Perkawinan anak berdampak masif di antaranya meningkatnya risiko putus sekolah, pendapatan rendah, dan kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan.
Fase pandemi virus corona tidak hanya membuat hampir semua kegiatan multisektor menjadi terganggu dan menyebabkan sekitar lebih dari 1,3 juta orang terkonfrmasi positif virus SARS COV-2. Pandemi yang telah berlangsung sejak setahun terakhir juga meningkatkan angka perkawinan anak.
Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI, terjadi peningkatan dispensasi perkawinan hingga tiga kali lipat. Yaitu, dari 23.126 kasus pada 2019 menjadi 64.211 kasus setahun kemudian.
Dispensasi ini merujuk Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah permohonan yang diajukan oleh orang tua calon pengantin kepada Badilag disebabkan masih anak-anak, atau disebut juga sebagai perkawinan anak. Produk hukum tersebut kemudian diamandemen menjadi UU nomor 16 tahun 2019 termasuk merevisi syarat usia minimal calon pengantin.
Jika semula pada UU 1/1974, batas minimal usia perempuan melaksanakan perkawinan adalah 16 tahun, maka tidak demikian halnya pada peraturan perundangan baru. Disebutkan bahwa saat ini syarat usia minimal baik bagi perempuan ataupun laki-laki untuk dapat melaksanakan perkawinan adalah 19 tahun.
Amandemen UU 1/1974 tersebut merupakan sikap pemerintah untuk mencegah makin meningkatnya tren perkawinan anak. Tindakan itu diikuti pula dengan diterbitkannya Peraturan MA nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik yang digelar 2018 menemukan fakta bahwa angka perkawinan anak masih terbilang tinggi di Indonesia yaitu mencapai 1.220.900 kasus. Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21 persen. Artinya 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini kontras dengan laki-laki, di mana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.
Oleh karena itu, perkawinan anak telah menjadi isu mendesak untuk diselesaikan. Pencegahan perkawinan anak adalah satu-satunya program percepatan yang tidak boleh ditunda lagi. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan selalu menekankan upaya untuk menekan tingginya angka perkawinan anak. Bahkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024, Presiden menyebutkan, perkawinan anak harus ditekan sampai angka 8,74 persen pada 2024.
Perkawinan anak juga masih menjadi masalah serius bagi sejumlah daerah di Indonesia, karena angkanya cukup tinggi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebutkan, sebanyak 22 provinsi pada 2019 diketahui memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional sebesar 10,82 persen.
Padahal pada 2018, hanya terdapat 18 provinsi dengan angka perkawinan di atas rata-rata nasional. Sedangkan pada 2020 angka perkawinan anak turun 0,6 persen menjadi 10,22 persen.
Pelanggaran HAM
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan, perkawinan anak berdampak masif di antaranya meningkatnya risiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan. Selain itu terdapat ketidaksiapan mental dalam membangun rumah tangga sehingga akan memicu tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pola asuh tidak benar, hingga berujung pada perceraian.
Itu sebabnya perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). “Praktik perkawinan anak akan berdampak buruk terhadap tumbuh kembang dan kehidupannya di masa yang akan datang. Sehingga perkawinan anak juga merupakan pelanggaran HAM karena hak anak adalah bagian dari HAM. Salah satu tantangan terbesar adalah karena perkawinan anak sangat lekat dengan aspek tradisi, budaya, dan masalah ekonomi karena akan berpotensi memunculkan kemiskinan antargenerasi,” ujar Bintang dalam diskusi daring terkait perkawinan anak di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Ketua Harian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Zumrotin Kasru Susilo menyebutkan, perkawinan anak dapat mengganggu kesehatan reproduksi termasuk dapat menyebabkan munculnya kanker mulut rahim atau serviks. Ini akibat melakukan hubungan seksual di perkawinan usia anak karena dalam ilmu kesehatan reproduksi, indung telur belum matang untuk bereproduksi.
Zumrotin pun menekankan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi kepada kelompok perempuan, termasuk para pelajar meski membicarakan hal tersebut masih dianggap tabu bagi sebagian orang. Sementara itu, bagi Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati, pentingnya memberikan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi bahkan tidak hanya saat anak menginjak usia remaja, melainkan dimulai sejak anak masih balita.
Langkah itu penting, menurut Erna, karena menyiapkan generasi unggul bisa dicapai apabila pelayanan kesehatan diberikan secara optimal. Yakni, sambung dia, sejak anak masih di dalam kandungan sampai menginjak usia reproduksi. "Pentingnya memastikan anak tumbuh sehat dan berdaya saing dengan dibekali pengetahuan kesehatan reproduksi sedini mungkin, sesuai usia dan kondisi anak, baik secara formal dalam pendidikan maupun informal dalam masyarakat,” kata Erna.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo sepakat bahwa pada perkawinan anak terdapat bahaya besar yang sedang mengintai, utamanya bagi anak perempuan. Dokter spesialis kandungan itu menyebutkan adanya lima dampak serius sebagai hasi perkawinan anak terutama bagi perempuan. Di antaranya pada perkawinan usia dini sangat berpotensi melahirkan anak yang mengalami kekerdilan (stunting).
Selain itu, menurut mantan Bupati Kulonprogro tersebut, perempuan hamil sebelum 19 tahun atau dalam usia pertumbuhan, maka fungsi tulang akan terhenti tumbuhnya. Kecenderungan mengalami osteoporosis atau keropos tulang pun dapat terjadi. Ini akibat perempuan yang menikah di usia anak kehilangan kesempatan melewati titik puncak massa tulang (peak bone mass) saat berusia 32 tahun. Begitu juga saat memasuki usia menopause atau berhenti menstruasi sekitar usia 50 tahun, maka terancam mengalami tubuh bungkuk dan rentan mengalami fraktur atau tulang patah.
Senada dengan Hasto, Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Eva Devita Harmoniati mengatakan, perkawinan anak bukan saja berdampak negatif pada kesehatan fisik ibu berusia remaja. Tetapi juga kesehatan mental seperti baby blues, depresi, ansietas, sulit menyatu (bonding) dengan bayinya. Bahkan juga berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti bayinya.
Selain itu dampak jangka panjang kesehatan bayi yang dilahirkan dalam kondisi stunting dari perkawinan anak dapat menyebabkan pencapaian akademis rendah serta berisiko mengalami KDRT dan penelantaran. Karena itu, perkawinan anak bukan saja masalah di satu fase kehidupan saja, tapi juga dapat berlanjut ke generasi selanjutnya.
Ini tentu menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegah perkawinan anak. Diperlukan kerja sama multisektor untuk mencegahnya dan jika sudah terlanjur terjadi sebuah perkawinan anak, maka perlu dilakukan intervensi dini pada remaja ibu hamil.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari