Indonesia.go.id - Ko, Dorang, Kitorang Bersama Bangun Papua

Ko, Dorang, Kitorang Bersama Bangun Papua

  • Administrator
  • Jumat, 13 September 2019 | 03:10 WIB
OTONOMI KHUSUS PAPUA
  Bandar Udara Wamena. Foto: Dok. PUPR

Rata-rata warga Papua menerima anggaran Rp14,7 juta tahun 2019 ini. Tertinggi di Indonesia. Tapi sebagian besar Papua masih tertinggal. Pemerintah akan mengkombinasikan pendekatan antropologis dan teknokratis.

Menyandang predikat  daerah otonomi khusus, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki sejumlah hak politik  yang khas. Bupati, wali kota, dan gubernur di dua provinsi tersebut harus putra asli Papua. Para pemangku adat pun punya hak politik dalam wadah Majelis Rakyat Papua (MRP), yang keanggotaannya dipilih langsung, sekali dalam lima tahun. MRP menjadi mitra DPRD Provinsi dalam tugas legislatif pada tingkat provinsi. Anggota MRP berjumlah 1,25 kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi.

Sesuai amanat UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang diperbarui dengan UU No. 35 tahun 2008, terkait penetapan Aceh dan Papua Barat sebagai provinsi berpredikat otonomi khusus pula, maka hak ekonominyapun diatur lebih lanjut. Ketiga provinsi itu berhak menerima dana otonomi khusus (otsus), yang besarnya 2 persen dari seluruh DAU (dana alokasi umum) yang ada dalam ABN. Ada pula hak atas Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) yang berlaku 20 tahun di Provinsi Aceh dan 25 tahun untuk Papua dan Papua Barat.

Adanya dana otonomi khusus (otsus), yang di Provinsi Papua sudah berjalan sejak 2002, dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan daerah tersebut, terutama dalam pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan DIT diperuntukan bagi percepatan pengembangan infrastruktur daerah.

Dengan adanya dana otsus dan DIT tersebut, alokasi APBN untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat relatif besar bila dihitung dalam satuan per kapita penduduk. Apalagi, ditambah pula dengan program khusus oleh satuan kerja kementerian/lembaga, baik secara langsung atau lewat instansi yang secara vertikal ada di bawahnya,  yang notabene menggunakan anggaran pusat. Dengan adanya desentralisasi fiskal, anggaran jenis terakhir ini juga dikelola oleh daerah.

Pada 2019, dana pusat yang dialokasikan ke dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat, mencapai Rp63,1 triliun. Sebanyak Rp46,8 triliun disalurkan sebagai transfer pusat ke daerah untuk kemudian didistribusikan ke pemerintahan provinsi (pemprov), kota dan kabupaten (Pemkot dan Pemkab) di dua  provinsi. Di dalamnya ada Rp8,36 triliun dana otsus dan sekitar Rp4,3 triliun DTI. Sebanyak Rp15,1 triliun lainnya dikucurkan dari APBN untuk kegiatan pembangunn satuan kerja Kementerian/Lembaga Negara di Provinsi Papua. Secara umum, anggaran ini sering disebut dana transfer ke daerah.

Dengan jumlah penduduk 4.3 juta jiwa, sekitar 3,3 juta di Provinsi Papua dan satu juta di Papua Barat, saat ini, alokasi dana APBN yang bisa  dinikmati warga Papua mencapai Rp14,7 juta per kapita. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional yang hanya ada di kisaran Rp3 juta--Rp3,5 juta.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan penduduk 5 juta yang secara umum juga masih tertinggal, menerima transfer dana ABBN sebesar Rp34,7 triliun. Per kapita warga disiram sekitar Rp6,94 juta pada tahun 2019 ini. Untuk warga Jawa Jawa Tengah dan Jawa Timur bahkan masing-masing hanya Rp3,13 juta dan Rp3,31 juta. Penduduk Banten, yang jumlahnya 12,45 juta jiwa, rata-rata bahkan hanya menerima Rp2,2 juta pada 2019.

Dana yang dialokasikan ke kedua provinsi Papua itu mengalami kenaikan yang cukup luar biasa dalam lima tahun terakhir. Pada APBN 2014, transfer dari Pusat ke Papua dan Papua Barat masih di Rp31,75 triliun dan menjadi Rp63,1 triliun di tahun  2018. Dari jumlah ini Rp45 triliun mengalir ke Provinsi Papua dan Rp18,1 triliun ke Papua Barat. Sementara itu, dari Rp8,36 triliun dana otsus di 2018, Rp4,4 triliun menjadi bagian Papua dan Rp3,96 lainnya ke Papua Barat.

