Di era awal 2000-an, permainan video game sebenarnya sudah mulai marak. Banyak ragam dari permainan berbasis digital itu, permainan jenis sport, pertarungan gaya bebas, ataupun untuk konsumsi anak-anak.
Dalam perkembangannya, kita menyaksikan menjamurnya bisnis baru itu berupa tumbuhnya rumah penyewaan video game meskipun saat itu akses internet bisa dikatakan masih terbatas.
Namun di sisi lain, ekses maraknya rental games, termasuk yang berisikan konten game kekerasan, telah menimbulkan perdebatan manfaat keberadaan video games di tengah masyarakat. Apalagi setelah muncul peristiwa kekerasan, seperti pembantaian di Sekolah Menengah Atas Columbine, Amerika Serikat, pada 1999.
Pada peristiwa itu, kejadiannya disinyalir dipicu berdasarkan pengalaman pelakunya ketika bermain video game. Beberapa penelitian kemudian bermunculan yang membenarkan bahwa penggunaan video game kekerasan ternyata berkorelasi peningkatan agresi dan penurunan perilaku prososial.
Tentu tidak hanya yang kontra, yang pro dan menolak argumen bahwa video game telah memberikan stumulasi kekerasan juga muncul. Satu penelitian menyebutkan tidak ada efek video game kekerasan seperti itu. Bahkan, Interactive Digital Software Association pada 2005 juga menolak anggapan soal itu dan mengatakan, “Itu sangat dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan. Terus terang, mereka tidak mengerti industri ini.”
Dalam perkembangannya, seiring dengan semakin terbangunnya infrastruktur berbasis broadband, industri video game terus berkembang, dan kini bisa berinteraksi satu sama lain, tidak hanya di satu titik, tetapi sudah menjangkau ke skala global.
Industri yang dulunya dikenal dengan video game, kemudian video game online, dalam perjalanannya kini dikenal dengan nama e-sports terutama yang berkonten olahraga semakin marak dan menjamur.
Masuknya olahraga elektronik atau e-sports dalam ajang Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang semakin menasbihkan diterimanya jenis olahraga berbasis elektronik ini di tengah masyarakat.
Menariknya, kendati baru tampil di ajang eksibisi, Indonesia justru bisa langsung berprestasi dengan meraih emas di nomor Clash Royal dari atlet Ridel Yesaya Sumarandak.
Sebelum menjadi salah satu cabang yang dipertandingkan di ajang multikegiatan se-Asia itu, tentu juga muncul pro dan kontra terhadap permainan berbasis elektronik tersebut, apakah permainan ini masuk kategori olahraga atau tidak?
Unsur Olahraga
Kementerian Pemuda dan Olahraga pun memberikan argumentasi bahwa e-sport sudah memenuhi unsur olahraga. Seperti disampaikan Deputi Pembudayaan Olahraga Kemenpora Raden Isnanta, e-sports tak beda seperti cabang olahraga catur atau bridge. "E-sports itu membutuhkan konsentrasi, daya tahan, dan stamina," kata Isnanta di Jakarta, Senin, 28 Januari 2019.
Menurutnya, e-sports bahkan memerlukan stamina yang lebih dibandingkan dengan catur. Hal itu yang menjadikan e-sports masuk dalam aspek keolahragaan. Selain itu, dari sisi edukasi ada nomor e-sports yang memerlukan kerja sama karena harus membentuk tim.
“Saya menilai unsur tersebut juga ada pada cabang olahraga lainnya. Di sisi lain, pemain yang sudah masuk kategori atlet harus berlatih fisik untuk menjaga dan meningkatkan stamina. Pemain juga harus cepat dan cermat dalam mengambil keputusan," kata Isnanta.
Hal utama yang membedakan dengan olahraga lainnya, medium pertandingan e-sports menggunakan layar. Perbedaan itu yang kerap menjadi pertanyaan apakah e-sports masuk dalam kategori olahraga atau tidak? "Untuk jenis permainannya kami tidak merekomendasikan peperangan [kekerasan]," ucapnya.
