (yoy) dan 3,08 persen (yoy) sedangkan kredit investasi tumbuh tinggi sebesar 12,42 persen (yoy) sejalan dengan tingginya pertumbuhan investasi. Sementara itu, pembiayaan syariah tumbuh sebesar 8,31 persen (yoy), sedangkan pertumbuhan kredit UMKM masih rendah sebesar 1,82 persen (yoy).
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan, termasuk melalui kebijakan makroprudensial yang longgar dan mempererat koordinasi dengan KSSK. Secara keseluruhan, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2025 berada dalam kisaran 8-11 persen.
Lebih dari Sekadar Modal
Bagi banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), akses terhadap kredit bukan lagi sekadar pilihan—tetapi kebutuhan. Di tengah persaingan pasar dan naiknya biaya operasional, ketersediaan pembiayaan dari perbankan bisa menjadi pembeda antara usaha yang bertahan, berkembang, atau justru gulung tikar.
Sayangnya, hingga Juli 2025, pertumbuhan kredit ke sektor UMKM tercatat masih rendah, hanya sebesar 1,82 persen secara tahunan (year-on-year), jauh di bawah pertumbuhan kredit investasi dan kredit konsumsi. Hal ini menunjukkan masih adanya hambatan struktural dan psikologis dalam penyaluran kredit ke sektor produktif yang menopang lebih dari 60 persen tenaga kerja nasional.
UMKM membutuhkan modal kerja untuk membeli bahan baku, memperluas kapasitas produksi, atau menambah tenaga kerja. Tanpa akses kredit, banyak pelaku usaha terpaksa mengandalkan dana pribadi yang sangat terbatas.
Di era digital dan pasar terbuka, UMKM harus berinovasi dan bersaing dengan pemain besar. Kredit memungkinkan mereka membeli teknologi, alat produksi modern, hingga ekspansi ke pasar online.
Kredit membantu UMKM untuk menjaga arus kas tetap sehat, dan juga membantu untuk ekspansi usaha dan menjangkau pasar baru.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rendahnya penyaluran kredit ke UMKM disebabkan oleh sikap hati-hati bank dalam menjaga kualitas kredit di tengah ketidakpastian global. Bank juga menilai risiko kredit UMKM lebih tinggi dibanding sektor lain, meskipun sektor ini terbukti lebih tahan terhadap krisis.
Tak hanya dari sisi bank, rendahnya permintaan kredit juga disebabkan oleh keterbatasan literasi keuangan pelaku UMKM, minimnya agunan, serta ketergantungan pada pembiayaan internal. Banyak pelaku UMKM masih menganggap kredit sebagai “beban” ketimbang “alat” untuk tumbuh.
OJK juga menilai masih rendahnya pertumbuhan kredit ke sektor UMKM dikarenakan perbankan saat ini berfokus untuk menjaga kualitas penyaluran kredit sebagai bentuk mitigasi terhadap potensi peningkatan risiko kredit di tengah perlambatan ekonomi global.
Hal ini ditunjukkan dengan rasio NPL gross yang menurun dan berada di bawah threshold yaitu 2,22 persen. Rasio LaR pada Juni 2025 sebesar 9,73 persen, bahkan lebih rendah dari LaR sebelum pandemi. Hal ini menunjukkan komitmen bank terhadap perbaikan kualitas kredit dan penurunan risiko kredit perbankan.
Pacu Penyaluran Kredit ke UMKM
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menuturkan pihaknya optimistis terhadap perekonomian Indonesia dan kondisi perbankan ke depan didukung oleh kesepakatan tarif impor AS terhadap produk Indonesia, penurunan BI Rate, percepatan belanja pemerintah, serta beberapa program pemerintah yang diyakini akan mendorong penyaluran kredit, menjaga stabilitas pangan, dan membantu daya beli masyarakat.
Menurut Dian, pelaksanaan beberapa program pemerintah yang telah dicanangkan antara lain program Koperasi Merah Putih (KMP) yang didukung oleh dana pemerintah, tiga juta perumahan, serta Makan Bergizi Gratis (MBG), dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai kesempatan pengembangan usaha termasuk dalam rangka pertumbuhan kredit/pembiayaan.