Dana otsus dan Dana Tambahan  Infrastruktur (DTI) untuk Papua dan Papua Barat juga terus bergerak naik. Bila pada 2014 dana otsus masih Rp6,8 triliun, menjadi Rp8 triliun (2017) dan Rp8,36 triliun di tahun 2019. Untuk DTI Rp2,5 trilyin di tahun 2014, lantas Rp3,5 triliun (2017) dan Rp4,3 triliun pada tahun 2019 ini (lihat tabel).

Lantas, bagaimana kontribusi kedua Provinsi Papua itu untuk APBN. Keseluruhan pajak di dua provinsi itu menghasilkan sekitar Rp20 triliun  tahun 2018. Dalam jumlah itu sudah melingkupi segala macam pajak dari industri gas Tanggguh yang dioperasikan oleh konsorsium di bawah British Petroleum (BP) dan PT Freeport Indonesia.

Di luar penerimaan pajak memang masih ada kontribusi lain, berupa PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), yang dihasilkan oleh BP dan PT Freeport Indonesia. Pada tahun 2018 lalu, menurut catatan dari  Kementerian ESDM, kontribusi Freeport Indonesia pada PNBP sekitar Rp2 triliun (USD151 juta), dan dari industri gas di Teluk Bintuni (Tangguh) separuhnya. Diperkirakan PNBP dari kedua provinsi Papua sekitar Rp3 triliun.  Bila ditambah dengan penerimaan pajaknya, porsinya ada di sekitaran 37 persen dari transfer pusat untuk APBD.

Dengan demikian, anggaran pusat yang menjadi motor utama pembangunan Papua. Maka, anggapan bahwa Pemerintah Pusat melakukan eksploitasi kekayaan alam Papua tanpa mempedulikan warganya, sungguh merupakan penilaian tanpa dasar. Namun, apakah semua itu cukup bagi warga Papua?

Di lapangan, ketidakpuasan masih melanda sebagian warga Papua, dan seringkali ia meletup menjadi aksi-aksi massa yang anarkis seperti pada Agustus lalu. Lepas dari adanya analisis politik yang dengan sengaja meniupkan prasangka dan kebohongan, untuk memantik kemarahan, tampaknya memang ada pendekatan yang belum sepenuhnya sesuai untuk Papua.

Maka, betapa pun pembangunan sudah dilakukan puluhan tahun, dan dipercepat dengan otsus, Papua masih tertinggal. Sebagian besar kabupaten di Papua dan Papua Barat masih berada di urutan terbawah dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Artinya tingkat putus sekolah, angka kemiskinan, prevalensi penyakit menular, stunting, dan angka kematian balita masih tinggi. Anggaran yang besar tak serta- merta bisa mengungkit masyarakat Papua untuk mensejahterakan dirinya.

Secara umum, pola pembangunan di Papua relatif sama dengan wilayah Indonesia lainnya. Pendekatan teknokratis itu direspons secara berbeda di Papua. Ada sebagian warga yang cepat beradaptasi dengan gerak pembangunan, terutama di wilayah pesisir. Di pegunungan, sebagian warga menganggap gerak langkah pembangunan justru mengusik kenyamanan dan harmoni kehidupan. Mereka tidak merasa memerlukan jalan raya, transportasi, pasokan BBM, klinik, los pasar atau sekolah, sebesar warga yang lain. Paradigma modernitas tak bisa berlaku di semua tempat, karena perbedaan tata nilai.

Otonomi khsusus juga tidak serta-merta memberdayakan elite daerah untuk memperbarui tata kelola pemerintahannya guna menghadapi tantangan lokal. Elite lokal juga terjebak dengan model teknokrasi yang sama. Walhasil, perubahan sosial-budaya menuju kondisi yang lebih terbuka kepada modernitas tak berjalan secepat yang diharapkan.

Pemerintah tampaknya semakin memahami akan adanya respons yang berbeda di Papua atas tawaran pembangunan. Strategi pembangunan akan disesuaikan dengan kondisi lokal. Pendekatan teknokratis Membangun Papua akan bergeser ke Papua Membangun yang memperhatikan aspek antropologisnya.

‘’Kita akan sesuaikan dengan sosial budaya setempat. Apa yang Papua Bisa, itu yang kita dahulukan,’’ kata seorang pejabat  tinggi. Tugas pembangunan akan lebi banyak melibatkan masyarakat setempat. ‘’Semualah kita ajak. Ko (kamu), dorang (mereka), Kitorang (kita) kerja bersama,’’ ia menambahkan.

Dengan demikian, katanya, apa yang dibangun adalah  yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Pendidikan tetap dikedepankan, dan aspek ketrampilan akan diajarkan secara lebih dini, seperti menanam ubi, jagung, beternak, atau ilmu kesehatan praktis, sudah diajarkan untuk siswa SD. (P-1)