Pendapat Isnanta juga didukung oleh Ketua Asosiasi e-Sport Indonesia (IeSPA) Eddy Lim. Menurutnya, e-sports mengoptimalkan kekuatan di otot kecil. Sementara persepsi yang ada dibenak publik, olahraga melibatkan kekuataan otot besar. Padahal tidak sedikit olahraga yang menggunakan otot kecil. Contohnya, menembak.
Pada Asian Games 2018 e-sport sudah diakui. Tapi, baru menggelar pertandingan eksibisi. Pada SEA Games 2019 di Manila akan menjadi pertandingan perdana e-sports di pesta olahraga dua tahunan antarnegara Asia Tenggara. Sementara itu pada Olimpiade 2020 di Tokyo e-sports juga akan mengikuti pertandingan eksibisi
Tren e-sports yang semakin di terima di tengah masyarakat dan dunia termasuk meningkatnya jumlah kegiatannya, tentu sangat disyukuri pemangku kepentingan industri tersebut. Bahkan, Menkominfo Rudiantara pun menyambut gembira pertumbuhan industri tersebut.
Menurutnya, industri e-sports di Indonesia masih harus terus ditingkatkan lantaran masih memiliki peluang untuk bertumbuh. Sebagai gambaran, pendapatan e-sport Indonesia baru sekitar USD1,2 miliar, dari pendapatan e-sport di Asean yang mencapai USD6-USD7 miliar.
“Bila mengacu itu [pendapatan e-sports di Asean], itu kan hanya sekitar 20%, tidak lebih dari 30%-lah dari populasi Indonesia. Padahal populasi Indonesia 40% dari total populasi Asean,” ujar Rudiantara, Jumat (13/9/2019).
Menurut Rudiantara, industri e-sports patut diberi dukungan penuh dikarenakan memiliki tiga manfaat. Pertama, industri e-sports berpotensi memberikan kontribusi pendapatan yang besar bagi perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data Newszoo, misalnya, pasar e-sports di Indonesia diketahui mencatatkan game revenue atau pendapatan sebesar USD880 juta pada 2017 dan USD941 pada 2019. Capaian tersebut membuat Indonesia menjadi negara dengan game revenue terbesar pertama di Asean dan terbesar keenam belas di dunia.
Kedua, industri e-sports juga dinilai memberikan manfaat positif bagi anak di Indonesia, sebab ekosistem e-sports yang ada dapat memberikan ruang bagi anak muda untuk terus mengembangkan talenta yang dimiliki di bidang game, seperti misalnya di bidang pengembangan game, dan sebagainya.
Ketiga, Rudiantara juga mengatakan bahwa industri e-sports di Indonesia dapat dijadikan sebagai wadah pengembangan diri bagi atlet-atlet e-sports nasional. Dalam hal ini, event-event sepertiturnamen e-sports yang kerap diadakan di Indonesia dinilai dapat membantu atlet e-sports nasional untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
Dengan adanya sejumlah manfaat di atas, Rudiantara menyatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan terus mendukung perkembangan industri e-sports di Indonesia dengan menjadi fasilitator bagi pegiat industri e-sports nasional.
Adapun langkah konkret yang telah dilakukan di antaranya yakni dengan menyediakan infrasturktur information and communication technology (ICT) yang memadai, salah satunya yakni dengan membangun Palapa Ring guna menunjang penggunaan internet untuk keperluan gaming. “Sekarang main game sudah bisa di mana saja,” tutur Rudiantara.
Dari gambaran di atas, tak dipungkiri Indonesia telah menjadi salah satu pasar video game terbesar di Asia Pasifik, dengan angka mencapai USD941 juta (sekitar Rp13 triliun) pada tahun ini.
Dalam konteks kawasan, Asia Pasifik merupakan wilayah dengan pertumbuhan pasar game paling tinggi di dunia. Apalagi, ada Cina dan India yang juga memiliki jumlah pemain video game sangat besar.
Melihat angka tersebut, bukan hal mengherankan apabila industri e-sport juga ikut berkembang pesat. E-sport adalah permainan video game yang bersifat kompetitif. Apabila sebelumnya e-sport identik dengan game untuk PC dan konsol, kini telah menjamah ranah game mobile. (F-1)