"Sebagai upaya dalam mendorong kinerja industri perbankan, OJK akan segera menerbitkan POJK tentang Akses Pembiayaan UMKM yang diharapkan dapat meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Dian.
Di tengah dinamika global maupun domestik yang tidak menentu, OJK mendorong bank untuk tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasionalnya. Meski melambat, namun kredit perbankan masih tetap tumbuh. Selain itu, nominal kredit bermasalah mampu ditekan yang mendorong penurunan NPL gross.
Hingga 8 Juli 2025, kinerja bank-bank kecil pada kelompok KBMI 1 dan KBMI 2 masih tercatat baik. Pertumbuhan kredit tertinggi (yoy) justru dialami oleh bank-bank pada KBMI 1, utamanya bank yang terafiliasi platform digital. Mitigasi risiko kredit juga telah dilakukan yang tecermin dari coverage CKPN NPL yang cukup tinggi.
Dari sisi likuiditas, bank pada kelompok KBMI 1 dan KBMI 2 berada pada kondisi yang cukup ample yang ditunjukkan oleh rasio AL/NCD dan AL/DPK posisi Juni 2025 yang tumbuh secara yoy dan masing-masing berada jauh di atas threshold (KBMI 1: 177,13 persen & 34,38 persen; KBMI 2: 206,56 persen & 40,80 persen). Risiko kredit kedua kelompok bank tersebut juga masih terjaga yang ditunjukkan oleh NPL yang terjaga di bawah threshold (KBMI 1: 2,61 persen; KBMI 2: 2,57 persen).
Selain itu, ketahanan bank pada kelompok KBMI 1 dan KBMI 2 masih cukup kuat dengan rasio CAR yang jauh di atas threshold yaitu 30,75 persen dan 36,56 persen (Juni 2025) yang diharapkan mampu menjadi buffer dalam menyerap potensi risiko.
Untuk mengukur ketahanan bank dalam menghadapi berbagai potensi shocks makro ekonomi, OJK secara rutin melakukan stress test untuk mengevaluasi ketahanan perbankan Indonesia. Di sisi lain masing-masing bank juga melakukan stress test secara mandiri menggunakan skenario dan asumsi yang disiapkan oleh otoritas (OJK & BI).
"Baik hasil stress test OJK maupun hasil stress test mandiri oleh perbankan menunjukkan bahwa tingkat permodalan perbankan saat ini masih sangat memadai untuk menghadapi risiko yang disebabkan oleh perubahan signifikan dalam kondisi makro ekonomi Indonesia," kata Dian.
Dengan proyeksi ekonomi nasional yang diperkirakan tetap tumbuh di tengah kondisi ketidakpastian global, perbankan tetap dapat mengambil peluang bisnis yang ada dalam meningkatkan kontribusinya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut dilakukan dengan tetap memperkuat kerangka manajemen risiko dan tata kelola yang lebih responsif dan adaptif terhadap ketidakpastian. Pendekatan proaktif menjadi kunci untuk memastikan stabilitas sistem keuangan dan keberlanjutan bisnis di tengah kondisi yang terus berubah.
Bagi seorang pelaku usaha mikro, kredit bukanlah sekadar angka di laporan keuangan bank. Ia adalah nyawa yang memungkinkan mereka membeli bahan baku, meningkatkan kapasitas produksi, berinovasi di era digital, dan akhirnya bertahan di tengah persaingan yang makin ketat.
Dalam perspektif yang lebih luas, kesehatan sektor UMKM adalah penopang utama ketahanan ekonomi nasional, yang menyerap lebih dari 60 persen tenaga kerja Indonesia.
Kolaborasi antara otoritas, perbankan, dan pemerintah menjadi kunci untuk membuka kran akses kredit UMKM. Diperlukan pendekatan yang tidak hanya memastikan stabilitas melalui prinsip kehati-hatian, tetapi juga keberpihakan yang nyata melalui kebijakan yang memberdayakan.
Karena pada akhirnya, memastikan aliran kredit kepada UMKM sama dengan mengamankan masa depan perekonomian bangsa yang lebih tangguh dan inklusif.
Penulis: Ismadi Amrin
Redaktur: Untung S
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-ekonomi-bisnis/935894/memacu-penyaluran-kredit-umkm-di-tengah-tantangan-global