Kiprah anak-anak Papua di Kampus Unversitas Corban di Kota Salem, Oregon, Amerika Serikat (AS), tak bisa dipandang sebelah mata. Sherina Fernanda Msen meraih predikat magna cum laude dalam bidang studi akutansi dan manajemen bisnis, dan Yafeth Werijo yang mahasiswa linguistik dinobatkan sebagai wisudawan terbaik. Sementara itu, lima putra Papua lainnya lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Tak pelak, pada acara wisuda awal Mei lalu itu, putra-putri Papua menarik perhatian wisudawan lain yang datang bersama keluarga mereka. Apa lagi, hadir rombongan dari Papua yang dipimpin Gubernur Lukas Enembe. Didampingi istri serta sejumlah pejabat daerah, Gubernur Lukas menyaksikan prosesi wisuda. Kepada Gubernur Lukas Enembe, pimpinan Universitas Corban menyampaikan penghargaanya atas prestasi mahasiwa asal Papua.
Pemprov Papua memanfaatkan dana otonomi khususnya, antara lain, untuk mengirim anak-anak cerdas Papua belajar ke Amerika. Dalam 8 tahun terakhir, 60 anak Papua telah menamatkan studinya di Corban University. Belum lagi yang ke Rhode Island, di pantai Timur AS. Dua pekan usai acara wisuda di Corban University, 12 mahasiswa Papua diinagurasi di University of Rhode Island. Tiga di antara mereka meraih beasiswa dari Pemerintah AS untuk melanjutkan Studi S2 mereka di sejumlah universitas.
Investasi pada peningkatan sumber daya manusia menjadi prioritas Pemprov Papua. Tidak hanya keluar negeri, Pemprov Papua juga menggirim mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Makassar, Surabaya, Malang, dan Denpasar.
Pemajuan pendidikan jadi isu penting di Papua, untuk mempercepat peningkatan kualitas hidup masyarakat. Salah satu indikatornya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara umum IPM Provinsi Papua dan Papua Barat masih tertinggal dari bagian lain di Indonesia. Dari 25 kabupaten dengan IPM terendah di Indonesia, 23 di antaranya ada di Tanah Papua, dua lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Saat ini secara rata-rata IPM Indonesia mencapai 71,39 (2018). Secara internasional berlaku ketentuan, bahwa IPM disebut sangat tinggi bila lebih dari 80, kategori tinggi itu 70-80, kategori sedang 60-70, dan di bawah 60 tergolong rendah. IPM Provinsi Papua pada 2018 tercatat 60,06, masuk ke katagori sedang, setelah mengalami kenaikan 0,97 poin dari 2017. Lompatan itu pun mengakhiri kisah panjang Papua sebagai daeerah dengan kualitas kehidupan yang rendah.
Kondisi Papua Barat sedikit lebih baik. Sejak beberapa tahun lalu, Papua Barat sudah bertenggger pada posisi di atas 60, dan pada tahun 2018 tercatat dii posisi 63,74 – naik 0,75 poin dari tahun sebelumnya.
IPM adalah indikator yang berlaku secara umum di seluruh dunia. Indeks tersebut mencerminkan tiga aspek kehidupan, yakni tingkat pendidikan (diukur dari durasi pergi sekolah), kualitas kesehatan (yang diindikasikan dengan angka harapan hidup), dan pengeluaran per kapita (uang) yang dikaitkan dengan biaya minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik (makanan).
Dengan IPM 60,06 bisa didiskripsikan, bahwa anak-anak Papua yang lahir di tahun 2018 punya harapan hidup 65,36 tahun, dan anak-anak berusia 7 tahun punya harapan menempuh pendidikan 10,83 tahun (SLA kelas 1), sedangkan rata-rata penduduk berusia 25 tahun ke atas durasi pendidikannya 6,52 tahun (kelas 1 SMP). Ada pun pengeluaran per kapita per tahunnya adalah Rp7,159 Juta, yang untuk tingkat kemahalan di Papua terhitung sangat pas-pasan.
Bila ditarik ke level kabupaten/kota, ada pula beberapa daerah di wilayah Barat Indonesia yang masih berjuang untuk naik kelas. Yang ada di level IPM 60 itu, antara lain, Kabupaten Sampang, Madura (Jawa Timur), Kabupaten Nias dan Nias Utara (Sumut). Untuk level IPM 63, yang setara dengan Papua Barat, antara lain, Kabupaten Cianjur di Jawa Barat, Pendeglang, dan Lebak di Banten, serta Musi Rawas Utara di Sumatra Selatan.
Bila dirinci ke kabupaten/kota, di Provinsi Papua dan Papua Barat pun terdapat kantong-kantong warga dengan IPM di atas 70 (tinggi). Untuk Papua ada di Kabupaten Jayapura, Biak Numfor, Mimika, dan Kota Jayapura. Di Papua Barat, yang tergolong ber-IPM tinggi adalah Kota Sorong dan Manokwari.
Kota Jayapura mencatat IPM 79,58, selangkah lagi masuk katagori IPM sangat tinggi. Dengan IPM 79,58 itu, Kota Jayapura mengukir angka harapan hidup 70,15 tahun, anak-anak usia 7 tahun punya harapan bersekolah sampai 14,9 tahun (D-3), dan rata-rata pendidikan warga usia 25 tahun ke atas adalah 11,3 tahun (kelas 3 SLA). Pada daftar IPM nasional 2018, Kota Jayapura berada di peringkat 33, di atas kota-kota besar seperti Bengkulu, Kupang, Manado, Pontianak, Palembang, atau Jambi.
Namun, kesenjangan IPM di Provinsi Papua ini masih memprihatinkan.Dari 29 kabupaten kota di sana, hanya 4 yang masuk IPM tinggi. Yang tergolong IPM sedang 8, termasuk Merauke (69,38) yang dalam satu dua tahun ke depan akan masuk golongan IPM tinggi. Selebihya, 17 kabupaten tergolong daerah ber-IPM rendah. Bahkan, beberapa sangat rendah (di bawah 50) seperti di Deiyai (49,53), Pegunungan Bintang (44,22), Puncak Jaya (47,39), bahkan Kabupaten Nduga sangat tertinggal dengan IPM 29,42.
Di Provinsi Papua Barat kondisinya lebih baik. Dari 9 kabupaten/kota yang ada, dua termasuk ber-IPM tinggi (Kota Manokwari dan Sorong), tiga berkatagori sedang, dan empat rendah. Ada kecenderungan bahwa daerah pesisir memiliki IPM lebih tinggi. Kecenderungan yang sama juga terlihat pula di Papua (induk). Empat dari lima daerah dengan IPM tertingginya ada di pesisir. Begitu halnya wilayah yang ber-IPM sedang lebih banya di pinggir laut seperti Nabire dan Pulau Yapen.
Daerah pegunungan di pedalaman lebih sulit berkembang. Kabupaten Jayawijaya, dengan Ibukotanya Wamena yang memiliki bandara megah, masih katagori IPM rendah (56,82). Secara politik, daerah ber-IPM rendah itu juga memiliki potensi mudah bergolak seperti di Deiyai, Dogiyai, Pegunungan Bintang, Nduga, dan beberapa lainnya. Wilayah bergunung-gunung itu juga menjadi daerah penjelajahan para gerombolan bersenjata.
Boleh jadi, isolasi alam itu membentuk budaya yang khas, yang merespons arus modernitas dengan cara berbeda. Jalur TransPapua melewati pegunungan di jantung Papua, yang dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo digenjot pengerjaannya, mengalami banyak hambatan di wilayah ini. Guyuran anggaran otonomi khusus tak kunjung membuat warga setempat berkemampuan menyejahterakan dirinya.
Tak perlu ada yang dipersalahkan. Semuanya kini menjdi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan segenap warga Papua sendiri. Termasuk di dalamnya, pemuda-pemudi yang terdidik seperti Sherina Fernanda, Yafeth Werijo, dan segenap koleganya di seluruh penjuru Indonesia. Setidaknya, orang-orang terdidik akan memiliki lebih banyak cara untuk dipilih dalam membangun. (P-1)